Saturday, July 31, 2010

FILE 176 : Pasien Terakhir

Bismillahirrohmanirrohim

Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam

Wa ba'du

……

Pasien Terakhir

.

Untuk kedua kalinya wanita itu pergi ke dokter Hanung, seorang dokter spesialis kulit dan kelamin di kota Bandung. Sore itu ia datang sambil membawa hasil laboratorium seperti yang diperintahkan dokter dua hari sebelumnya. Sudah beberapa Minggu dia mengeluh merasa sakit pada waktu buang air kecil (drysuria) serta mengeluarkan cairan yang berlebihan dari vagina (vaginal discharge).

Sore itu suasana di rumah dokter penuh dengan pasien. Seorang anak tampak menangis kesakitan karena luka di kakinya, kayaknya dia menderita Pioderma. Di sebelahnya duduk seorang ibu yang sesekali menggaruk badannya karena gatal. Di ujung kursi tampak seorang remaja putri melamun, merenungkan akne vulgaris (jerawat) yang ia alami.

Ketika wanita itu datang dia mendapat nomor terakhir. Ditunggunya satu per satu pasien yang berobat sampai tiba gilirannya. Ketika gilirannya tiba, dengan mengucap salam dia memasuki kamar periksa dokter Hanung. Kamar periksa itu cukup luas dan rapi. Sebuah tempat tidur pasien dengan penutup warna putih. Sebuah meja dokter yang bersih. Di pojok ruang sebuah wastafel untuk mencuci tangan setelah memeriksa pasien serta kotak yang berisi obat-obatan.

Sejenak dokter Hanung menatap pasiennya. Tidak seperti biasa, pasiennya ini adalah seorang wanita berjilbab rapat. Tidak ada yang kelihatan kecuali sepasang mata yang menyinarkan wajah duka. Setelah wawancara sebentar (anamnese) dokter Hanung membuka amplop hasil laboratorium yang dibawa pasiennya. Dokter Hanung terkejut melihat hasil laboratorium. Rasanya adalah hal yang mustahil. Ada rasa tidak percaya terhadap hal itu. Bagaimana mungkin orang berjilbab yang tentu saja menjaga kehormatannya terkena penyakit itu, penyakit yang hanya mengenai orang yang sering berganti-ganti pasangan sexual.

Dengan wajah tenang dokter Hanung melakukan anamnese lagi secara cermat.

+ "Saudari masih kuliah?"

* "Masih dok."

+ "Semester berapa?"

* "Semester tujuh dok!"

+ "Fakultasnya?"

* "Sospol!"

+ "Jurusan komunikasi massa ya?"

Kali ini ganti pasien terakhir itu yang kaget. Dia mengangkat muka dan menatap dokter Hanung dari balik cadarnya.

* "Kok dokter tahu?"

+ "Aah........ tidak, hanya barangkali saja!"

Pembicaraan antara dokter Hanung dengan pasien terakhirnya itu akhirnya seakan.-akan beralih dari masalah penyakit dan melebar kepada persoalan lain yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan masalah penyakitnya itu.

* "Saudari memang penduduk Bandung ini atau dari luar kota?"

Pasien terakhir itu tampaknya mulai merasa tidak enak dengan pertanyaan dokter yang mulai menyimpang dari masalah-masalah medis itu. Dengan jengkel dia menjawab.

* "Ada apa sih Dok...., kok tanya macam-macam?"

+ "Aah enggak..., barangkali saja ada hubungannya dengan penyakit yang saudari derita."

Pasien terakhir itu tampaknya semakin jengkel dengan pertanyaan dokter yang kesana-kemari itu. Dengan agak kesal dia menjawab.

* "Saya dari Pekalongan."

+ "Kost-nya?"

* "Wisma Fathimah, jalan Alex Kawilarang 63."

+ "Di kampus sering mengikuti kajian Islam yaa."

* "Ya, ... kadang-kadang, Dok!"

+ "Sering mengikuti kajian Bang Jalal?"

Sekali lagi pasien terakhir itu menatap dokter Hanung.

* "Bang Jalal siapa?" Tanyanya dengan nada yang agak tinggi.

+ "Tentu saja Jalaluddin Rahmat! Di Bandung siapa lagi Bang Jalal selain dia..... kalau di Yogya ada Bang Jalal Muksin."

* "Yaa... kadang-kadang saja saya ikut."

+ "Di Pekalongan..., (sambil seperti mengingat-ingat) kenal juga dengan Ahmad Baraqba?"

Pasien terakhir itu tampak amat terkejut dengan pertanyaan yang terakhir itu, tetapi dia segera menjawab.

* "Tidak! Siapa yang dokter maksudkan dengan nama itu dan apa hubungannya dengan penyakit saya?"

Pasien terakhir itu tampak semakin jengkel dengan pertanyaan-pertanyaan dokter yang semakin tidak mengarah itu. Tetapi justru dokter Hanung manggut-manggut dengan keterkejutan pasien terakhirnya. Dia menduga bahwa penelitian penyakit pasiennya itu hampir selesai.

Akhirnya dengan suara yang penuh dengan tekanan dokter Hanung berkata,

+ "Begini saudari, saya minta maaf atas pertanyaan-pertanyaan saya yang ngelantur tadi, sekarang tolong jawab pertanyaan saya dengan jujur demi untuk therapi penyakit yang saudari derita..."

Sekarang ganti pasien terakhir itu yang mengangkat muka mendengar perkataan dokter Hanung. Dia seakan terbengong dengan pertanyaan apa yang akan dilontarkan oleh dokter yang memeriksanya kali ini.

+ "Sebenarnya saya amat terkejut dengan penyakit yang saudari derita, rasanya tidak mungkin seorang ukhti mengidap penyakit seperti ini."

* "Sakit apa dok?"

Pasien terakhir itu memotong kalimat dokter Hanung yang belum selesai dengan amat penasaran.

+ "Melihat keluhan yang anda rasakan serta hasil laboratorium semuanya menyokong diagnosis Gonorhoe, penyakit yang disebabkan karena hubungan sexual."

Seperti disambar gledek perempuan berjilbab biru dan berhijab itu, pasien terakhir dokter Hanung sore itu berteriak,

* "Tidak mungkin!!!"

Dia lantas terduduk di kursi, lemah seakan tak berdaya, mendengar keterangan dokter Hanung. Pandang matanya kosong seakan kehilangan harapan dan bahkan seperti tidak punya semangat hidup lagi.

Sementara itu pembantu dokter Hanung yang biasa mendaftar pasien yang akan berobat tampak mondar-mandir seperti ingin tahu apa yang terjadi. Tidak seperti biasanya dokter Hanung memeriksa pasien begitu lama seperti sore ini. Barangkali karena dia pasien terakhir sehingga merasa tidak terlalu tergesa-gesa maka pemeriksaannya berjalan agak lama. Tetapi kemudian dia terkejut mendengar jerit pasien terakhir itu sehingga ia merasa ingin tahu apa yang terjadi.

Dokter Hanung dengan pengalamannya selama praktek tidak terlalu kaget dengan reaksi pasien terakhirnya sore itu. Hanya yang dia tidak habis pikir itu kenapa perempuan berjilbab rapat itu mengidap penyakit yang biasa menjangkiti perempuan-perempuan rusak. Sudah dua pasien dia temukan akhir-akhir ini yang mengidap penyakit yang sama dan uniknya sama-sama mengenakan busana muslimah. Hanya yang pertama dahulu tidak mengenakan hijab penutup muka seperti pasien yang terakhirnya sore hari itu. Dulu pasien yang pernah mengidap penyakit yang seperti itu juga menggunakan pakaian muslimah, ketika didesak akhirnya dia mengatakan bahwa dirinya biasa kawin mut'ah. Pasiennya yang dahulu itu telah terlibat jauh dengan pola pikir dan gerakan Syi'ah yang ada di Bandung ini. Dari pengalaman itu timbul pikirannya menanyakan macam-macam hal mengenai tokoh-tokoh Syi'ah yang pernah dia kenal di kota Kembang ini dan juga kebetulan mempunyai seorang teman dari Pekalongan yang menceritakan perkembangan gerakan Syi'ah di Pekalongan. Beliau bermaksud untuk menyingkap tabir yang menyelimuti rahasia perempuan yang ada di depannya sore itu.

+ "Bagaimana saudari...,. penyakit yang anda derita ini tidak mengenai kecuali orang-orang yang biasa berganti-ganti pasangan seks. Rasanya itu tidak mungkin terjadi pada seorang muslimah seperti diri anda. Kalau itu masa lalu saudari baiklah saya memahaminya dan semoga dapat sembuh, bertaubatlah kepada Allah...., atau mungkin ada kemungkinan lain....?"

Pertanyaan dokter Hanung itu telah membuat pasien terakhirnya mengangkat muka sejenak, lalu menunduk lagi seperti tidak meniliki cukup kekuatan lagi untuk berkata-kata. Dokter Hanung dengan sabar menanti jawaban pasien terakhirnya sore itu. Beliau beranjak dari kursi memanggil pembantunya agar mengemasi peralatan untuk segera tutup setelah selesai menangani pasien terakhirnya itu.

* "Saya tidak percaya dengan perkataan dokter tentang penyakit saya!" Katanya terbata-bata.

+ "Terserah saudari..., tetapi toh anda tidak dapat memungkiri kenyataan yang anda sandang-kan?"

* "Tetapi bagaimana mungkin saya mengidap penyakit laknat tersebut sedangkan saya selalu berada di dalam suasana hidup yang thaat kepada hukum Allah?"

+ "Saya pun berprasangka baik demikian terhadap diri anda…, tetapi kenyataan yang anda hadapi itu tidak dapat dipungkiri?"

Sejenak dokter dan pasien itu terdiam. Ruang periksa itu sepi. Kemudian terdengar suara dari pintu yang dibuka pembantu dokter yang mengemasi barang-barang peralatan administrasi pendaftaran pasien. Pembantu dokter itu lantas keluar lagi dengan wajah penuh dengan tanda tanya mengetahui dokter Hanung yang menunggui pasien terakhirnya itu.

+ "Cobalah instrospeksi diri lagi, barangkali ada yang salah..., sebab secara medis tidak mungkin seseorang mengidap penyakit ini kecuali dari sebab tersebut."

* "Tidak dokter..., selama ini saya benar-benar hidup secara baik menurut tuntunan syari'at Islam…, saya tetap tidak percaya dengan analisa dokter."

Dokter Hanung mengerutkan keningnya mendengar jawaban pasien terakhirnya itu. Dia tidak merasa sakit hati dengan perkataan pasiennya yang berulang kali mengatakan tidak percaya dengan analisanya. Untuk apa marah kepada orang sakit. Paling juga hanya menambah parah penyakitnya saja, dan lagi analisanya toh tidak menjadi salah hanya karena disalahkan oleh pasiennya. Dengan penuh kearifan dokter itu bertanya lagi…,

+ "Barangkali anda biasa kawin mut'ah?"

Pasien terakhir itu mengangkat muka.

* "Iya dokter! Apa maksud dokter?"

+ "Itu kan berarti anda sering kali ganti pasangan seks secara bebas."

* "Lho...., tapi itu kan benar menurut syari'at Islam dok!"

Pasien terakhir itu membela diri.

+ "Ooo...., jadi begitu...., kalau dari tadi anda mengatakan begitu saya tidak bersusah payah mengungkapkan penyakit anda. Tegasnya anda ini pengikut ajaran Syi'ah yang bebas berganti-ganti pasangan mut'ah semau anda. Ya itulah petualangan seks yang anda lakukan. Hentikan itu kalau anda ingin seiamat."

* "Bagaimana dokter ini, saya kan hidup secara benar menurut syari'at Islam sesuai dengan keyakinan saya, dokter malah melarang saya dengan dalih-dalih medis."

Sampai di sini dokter Hanung terdiam. Sepasang giginya terkatup rapat dan dari wajahaya terpancar kemarahan yang sangat terhadap perkataan pasien terakhirnya yang tidak punya aturan itu. Kemudian keluarlah perkataan yang berat penuh tekanan.

+ "Terserah apa kata saudari membela diri..., anda lanjutkan petualangan seks anda. Dengan resiko anda akan berkubang dengan penyakit kelamin yang sangat mengerikan itu, dan sangat boleh jadi pada suatu tingkat nanti anda akan mengidap penyakit AIDS yang sangat mengerikan itu..., atau anda hentikan dan bertaubat kepada Allah dari mengikuti ajaran bejat itu kalau anda menghendaki kesembuhan."

* "Ma...maaf Dok, saya telah membuat dokter tersinggung!"

Dokter Hanung hanya mengangguk menjawab perkataan pasien terakhirnya yang terbata-bata itu.

+ "Begini saudari..., tidak ada gunanya resep saya berikan kepada anda kalau toh tidak berhenti dari praktek kehidupan yang selama ini anda jalani. Dan semua dokter yang anda datangi pasti akan bersikap sama...., sebab itu terserah kepada saudari. Saya tidak bersedia memberikan resep kalau toh anda tidak mau berhenti."

* "Ba....bbaik Dok...., Insya Allah akan saya hentikan!"

Dokter Hanung segera menuliskan resep untuk pasien yang terakhirnya itu, kemudian menyodorkan kcpadanya.

* "Berapa Dok?"

+ "Tak usahlah...., saya sudah amat bersyukur kalau anda mau menghentikan cara hidup binatang itu dan kembali kepada cara hidup yang benar mmenurut tuntunan yang benar dari Rasulullah Shollallohu ‘alayhi wa ‘alaa aalihi wa sallam. Saya relakan itu untuk membeli resep."

Pasien terakhir dokter Hanung itu tersipu-sipu mendengar jawaban dokter Hanung.

* "Terimakasih Dok..., permisi!"

Perempuan itu kembali melangkah. satu-satu di pelataran rumah Dokter Hanung. Ia berjalan keluar teras dekat bougenvil biru yang seakan menyatu dengan warna jilbabnya. Sampai di gerbang dia menoleh sekali lagi ke teras, kemudian hilang di telan keramaian kota Bandung yang telah mulai temaram di sore itu. (Ibnu)

Majalah As-Sabiqunal Awwalun edisi 5, 1411 H (hal. 44-47)

Sumber: Buku "Mengapa Kita Menolak Syi'ah" hal. 254-257, Kumpulan Makalah Seminar Nasional Tentang Syi'ah, LPPI, Jakarta, Juli 1998.

*****


Link Terkait :

Baca Juga:

Simak Juga :

Subhanakallohumma wa bihamdihi,

Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika

Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamin

Friday, July 23, 2010

FILE 175 : Serikat Dagang dalam Mu'amalah

Bismillahirrohmanirrohim

Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam

Wa ba'du

……

Selayang Pandang Serikat Dagang dalam Islam

Penulis:

Dr. Muhammad Arifin Badri, MA.

.

Pendahuluan


Alhamdulillah, salawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, keluarga, dan sahabatnya.


Saudaraku, mungkin saat ini Anda memiliki segudang keahlian dan pengalaman. Akan tetapi, hingga saat ini Anda masih juga belum mampu mengoptimalkan potensi diri Anda. Kondisi ini menyebabkan Anda hanya bisa menikmati sebagian kecil dari potensi Anda. Mungkin pada suatu hari, Anda pernah berpikir, "Andai aku memiliki cukup modal, aku bisa lebih banyak menikmati hasil tetesan peluhku."


Tidak perlu berkecil hati, Saudaraku. Banyak pintu yang dapat Anda tembus guna merubah garis hidup Anda. Di antaranya ialah dengan berserikat dengan sebagian dari saudara-saudara Anda yang senasib dengan diri Anda. Dengan memilih opsi ini, pintu sukses semakin terbuka lebar di hadapan Anda, karena semakin besar unit usaha yang Anda rintis bersama saudara Anda, maka tetesan peluh Anda akan semakin bernilai. Tidakkah Anda mendambakan yang demikian, Saudaraku?


Melalui tulisan sederhana ini, saya berkeinginan untuk memberikan gambaran singkat tentang seluk-beluk hukum serikat dagang yang dalam syariat Islam. Harapan saya, langkah Anda dalam merintis sukses di dunia usaha akan semakin mantap dan selaras dengan syariat Allah Ta'ala.


Hukum Berserikat dalam Perdagangan


Ibnu Qudamah al-Hambali menyatakan, "Secara garis besar, ulama telah bersepakat bahwa hukum serikat dagang adalah boleh. Hanya saja, mereka berselisih pendapat pada sebagian perinciannya." (Al-Mughni, oleh Ibnu Qudamah, 7/109)


Berikut ini adalah sebagian dalil yang mendasari kesepakatan ulama di atas:


"Abu Minhal mengisahkan bahwa al-Bara' bin 'Azib dan Zaid bin Arqam adalah dua orang yang saling berserikat. Pada suatu hari, keduanya membeli sejumlah perak. Sebagian pembayaran dilakukan dengan tunai dan sisanya terutang. Selanjutnya, perihal pembelian ini terdengar oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, maka beliau segera memerintahkan keduanya agar melanjutkan pembelian yang pembayarannya tunai, dan membatalkan pembelian yang pembayarannya terutang." (Hr. Bukhari)


Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu mengisahkan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Sesungguhnya Allah telah berfirman, 'Aku senantiasa menyertai dua orang yang berserikat, selama tidak ada dari keduanya yang mengkhianati sahabatnya. Bila ada dari mereka yang berbuat khianat, maka Aku meninggalkan mereka berdua.'" (Hr. Abu Daud, ad-Daraquthni, dan oleh al-Albani dinyatakan sebagai hadits yang dha'if)


Dengan Siapa Anda Berserikat Dagang?


Setelah mengetahui hukum serikat dagang dalam Islam, mungkin pertanyaan pertama yang terbetik dalam pikiran Anda adalah, "Dengan siapa saya harus berserikat dagang?"


Terlebih-lebih di zaman ini, betapa sulitnya mendapatkan orang yang benar-benar layak untuk menerima kepercayaan sebagai sekutu Anda dalam berniaga. Atau mungkinkah Anda rela berspekulasi dan bersekutu dengan siapa saja, tanpa peduli dengan tingkat kredibilitasnya? Saya yakin Anda pasti bersikap selektif dan berusaha untuk memilih partner yang benar-benar bagus dan banyak memiliki kelebihan.


Akan tetapi, pernahkah Anda berpikir bahwa di antara kriteria seorang partner yang baik ialah tingkat kepatuhannya terhadap berbagai hukum syariat?


Mengapa demikian? Karena setiap partner niaga bertindak bukan hanya atas nama pribadinya, namun mewakili seluruh pemilik saham perusahaan. Dengan demikian, setiap pemilik saham bertanggung jawab atas setiap keputusan dan perbuatan yang dilakukan oleh perusahaan.


Penjelasan ini sebagai wujud nyata dari asas perserikatan dagang dalam islam, yaitu al-wakalah (perwakilan) dan amanah. Masing-masing pemegang saham berperan mewakili dan memangku amanah (kepercayaan) dari pemegang saham lainnya.


Tidak heran bila para ulama menganjurkan Anda untuk tidak berserikat dagang dengan orang yang berseberangan agama dengan Anda.


Imran bin Abi Atha` bertanya kepada Ibnu 'Abbas, "Sesungguhnya ada seorang pedagang kambing, dia bersekutu dengan seorang Yahudi dan seorang Nasrani." Ibnu 'Abbas menjawab, "Janganlah engkau bersekutu dengan seorang Yahudi, Nasrani, atau Majusi." Aku pun kembali bertanya, "Mengapa?" Ibnu 'Abbas kembali menjawab, "Karena mereka terbiasa bertransaksi riba, dan riba tidak halal." (Hr. Ibnu Abi Syaibah dan al-Baihaqi)


Dari pernyataan Ibnu 'Abbas ini dapat dipahami bahwa boleh bersekutu dengan orang Yahudi atau Nasrani selama mereka tidak menangani langsung bisnis di lapangan, atau selama mereka berkomitmen untuk tidak melanggar hukum syariat. Karenanya, murid-murid Ibnu 'Abbas, di antaranya 'Atha', Thawus, dan Mujahid menyatakan, "Bersekutu dengan seorang Yahudi dan Nasrani itu dimakruhkan, kecuali bila yang menjalankan perniagaan di lapangan adalah partner yang beragama Islam." (Hr. Ibnu Abi Syaibah)


Penjelasan ini juga berdasarkan pada praktik Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang mempercayakan pengelolaan ladang milik umat Islam di negeri Khaibar kepada orang-orang Yahudi setempat, dan beliau memberikan persyaratan kepada mereka, "Umat Islam berwewenang penuh untuk memutuskan hubungan kerjasama ini kapan pun mereka menghendakinya." (Hr. Bukhari dan Muslim)


Modal Perserikatan


Para ulama telah menyepakati bahwa modal perserikatan dapat diwujudkan dalam bentuk uang yang berlaku untuk alat transaksi. Hanya saja, mereka berselisih pendapat: apakah harta kekayaan selain uang dapat pula dijadikan sebagai modal dalam perserikatan?


Pendapat yang paling kuat dalam masalah ini ialah pendapat yang membolehkan harta kekayaan selain uang sebagai modal perserikatan. Pendapat ini berdasarkan kepada beberapa alasan berikut:

  1. Hukum asal dalam setiap urusan duniawi, termasuk perserikatan dagang, adalah boleh.
  2. Analogi/qiyas dengan akad musaqah (penggarapan ladang), karena berbagai hukum yang berlaku pada akad musaqah berlaku pula pada akad serikat dagang.
  3. Tujuan serikat dagang ialah mencari keuntungan, sedangkan keuntungan dapat diperoleh dengan pengelolaan barang, sebagaimana halnya dengan mata uang.


Hanya saja, bila modal serikat dagang berbentuk barang, perlu dicatatkan bahwa yang dihitung sebagai modal ialah harga jual barang tersebut pada hari penandatanganan akad serikat dagang. Hal ini bertujuan untuk menghindari perselisihan tentang kadar kepemilikan masing-masing sekutu terhadap badan usaha mereka. (Baca: Nihayatul Mathlab oleh al-Juwaini: 7/23; al-Mughni oleh Ibnu Qudamah: 7/124)


Kejelasan dalam Modal Usaha


Di antara ketentuan penting yang sepantasnya Anda indahkan pada awal pembentukan serikat dagang ialah kejelasan modal masing-masing sekutu. Bila modal berupa uang, maka nominalnya jelas, dan bila berupa barang atau hak atas kekayaan intelektual (HKI), maka nilai jual barang atau hak tersebut disepakati pada awal pendirian badan usaha. Selanjutnya, semuanya dituliskan dengan cara-cara yang benar, sehingga memiliki kekuatan hukum.


Ketentuan ini bertujuan untuk menghindari perselisihan di kemudian hari. Karena biasanya, pada awal perserikatan, masing-masing pihak memiliki toleransi tinggi. Akan tetapi, bersama berjalannya perserikatan, terlebih-lebih setelah menjadi besar, toleransi telah terkikis, sedangkan ambisi untuk mendapatkan keuntungan sebesar mungkin semakin berkobar.

وَإِنَّ كَثِيراً مِّنْ الْخُلَطَاء لَيَبْغِي بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَقَلِيلٌ مَّا هُمْ


"Dan sesungguhnya pada kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu, sebagian mereka berbuat zalim kepada sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shalih, dan amat sedikitlah mereka ini." (Qs. Shad: 24)


Saham Kosong


Di antara hal yang biasa terjadi di berbagai perusahaan ialah adanya pemberian saham kosong kepada beberapa pihak yang dianggap atau diharapkan berjasa pada perusahan. Para penerima saham kosong ini berhak mendapatkan bagian dari keuntungan sebesar persentase saham tersebut. Namun, saham ini memiliki berbagai perbedaan dari saham biasa. Berikut ini beberapa perbedaan tersebut:

  1. Saham kosong tidak memiliki nilai nominal yang tertulis pada lembar saham, sehingga haknya hanya sebatas mendapatkan bagian dari keuntungan (dividen).
  2. Pemegang saham kosong tidak dihitung dari anggota pemegang saham yang berhak mengahadiri RUPS (rapat umum pemegang saham), dan juga tidak memiliki wewenang untuk campur tangan dalam kebijaksanaan dan arah perusahaan.
  3. Saham kosong bisa dihapuskan, baik secara keseluruhan atau sebagian saja.


Disebabkan oleh karakter saham kosong yang demikian ini, maka kebanyakan ulama kontemporer mengharamkan saham kosong, dengan alasan sebagai berikut:


Alasan pertama.
Saham kosong, sejatinya, adalah salah satu bentuk jual-beli jasa, sehingga nominal nilai jualnya haruslah diketahui dan tidak dalam hitungan persentase dari keuntungan yang tidak menentu jumlahnya. Dengan demikian, saham kosong ini tercakup oleh keumuman hadits riwayat Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu berikut, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melarang jual-beli yang mengandung gharar (unsur ketidakjelasan)." (HR. Muslim)


Alasan kedua. Saham kosong sering kali membahayakan masa depan perusahaan dan merugikan para pemegang saham.


Alasan ketiga. Biasanya, saham kosong adalah pintu lebar buat terjadinya praktik manipulasi, suap, dan tindakan-tindakan tercela lainnya. (Suq al-Auraq al-Maliyah, oleh Dr. Khursyid Asyraf Iqbal, hlm. 320--321)


Ruang Gerak Perusahaan


Tidak diragukan bahwa ruang gerak dan unit usaha setiap perusahaan yang dibangun oleh seorang muslim atau dibangun di negeri Islam dibatasi oleh hukum-hukum Allah Ta'ala. Karenanya, tidak dibenarkan bagi siapa pun untuk menjalankan suatu unit usaha yang memproduksi atau memasarkan barang atau jasa yang diharamkan dalam Islam.


Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menggariskan hal ini dengan bersabda, "Sesungguhnya, bila Allah mengharamkan suatu hal, pasti Ia mengharamkan pula hasil penjualannya." (HR. Ahmad, Abu Daud, dan ad-Daraquthni)


Asas Hubungan antara Pemilik Saham


Mengetahui asas yang mendasari setiap hubungan yang Anda jalin menjadikan Anda memahami hak dan kewajiban masing-masing pihak yang terkait. Karenanya, sejak dahulu kala, para ulama ahli fikih memberikan perhatian khusus tentang hal ini.


Ibnu Qudamah berkata, "Serikat dagang biasanya didasari oleh perwakilan dan amanah, karena masing-masing sekutu, mempercayakan pengelolaan modalnya kepada partnernya dan pada waktu yang sama ia mengizinkannya partnernya untuk mewakili dirinya." (Al-Mughni: 7/128; baca pula: Nihayatul Mathlab: 7/24 dan Bidayatul Mujtahid: 2/256)


Bila demikian adanya, maka masing-masing sekutu berkewajiban untuk berusaha mendatangkan keuntungan sebesar mungkin. Karenanya, as-Suyuthi menjelaskan bahwa setiap orang yang bertindak untuk orang lain wajib melakukan yang terbaik bagi pihak yang memberinya kepercayaan. (Al-Asybah wa an-Nazhair: 49)


Di antara aplikasi nyata asas ini, masing-masing sekutu tidak dibenarkan untuk membelanjakan harta perusahaan kecuali pada pos-pos yang mendatangkan keuntungan untuk perusahaan. (Bidayatul Mujtahid: 2/256 dan Raudhatuth Thalibin: 3/515)


Karakter Akad Serikat Dagang


Tidak ada perselisihan di antara para ulama bahwa serikat dagang adalah salah satu akad yang tidak mengikat. Dengan demikian, masing-masing sekutu berhak menghentikan perserikatan kapan pun ia suka, asalkan tidak menimbulkan kerugian pada partnernya.

Sebagaimana akad serikat menjadi terhenti bila salah satu dari sekutu meninggal dunia, kecuali bila ahli warisnya menghendaki agar perserikatan dilanjutkan dan mereka menunjuk pengganti sekutu yang meninggal tersebut. (Baca: Al-Mughni: 7/131, Raudhatuth Thalibin: 3/515-516, dan Bidayatul Mujtahid: 2/225--256)


Hak dan Tanggung Jawab Masing-masing Sekutu


Saudaraku, untuk urusan hak, saya yakin Anda pasti mengetahui bahwa hak utama masing-masing sekutu dagang ialah mendapatkan bagian dari keuntungan usaha.
Pendapat yang paling kuat dalam hal pembagian keuntungan ialah pendapat yang membolehkan pembagian keuntungan, sesuai dengan kesepakatan, walaupun tidak berbanding lurus dengan nomimal modal masing-masing.


Alasannya adalah karena keuntungan dalam usaha dihasilkan bukan hanya dari modal, tetapi juga dari kerja dan keahlian seluruh pihak terkait. Bila demikian adanya, bisa saja kerja dan peranan sebagian sekutu lebih dominan dalam mendatangkan keuntungan dibanding lainnya. Sehingga, wajar bila sekutu yang paling berperan dalam mendatangkan keuntungan mendapatkan deviden lebih besar dari yang diberikan kepada lainnya. Pendapat inilah yang dianut dalam Mazhab Hanafi dan Hambali. (Al-Mughni: 7/138 dan Badai'i ash-Shanai'i: 6/62)


Sebagaimana setiap sekutu memiliki hak untuk turut menentukan arah kebijaksanaan dan gerak perusahaan, masing-masing sebesar persentase modal yang ia miliki. Hanya saja, pada praktik perserikatan dagang yang berlaku saat ini, telah dikenal sesuatu yang disebut dengan saham preferen. Pemilik saham ini memiliki bebeberapa kelebihan dibanding pemilik saham biasa, di antaranya:

  1. Mendapatkan dividen yang terjamin, dalam jumlah tetap dan dalam persentase tertentu dari total saham yang dimiliki, tanpa ada bedanya apakah perusahaan merugi atau untung.
  2. Memiliki hak untuk mendapatkan deviden lebih dahulu.
  3. Memiliki hak suara lebih tinggi dibanding pemilik saham biasa.


Untuk mengetahui hukum saham preferen, Anda perlu mengetahui dua hal berikut:

  1. Para ulama telah bersepakat bahwa kerugian harus berbanding sejajar dengan jumlah saham yang dimiliki, karena arti dari kerugian usaha ialah modal usaha menjadi berkurang. Dengan demikian, kewajiban masing-masing sekutu atas segala kerugian dan risiko perusahaan hanyalah sebesar persentase saham yang ia miliki dari total saham perusahaan.
  2. Masing-masing sekutu dagang hanya berhak mendapatkan deviden bila perusahaan benar-benar membukukan keuntungan. Sehingga, bila perusahaan tidak berhasil membukukan keuntungan, mereka tidak berhak mendapatkan deviden.
  3. Besar atau kecilnya deviden yang diperoleh setiap sekutu berbanding lurus dengan besar atau kecilnya keuntungan yang berhasil dibukukan perusahaan. Sehingga, deviden setiap sekutu, bersifat fluktuatif, dan tidak tetap.

Dengan memahami ketiga hal ini, dapat disimpulkan bahwa saham preferen mengandung unsur riba, sehingga hukumnya pun haram.


Penutup


Penjelasan yang saya paparkan di atas hanyalah gambaran singkat tentang berbagai hukum perserikatan dagang dalam syariat Islam. Perlu saya tekankan, pintu terjadinya kesalahan pun senantiasa terbuka. Karenanya, saran dan kritik sangat berharga bagi kita semua. Harapan saya, tulisan ini memotivasi Anda untuk semakin gigih dalam mempelajari syariat agama yang kita cintai ini. Sehingga, dengan semakin bertambahnya umur, Anda semakin dekat dengan Allah Ta'ala.

Wallahu Ta'ala a'lam bish-shawab.


***

Sumber : pengusahamuslim.com

.

Subhanakallohumma wa bihamdihi,

Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika

Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamin

FILE 174 : Menyoroti Penerapan Sistim Denda

Bismillahirrohmanirrohim

Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam

Wa ba'du

……

Denda dalam Kacamata Syariah

Penulis:

Ustadz Abu ‘Ukkasyah Aris Munandar, S.S.

.

Di tengah-tengah masyarakat sering kita jumpai berbagai bentuk denda berkaitan dengan transaksi muamalah. Seorang karyawan yang tidak masuk kerja tanpa izin akan diberikan sanksi berupa pemotongan gaji. Telat membayar angsuran kredit motor juga akan mendapatkan denda setiap hari, dengan nominal rupiah tertentu. Seorang penerjemah buku juga akan didenda dengan nominal tertentu setiap harinya oleh penerbit, jika buku ternyata belum selesai diterjemahkan sampai batas waktu yang telah disepakati. Percetakan yang tidak tepat waktu juga dituntut untuk membayar denda dengan jumlah tertentu. Bayar listrik sesudah tanggal 20 juga akan dikenai denda oleh pihak PLN.

Bagaimanakah hukum dari berbagai jenis denda di atas, apakah diperbolehkan secara mutlak, ataukah terlarang secara mutlak, ataukah perlu rincian? Inilah tema bahasan kita pada edisi ini. Persyaratan denda sebagaimana di atas diistilahkan oleh para ulama dengan nama syarth jaza’i.

Hukum persyaratan semisal ini berkaitan erat dengan hukum syarat dalam transaksi dalam pandangan para ulama. Ulama tidak memiliki titik pandang yang sama terkait dengan hukum asal berbagai bentuk transaksi dan persyaratan di dalamnya, ada dua pendapat.

Pendapat pertama menyatakan bahwa hukum asalnya adalah terlarang, kecuali persyaratan-persyaratan yang dibolehkan oleh syariat. Adapun pendapat kedua menegaskan bahwa hukum asal dalam masalah ini adalah sah dan boleh, tidak haram dan tidak pula batal, kecuali terdapat dalil dari syariat yang menunjukkan haram dan batalnya.

Singkat kata, pendapat yang lebih tepat adalah pendapat yang kedua, dengan alasan sebagai berikut:

a. Dalam banyak ayat dan hadits, kita dapatkan perintah untuk memenuhi perjanjian, transaksi, dan persyaratan, serta menunaikan amanah. Jika memenuhi dan memperhatikan perjanjian secara umum adalah perkara yang diperintahkan, maka bisa ditarik kesimpulan bahwa hukum asal transaksi dan persyaratan adalah sah. Makna dari sahnya transaksi adalah maksud diadakannya transaksi itu terwujud, sedangkan maksud pokok dari transaksi adalah dijalankan.

b. Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Kaum muslimin itu berkewajiban melaksanakan persyaratan yang telah mereka sepakati.” (Hr. Abu Daud dan Tirmidzi)

Makna kandungan hadits ini didukung oleh berbagai dalil dari al-Quran dan as-Sunnah. Maksud dari persyaratan adalah mewajibkan sesuatu yang pada asalnya tidak wajib, tidak pula haram. Segala sesuatu yang hukumnya mubah akan berubah menjadi wajib jika terdapat persyaratan.

Pendapat inilah yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan muridnya, Ibnul Qayyim. Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Segala syarat yang tidak menyelisihi syariat adalah sah, dalam semua bentuk transaksi. Semisal penjual yang diberi syarat agar melakukan sesuatu atau meninggalkan sesuatu dalam transaksi jual-beli, baik maksud pokoknya adalah penjual ataupun barang yang diperdagangkan. Syarat dan transaksi jual-belinya adalah sah.”

Ibnul Qayyim mengatakan, “Kaidah yang sesuai dengan syariat adalah segala syarat yang menyelisihi hukum Allah dan kitab-Nya adalah syarat yang dinilai tidak ada (batil). Adapun syarat yang tidak demikian adalah tergolong syarat yang harus dilaksanakan, karena kaum muslimin berkewajiban memenuhi persyaratan yang telah disepakati bersama, kecuali persyaratan yang menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal. Inilah pendapat yang dipilih oleh guru kami, Ibnu Taimiyyah.”

Berdasar keterangan di atas, maka syarth jaza’i adalah diperbolehkan, asalkan hakikat transaksi tersebut bukanlah transaksi utang-piutang dan nominal dendanya wajar, sesuai dengan besarnya kerugian secara riil.

Berikut ini adalah kutipan dua fatwa para ulama:

Yang pertama adalah keputusan Majma’ Fikih Islami yang bernaung di bawah Munazhamah Mu’tamar Islami, yang merupakan hasil pertemuan mereka yang ke-12 di Riyadh, Arab Saudi, yang berlangsung dari tgl 23–28 September 2000. Hasil keputusannya adalah sebagai berikut:

Keputusan pertama. Syarth jaza’i adalah kesepakatan antara dua orang yang mengadakan transaksi untuk menetapkan kompensasi materi yang berhak didapatkan oleh pihak yang membuat persyaratan, disebabkan kerugian yang diterima karena pihak kedua tidak melaksanakan kewajibannya atau terlambat dalam melaksanakan kewajibannya.

Keputusan kedua. Adanya syarth jaza’i (denda) yang disebabkan oleh keterlambatan penyerahan barang dalam transaksi salam tidak dibolehkan, karena hakikat transaksi salam adalah utang, sedangkan persyaratan adanya denda dalam utang-piutang dikarenakan faktor keterlambatan adalah suatu hal yang terlarang. Sebaliknya, adanya kesepakatan denda sesuai kesepakatan kedua belah pihak dalam transaksi istishna’ adalah hal yang dibolehkan, selama tidak ada kondisi tak terduga.

Istishna’ adalah kesepakatan bahwa salah satu pihak akan membuatkan benda tertentu untuk pihak kedua, sesuai dengan pesanan yang diminta. Namun bila pembeli dalam transaksi ba’i bit-taqshith (jual-beli kredit) terlambat menyerahkan cicilan dari waktu yang telah ditetapkan, maka dia tidak boleh dipaksa untuk membayar tambahan (denda) apa pun, baik dengan adanya perjanjian sebelumnya ataupun tanpa perjanjian, karena hal tersebut adalah riba yang haram.

[Sedikit penjelasan: Salam = pesanan dengan pembayaran di muka, kebalikan jual-beli kredit; Istishna' = pesanan tanpa uang muka (order) -Sa'ad]

Keputusan ketiga. Perjanjian denda ini boleh diadakan bersamaan dengan transaksi asli, boleh pula dibuat kesepakatan menyusul, sebelum terjadinya kerugian.


Keputusan keempat
. Persyaratan denda ini dibolehkan untuk semua bentuk transaksi finansial, selain transaksi-transaksi yang hakikatnya adalah transaksi utang-piutang, karena persyaratan denda dalam transaksi utang adalah riba senyatanya.

Berdasarkan hal ini, maka persyaratan ini dibolehkan dalam transaksi muqawalah bagi muqawil (orang yang berjanji untuk melakukan hal tertentu untuk melengkapi syarat tertentu, semisal membangun rumah atau memperbaiki jalan raya).

Muqawalah adalah kesepakatan antara dua belah pihak, pihak pertama berjanji melakukan hal tertentu untuk kepentingan pihak kedua dengan jumlah upah tertentu dan dalam jangka waktu yang tertentu pula. Demikian pula, persyaratan denda dalam transaksi taurid (ekspor impor) adalah syarat yang dibolehkan, asalkan syarat tersebut ditujukan untuk pihak pengekspor.

Demikian juga dalam transaksi istishna’, asalkan syarat tersebut ditujukan untuk pihak produsen, jika pihak-pihak tersebut tidak melaksanakan kewajibannya atau terlambat dalam melaksanakan kewajibannya.

Akan tetapi, tidak boleh diadakan persyaratan denda dalam jual-beli kredit sebagai akibat pembeli yang terlambat untuk melunasi sisa cicilan, baik karena faktor kesulitan ekonomi ataupun keengganan. Demikian pula dalam transaksi istishna’ untuk pihak pemesan barang, jika dia terlambat menunaikan kewajibannya.


Keputusan kelima
. Kerugian yang boleh dikompensasikan adalah kerugian finansial yang riil atau lepasnya keuntungan yang bisa dipastikan. Jadi, tidak mencakup kerugian etika atau kerugian yang bersifat abstrak.

Keputusan keenam. Persyaratan denda ini tidak berlaku, jika terbukti bahwa inkonsistensi terhadap transaksi itu disebabkan oleh faktor yang tidak diinginkan, atau terbukti tidak ada kerugian apa pun disebabkan adanya pihak yang inkonsisten dengan transaksi.

Keputusan ketujuh. Berdasarkan permintaan salah satu pihak pengadilan, dibolehkan untuk merevisi nominal denda jika ada alasan yang bisa dibenarkan dalam hal ini, atau disebabkan jumlah nominal tersebut sangat tidak wajar.


Yang kedua
adalah fatwa Haiah Kibar Ulama Saudi. Secara ringkas, keputusan mereka adalah sebagai berikut, “Syarth Jaza’i yang terdapat dalam berbagai transaksi adalah syarat yang benar dan diakui sehingga wajib dijalankan, selama tidak ada alasan pembenar untuk inkonsistensi dengan perjanjian yang sudah disepakati.

Jika ada alasan yang diakui secara syar’i, maka alasan tersebut mengugurkan kewajiban membayar denda sampai alasan tersebut berakhir.

Jika nominal denda terlalu berlebihan menurut konsesus masyarakat setempat, sehingga tujuan pokoknya adalah ancaman dengan denda, dan nominal tersebut jauh dari tuntutan kaidah syariat, maka denda tersebut wajib dikembalikan kepada jumlah nominal yang adil, sesuai dengan besarnya keuntungan yang hilang atau besarnya kerugian yang terjadi.

Jika nilai nominal tidak kunjung disepakati, maka denda dikembalikan kepada keputusan pengadilan, setelah mendengarkan saran dari pakar dalam bidangnya, dalam rangka melaksanakan firman Allah, yaitu surat an-Nisa’: 58.” (Taudhih al-Ahkam: 4/253–255)

Jadi, anggapan sebagian orang bahwa syarth jaza’i secara mutlak itu mengandung unsur riba nasi’ah adalah anggapan yang tidak benar. Anggapan ini tidaklah salah jika ditujukan untuk transaksi-transaksi yang pada asalnya adalah utang-piutang, semisal jual-beli kredit dan transaksi salam.

***

Sumber : ekonomisyariat.com

.

Subhanakallohumma wa bihamdihi,

Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika

Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamin

FILE 173 : Gadai dalam Islam

Bismillahirrohmanirrohim

Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam

Wa ba'du

……

Gadai dalam Islam

Penulis:
.

Ustadz Kholid Syamhudi
.

.

Islam agama yang lengkap dan sempurna telah meletakkan kaidah-kaidah dasar dan aturan dalam semua sisi kehidupan manusia, baik dalam ibadah maupun muamalah (hubungan antar makhluk). Setiap orang membutuhkan interaksi dengan orang lain untuk saling menutupi kebutuhan dan tolong-menolong di antara mereka.

Karena itulah, kita sangat perlu mengetahui aturan Islam dalam seluruh sisi kehidupan kita sehari-hari, di antaranya tentang interaksi sosial dengan sesama manusia, khususnya berkenaan dengan perpindahan harta dari satu tangan ke tangan yang lain.

Utang-piutang terkadang tidak dapat dihindari, padahal banyak muncul fenomena ketidakpercayaan di antara manusia, khususnya di zaman kiwari ini. Sehingga. orang terdesak untuk meminta jaminan benda atau barang berharga dalam meminjamkan hartanya.

Realita yang ada tidak dapat dipungkiri, suburnya usaha-usaha pegadaian, baik dikelola pemerintah atau swasta menjadi bukti terjadinya kegiatan gadai ini. Ironisnya, banyak kaum muslimin yang belum mengenal aturan indah dan adil dalam Islam mengenai hal ini. Padahal perkara ini bukanlah perkara baru dalam kehidupan mereka, sudah sejak lama mereka mengenal jenis transaksi seperti ini. Sebagai akibatnya, terjadi kezaliman dan saling memakan harta saudaranya dengan batil.

Dalam rubrik fikih kali ini kita angkat permasalahan gadai (rahn) dalam tinjauan syariat Islam.

Definisi ar-Rahn

Rahn, dalam bahasa Arab, memiliki pengertian “tetap dan kontinyu”. [1] Dalam bahasa Arab dikatakan: المَاءُ الرَّاهِنُ apabila tidak mengalir, dan kata نِعْمَةٌ رَاهِنَةٌ bermakna nikmat yang tidak putus. Ada yang menyatakan, kata “rahn” bermakna “tertahan”, dengan dasar firman Allah,

كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ رَهِينَةٌ

“Tiap-tiap diri bertanggung jawab (tertahan) atas perbuatan yang telah dikerjakannya.” (Qs. Al-Muddatstsir: 38)

Pada ayat tersebut, kata “rahinah” bermakna “tertahan”. Pengertian kedua ini hampir sama dengan yang pertama, karena yang tertahan itu tetap ditempatnya. [2]

Ibnu Faris menyatakan, “Huruf ra`, ha`, dan nun adalah asal kata yang menunjukkan tetapnya sesuatu yang diambil dengan hak atau tidak. Dari kata ini terbentuk kata ‘ar-rahn’, yaitu sesuatu yang digadaikan.” [3]

Adapun definisi rahn dalam istilah syariat, dijelaskan para ulama dengan ungkapan, “Menjadikan harta benda sebagai jaminan utang, agar utang bisa dilunasi dengan jaminan tersebut, ketika si peminjam tidak mampu melunasi utangnya.” [4]

“Atau harta benda yang dijadikan jaminan utang untuk melunasi (utang tersebut) dari nilai barang jaminan tersebut, apabila si peminjam tidak mampu melunasi utangnya.” [5]

“Memberikan harta sebagai jaminan utang agar digunakan sebagai pelunasan utang dengan harta atau nilai harta tersebut, bila pihak berutang tidak mampu melunasinya.” [6]

Sedangkan Syekh al-Basaam mendefinisikan ar-rahn sebagai jaminan utang dengan barang yang memungkinkan pelunasan utang dengan barang tersebut atau dari nilai barang tersebut, apabila orang yang berutang tidak mampu melunasinya. [7]


Hukum ar-Rahn

Utang-piutang dengan sistem gadai ini diperbolehkan dan disyariatkan dengan dasar al-Quran, as-Sunnah, dan ijma’ kaum muslimin.

Dalil al-Quran adalah firman Allah,

وَإِن كُنتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُواْ كَاتِباً فَرِهَانٌ مَّقْبُوضَةٌ فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُم بَعْضاً فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ وَلْيَتَّقِ اللّهَ رَبَّهُ وَلاَ تَكْتُمُواْ الشَّهَادَةَ وَمَن يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُ آثِمٌ قَلْبُهُ وَاللّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ

“Jika kamu berada dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedangkan kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Rabbnya. Dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya. Dan Allah Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Qs. al-Baqarah: 283)

Walaupun terdapat pernyataan “dalam perjalanan” namun ayat ini tetap berlaku secara umum, baik ketika dalam perjalanan atau dalam keadaan mukim (menetap), karena kata “dalam perjalanan” dalam ayat ini hanya menunjukkan keadaan yang biasanya memerlukan sistem ini (ar-rahn).

Hal ini pun dipertegas dengan amalan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang melakukan pegadaian, sebagaimana dikisahkan Ummul Mukminin Aisyah dalam pernyataan beliau,

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اشْتَرَى طَعَامًا مِنْ يَهُودِيٍّ إِلَى أَجَلٍ وَرَهَنَهُ دِرْعًا مِنْ حَدِيدٍ

“Sesungguhnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli bahan makanan dari seorang yahudi dengan cara berutang, dan beliau menggadaikan baju besinya.” (HR. Al-Bukhari no. 2513 dan Muslim no. 1603)

Demikian juga, para ulama bersepakat menyatakan tentang disyariatkannya ar-rahn ini dalam keadaan safar (melakukan perjalanan) dan masih berselisih kebolehannya dalam keadaan tidak safar. Imam al-Qurthubi menyatakan, “Tidak ada seorang pun yang melarang ar-rahn pada keadaan tidak safar kecuali Mujahid, ad-Dhahak, dan Daud (az-Zahiri). [8] Demikian juga Ibnu Hazm.

Ibnu Qudamah menyatakan, “Ar-rahn diperbolehkan dalam keadaan tidak safar (menetap) sebagaimana diperbolehkan dalam keadaan safar (bepergian).

Ibnul Mundzir menyatakan, “Kami tidak mengetahui seorang pun yang menyelisihi hal ini kecuali Mujahid. Ia menyatakan, ‘Ar-rahn itu tidak ada, kecuali dalam keadaan safar, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَإِن كُنتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُواْ كَاتِباً فَرِهَانٌ مَّقْبُوضَةٌ

“Jika kamu berada dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedangkan kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).”

Akan tetapi, yang benar dalam permasalahan ini adalah pendapat mayoritas ulama, dengan adanya dalil perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas dan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,

الرَّهْنُ يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَعَلَى الَّذِي يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ النَّفَقَةُ

“Binatang tunggangan boleh ditunggangi sebagai imbalan atas nafkahnya (makanannya) bila sedang digadaikan, dan susu binatang yang diperah boleh diminum sebagai imbalan atas makanannya bila sedang digadaikan. Orang yang menunggangi dan meminum susu berkewajiban untuk memberikan makanan.” (HR. Al-Bukhari no. 2512). Wallahu A’lam. [9]

Pendapat ini dirajihkan oleh Ibnu Qudamah, al-Hafidz Ibnu Hajar [10], dan Muhammad al-Amin asy-Syinqithi. [11]

Setelah jelas tentang pensyariatan ar-rahn dalam keadaan safar (perjalanan), maka bagaimanakah hukum ar-rahn pada keadaan yang berbeda? Apakah hukumnya wajib dalam safar dan mukim, tidak wajib pada keseluruhannya, atau wajib dalam keadaan safar saja? Dalam hal ini, para ulama berselisih dalam dua pendapat.

Pendapat pertama, tidak wajib, baik dalam perjalanan atau keadaan mukim. Inilah pendapat Mazhab empat imam (Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hambaliyah).

Ibnu Qudamah berkata, “Penyerahan ar-rahn (barang gadai) itu tidak wajib. Kami tidak mengetahui orang yang menyelisihinya, karena ia adalah jaminan atas utang sehingga tidak wajib untuk diberikan, seperti dhiman (jaminan pertanggungjawaban).” [12]

Dalil pendapat ini adalah dalil-dalil yang menunjukkan pensyariatan ar-rahn dalam keadaan mukim di atas yang tidak menunjukkan adanya perintah, sehingga menunjukkan tidak wajibnya penyerahan ar-rahn (barang gadai).

Demikian juga, karena ar-rahn adalah jaminan utang, sehingga tidak wajib untuk diserahkan, seperti dhiman (jaminan pertanggungjawaban) dan kitabah (penulisan perjanjian utang). Selain itu, karena rahn itu ada ketika penulisan perjanjian utang sulit untuk dilakukan. Bila penulisan perjanjian utang tidak wajib untuk dilakukan, maka demikian juga dengan penggantinya (yaitu ar-rahn).

Pendapat kedua, wajib dalam keadaan safar. Inilah pendapat Ibnu Hazm dan yang menyepakatinya. Pendapat ini berdalil dengan firman Allah,

وَإِن كُنتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُواْ كَاتِباً فَرِهَانٌ مَّقْبُوضَةٌ

“Jika kamu berada dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedangkan kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).”

Mereka menyatakan bahwa kalimat “maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)” adalah berita yang bermakna perintah.

Juga dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

كُلُّ شَرْطٍ لَيْسَ فِي كِتَابِ اللَّهِ فَهُوَ بَاطِلٌ وَإِنْ كَانَ مِائَةَ شَرْطٍ

“Semua syarat yang tidak terdapat dalam kitabullah, maka dia batil walaupun ada seratus syarat.” (HR. Al-Bukhari)

Mereka menyatakan, “Pensyaratan ar-rahn dalam keadaan safar terdapat dalam al-Quran dan merupakan perkara yang diperintahkan, sehingga wajib untuk mengamalkannya. Serta tidak ada pensyaratan bahwa ar-rahn hanya dalam keadaan mukim, sehingga dia tertolak.”

Pendapat ini dibantah dengan argumentasi bahwa perintah dalam ayat tersebut bermaksud sebagai bimbingan bukan kewajiban. Ini jelas ditunjukkan dalam firman Allah setelahnya,

فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُم بَعْضاً فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ

“Akan tetapi, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya).” (Qs. Al-Baqarah: 283)

Demikian juga, hukum asal dalam transaksi muamalah adalah boleh (mubah) hingga ada larangannya, dan di dalam permasalahan ini tidak ada larangannya.” [13]

Yang rajih adalah pendapat pertama. Wallahu a’lam.

Hikmah Pensyariatannya

Keadaan setiap orang berbeda, ada yang kaya dan ada yang miskin, padahal harta sangat dicintai setiap jiwa. Lalu, terkadang di suatu waktu, seseorang sangat membutuhkan uang untuk menutupi kebutuhan-kebutuhannya yang mendesak. Namun dalam keadaan itu, dia pun tidak mendapatkan orang yang bersedekah kepadanya atau yang meminjamkan uang kapadanya, juga tidak ada penjamin yang menjaminnya.

Hingga ia mendatangi orang lain untuk membeli barang yang dibutuhkannya dengan cara berutang, sebagaimana yang disepakati kedua belah pihak. Bisa jadi pula, dia meminjam darinya, dengan ketentuan, dia memberikan barang gadai sebagai jaminan yang disimpan pada pihak pemberi utang hingga ia melunasi utangnya.

Oleh karena itu, Allah mensyariatkan ar-rahn (gadai) untuk kemaslahatan orang yang menggadaikan (rahin), pemberi utangan (murtahin), dan masyarakat.

Untuk rahin, ia mendapatkan keuntungan berupa dapat menutupi kebutuhannya. Ini tentunya bisa menyelamatkannya dari krisis, menghilangkan kegundahan di hatinya, serta terkadang ia bisa berdagang dengan modal tersebut, yang dengan itu menjadi sebab ia menjadi kaya.

Adapun murtahin (pihak pemberi utang), dia akan menjadi tenang serta merasa aman atas haknya, dan dia pun mendapatkan keuntungan syar’i. Bila ia berniat baik, maka dia mendapatkan pahala dari Allah.

Adapun kemaslahatan yang kembali kepada masyarakat, yaitu memperluas interaksi perdagangan dan saling memberikan kecintaan dan kasih sayang di antara manusia, karena ini termasuk tolong-menolong dalam kebaikan dan takwa. Terdapat manfaat yang menjadi solusi dalam krisis, memperkecil permusuhan, dan melapangkan penguasa. [14]


Rukun ar-Rahn (Gadai)

Mayoritas ulama memandang bahwa rukun ar-rahn (gadai) ada empat, yaitu:

  1. Ar-rahn atau al-marhun (barang yang digadaikan).
  2. Al-marhun bih (utang).
  3. Shighah. [15]
  4. Dua pihak yang bertransaksi, yaitu rahin (orang yang menggadaikan) dan murtahin (pemberi utang).

Sedangkan Mazhab Hanafiyah memandang ar-rahn (gadai) hanya memiliki satu rukun yaitu shighah, karena pada hakikatnya dia adalah transaksi. [16]


Syarat ar-Rahn

Dalam ar-Rahn terdapat persyaratan sebagai berikut:

1. Syarat yang berhubungan dengan transaktor (orang yang bertransaksi), yaitu orang yang menggadaikan barangnya adalah orang yang memiliki kompetensi beraktivitas, yaitu baligh, berakal, dan rusyd (memiliki kemampuan mengatur). [17]

2. Syarat yang berhubungan dengan al-marhun (barang gadai), yaitu:

  • Barang gadai itu berupa barang berharga yang dapat menutupi utangnya, baik barang atau nilainya ketika si peminjam tidak mampu melunasi utangnya. [18]
  • Barang gadai tersebut adalah milik orang yang manggadaikannya atau yang diizinkan baginya untuk menjadikannya sebagai jaminan gadai. [19]
  • Barang gadai tersebut harus diketahui ukuran, jenis, dan sifatnya, karena ar-rahn adalah transaksi atau harta sehingga disyaratkan hal ini. [20]

3. Syarat yang berhubungan dengan al-marhun bih (utang) adalah utang yang wajib atau yang akhirnya menjadi wajib. [21]


Kapan ar-Rahn (Gadai) Menjadi Keharusan?

Para ulama berselisih pendapat dalam masalah ar-rahn, dalam hal apakah menjadi keharusan untuk diserahkan langsung ketika transaksi ataukah setelah serah terima barang gadainya. Terdapat dua pendapat dalam hal ini:

Pendapat pertama, serah terima adalah syarat keharusan terjadinya ar-rahn. Ini pendapat Mazhab Hanafiyah, Syafi’iyah dan riwayat dalam Mazhab Ahmad bin Hambal, serta Mazhab Zahiriyah.

Dasar pendapat ini adalah firman Allah “فَرِهَانٌ مَّقْبُوضَةُُ”. Dalam ayat ini, Allah mensifatkannya dengan “dipegang” (serah terima), dan ar-rahn adalah transaksi penyerta yang butuh kepada penerimaan, sehingga membutuhkan serah-terima (al-qabdh) seperti utang. Juga karena hal itu adalah rahn (gadai) yang belum diserahterimakan, sehingga tidak diharuskan untuk menyerahkannya, sebagaimana bila yang menggadaikannya meninggal dunia. [22]

Pendapat kedua, ar-rahn langsung terjadi setelah selesai transaksi. Dengan demikian, bila pihak yang menggadaikan menolak untuk menyerahkan barang gadainya, maka dia dipaksa untuk menyerahkannya. Ini pendapat Mazhab Malikiyah dan riwayat dalam Mazhab Hambaliyah.

Dasar pendapat ini adalah firman Allah “فَرِهَانٌ مَّقْبُوضَةُُ“. Dalam ayat ini, Allah menetapkannya sebagai ar-rahn sebelum dipegang (serahterimakan). Selain itu, ar-rahn juga merupakan akad transaksi yang mengharuskan adanya serah-terima sehingga juga menjadi wajib sebelumnya seperti jual beli. Demikian juga menurut Imam Malik, serah terima hanyalah menjadi penyempurna ar-rahn dan bukan syarat sahnya.

Syekh Abdurrahman bin Hasan menyatakan, “Adapun firman Allah ‘فَرِهَانٌ مَّقْبُوضَةُُ’ adalah sifat keumumannya, namun kebutuhan menuntut (keharusannya) tidak dengan serah-terima (al-qabdh). [23]

Prof. Dr. Abdullah ath-Thayyar menyatakan bahwa yang rajih adalah ar-rahn menjadi harus diserahterimakan melalui akad transaksi, karena hal itu dapat merealisasikan faidah ar-rahn, berupa pelunasan utang dengan barang gadai tersebut atau dengan nilainya ketika si peminjam tidak mampu melunasi utangnya. Ayat al-Quran pun hanya menjelaskan sifat mayoritas dan kebutuhan dalam transaksi yang menuntut adanya jaminan walaupun belum sempurna serah terimanya karena ada kemungkinan mendapatkannya. [24]

Kapan Serah Terima ar-Rahn Dianggap Sah?

Adakalanya barang gadai itu berupa barang yang tidak dapat dipindahkan, seperti rumah dan tanah, sehingga serah terimanya disepakati dengan cara mengosongkannya untuk murtahin tanpa ada penghalangnya.

Ada kalanya pula, barang gadai itu berupa barang yang dapat dipindahkan. Bila berupa barang yang ditakar maka disepakati bahwa serah terimanya adalah dengan ditakar pada takaran. Adapun bila barang timbangan maka disepakati bahwa serah terimanya adalah dengan ditimbang, dihitung bila barangnya dapat dihitung, serta diukur bila barangnya berupa barang yang diukur.

Namun bila berupa tumpukan bahan makanan yang dijual secara tumpukan, maka terjadi perselisihan pendapat tantang cara serah terimanya: ada yang berpendapat bahwa serahterimanya adalah dengan cara memindahkannya dari tempat semula, dan ada yang menyatakan cukup dengan ditinggalkan pihak oleh yang menggadaikannya dan murtahin dapat mengambilnya.

Hukum-hukum Setelah Serah Terima

Ada beberapa ketentuan dalam gadai setelah terjadinya serah-terima yang berhubungan dengan pembiayaan (pemeliharaan), pertumbuhan barang gadai, pemanfaatan, serta jaminan pertanggungjawaban bila barang gadai rusak atau hilang, di antaranya:

Pertama, pemegang barang gadai.

Barang gadai tersebut berada ditangan murtahin selama masa perjanjian gadai tersebut, sebagaimana firman Allah,

وَإِن كُنتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانُُ مَّقْبُوضَةُُ

“Jika kamu berada dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedangkan kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).” (Qs. Al-Baqarah: 283)

Juga sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

الظَّهْرُ يُرْكَبُ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَعَلَى الَّذِي يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ نَفَقَتُهُ

“Binatang tunggangan boleh ditunggangi bila sedang digadaikan, dan susu binatang yang diperah boleh diminum bila sedang digadaikan. Orang yang menunggangi dan meminum susu berkewajiban untuk memberikan makanan.” (HR. Tirmidzi; hadits shahih)

Kedua, pembiayaan pemeliharaan dan pemanfaatan barang gadai.

Pada asalnya barang, biaya pemeliharaan dan manfaat barang yang digadaikan adalah milik orang yang menggadaikan (rahin), dan murtahin tidak boleh mengambil manfaat barang gadaian tersebut kecuali bila barang tersebut berupa kendaraan atau hewan yang diambil air susunya, maka murtahin boleh menggunakan dan mengambil air susunya apabila ia memberikan nafkah (dalam pemeliharaan barang tersebut). Tentunya, pemanfaatannya sesuai dengan besarnya nafkah yang dikeluarkan dan memperhatikan keadilan. Hal ini di dasarkan pada sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

الظَّهْرُ يُرْكَبُ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَعَلَى الَّذِي يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ نَفَقَتُهُ

“Binatang tunggangan boleh ditunggangi bila sedang digadaikan, dan susu binatang yang diperah boleh diminum bila sedang digadaikan. Orang yang menunggangi dan meminum susu berkewajiban untuk memberikan makanan.” (HR. Tirmidzi; hadits shahih)

Syekh al-Basam menyatakan, “Menurut kesepakatan ulama, biaya pemeliharaan barang gadai dibebankan kepada pemiliknya.”

Demikian juga, pertumbuhan dan keuntungan barang tersebut juga miliknya, kecuali dua pengecualian ini (yaitu kendaraan dan hewan yang memiliki air susu yang diperas, pen). [25]

Penulis kitab al-Fiqh al-Muyassar menyatakan, “Manfaat dan pertumbuhan barang gadai adalah hak pihak penggadai, karena itu adalah miliknya. Orang lain tidak boleh mengambilnya tanpa seizinnya. Bila ia mengizinkan murtahin (pemberi utang) untuk mengambil manfaat barang gadainya tanpa imbalan dan utang gadainya dihasilkan dari peminjaman, maka yang demikian itu tidak boleh dilakukan, karena itu adalah peminjaman utang yang menghasilkan manfaat.

Adapun bila barang gadainya berupa kendaraan atau hewan yang memiliki susu perah, maka murtahin diperbolehkan untuk mengendarainya dan memeras susunya sesuai besarnya nafkah yang dia berikan kepada barang gadai tersebut, tanpa izin dari penggadai, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الرَّهْنُ يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَعَلَى الَّذِي يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ النَّفَقَةُ

“Binatang tunggangan boleh ditunggangi sebagai imbalan atas nafkahnya (makanannya) bila sedang digadaikan, dan susu binatang yang diperah boleh diminum sebagai imbalan atas makanannya bila sedang digadaikan. Orang yang menunggangi dan meminum susu berkewajiban untuk memberikan makanan.” (HR. Al-Bukhari, no. 2512).

Ini adalah pendapat Mazhab Hanabilah. Adapun mayoritas ulama fikih dari Mazhab Hanafiyah, Malikiyah, dan Syafi’iyah berpandangan tentang tidak bolehnya murtahin mengambil manfaat barang gadai, dan pemanfaatan hanyalah hak penggadai, dengan dalil sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لَهُ غُنْمُهُ وَعَلَيْهِ غَرَمُهُ

“Dia yang berhak memanfaatkannya dan wajib baginya menanggung biaya pemeliharaannya.” (Hr. Ad-Daruquthni dan al-Hakim)

Tidak ada ulama yang mengamalkan hadits pemanfaatan kendaraan dan hewan perah sesuai nafkahnya kecuali Ahmad, dan inilah pendapat yang rajih -insya Allah- karena dalil hadits shahih tersebut. [26]

Ibnul Qayyim memberikan komentar atas hadits pemanfaatan kendaraan gadai dengan pernyataan, “Hadits ini serta kaidah dan ushul syariat menunjukkan bahwa hewan gadai dihormati karena hak Allah. Pemiliknya memiliki hak kepemilikan dan murtahin (yang memberikan utang) memiliki hak jaminan padanya.

Bila barang gadai tersebut berada di tangan murtahin lalu dia tidak ditunggangi dan tidak diperas susunya, maka tentu akan hilanglah kemanfaatannya secara sia-sia. Sehingga, berdasarkan tuntutan keadilan, analogi (qiyas), serta untuk kemaslahatan penggadai, pemegang barang gadai (murtahin), dan hewan tersebut, maka murtahin mengambil manfaat, yaitu mengendarai dan memeras susunya, serta dan menggantikan semua manfaat itu dengan cara menafkahi (hewan tersebut).

Bila murtahin menyempurnakan pemanfaatannya dan menggantinya dengan nafkah, maka dalam hal ini ada kompromi dua kemaslahatan dan dua hak.” [27]

Ketiga, pertumbuhan barang gadai.

Pertumbuhan atau pertambahan barang gadai setelah dia digadaikan, adakalanya bergabung dan adakalanya terpisah. Bila tergabung, seperti (bertambah) gemuk, maka ia termasuk dalam barang gadai, dengan kesepakatan ulama. Adapun bila dia terpisah, maka terjadi perbedaan pendapat ulama dalam hal ini.

Abu Hanifah dan Imam Ahmad, serta yang menyepakatinya, berpandangan bahwa pertambahan atau pertumbuhan barang gadai yang terjadi setelah barang gadai berada di tangan murtahin akan diikut sertakan kepada barang gadai tersebut.

Sedangkan Imam Syafi’i dan Ibnu Hazm, serta yang menyepakatinya, berpandangan bahwa hal pertambahan atau pertumbuhan barang gadai tidak ikut serta bersama barang gadai, namun menjadi milik orang yang menggadaikannya. Hanya saja, Ibnu hazm berbeda pendapat dengan Syafi’i dalam hal kendaraan dan hewan menyusui, karena Ibnu Hazm berpendapat bahwa dalam kendaraan dan hewan yang menyusui, (pertambahan dan pertumbuhannya) menjadi milik orang yang menafkahinya. [28]

Keempat, perpindahan kepemilikan dan pelunasan utang dengan barang gadai.

Barang gadai tidak berpindah kepemilikannya kepada murtahin apabila telah selesai masa perjanjiannya, kecuali dengan izin orang yang menggadaikannya (rahin) dan dia tidak mampu melunasi utangnya.

Pada zaman jahiliyah dahulu, apabila pembayaran utang telah jatuh tempo, sedangkan orang yang menggadaikan belum melunasi utangnya, maka pihak yang memberi pinjaman uang akan menyita barang gadai tersebut secara langsung tanpa izin orang yang menggadaikannya (si peminjam uang).

Kemudian, Islam membatalkan cara yang zalim ini dan menjelaskan bahwa barang gadai tersebut adalah amanat pemiliknya yang berada di tangan pihak yang memberi pinjaman. Karenanya, pihak pemberi pinjaman tidak boleh memaksa orang yang menggadaikan barang tersebut untuk menjualnya, kecuali si peminjam tidak mampu melunasi utangnya tersebut.

Bila dia tidak mampu melunasi utangnya saat jatuh tempo, maka barang gadai tersebut dijual untuk membayar pelunasan utang tersebut. Apabila ternyata hasil penjualan tersebut masih ada sisanya, maka sisa penjualan tersebut menjadi milik pemilik barang gadai (orang yang menggadaikan barang tersebut). Bila hasil penjualan barang gadai tersebut belum dapat melunasi utangnya, maka orang yang menggadaikannya tersebut masih menanggung sisa utangnya. [29]

Demikianlah, barang gadai adalah milik orang yang menggadaikannya. Namun bila pembayaran utang telah jatuh tempo, maka penggadai meminta kepada murtahin (pemilik piutang) untuk menyelesaikan permasalahan utangnya, karena itu adalah utang yang sudah jatuh tempo maka harus dilunasi seperti utang tanpa gadai.

Bila ia dapat melunasi seluruhnya tanpa (menjual atau memindahkan kepemilikian) barang gadainya, maka murtahin melepas barang tersebut. Bila ia tidak mampu melunasi seluruhnya atau sebagiannya, maka wajib bagi orang yang menggadaikan (rahin) untuk menjual sendiri barang gadainya atau melalui wakilnya dengan izin dari murtahin, dan murtahin didahulukan atas pemilik piutang lainnya dalam pembayaran utang tersebut.

Apabila penggadai tersebut enggan melunasi utangnya dan menjual barang gadainya, maka pemerintah boleh menghukumnya dengan penjara agar ia menjual barang gadainya tersebut.

Apabila dia tidak juga menjualnya, maka pemerintah menjual barang gadai tersebut dan melunasi utang tersebut dari nilai hasil jualnya. Inilah pendapat Mazhab Syafi’iyah dan Hambaliyah.

Malikiyah berpandangan bahwa pemerintah boleh menjual barang gadainya tanpa memenjarakannya, serta boleh melunasi utang tersebut dengan hasil penjualannya. Sedangkan Hanafiyah berpandangan bahwa murtahin boleh menagih pelunasan utang kepada penggadai, serta meminta pemerintah untuk memenjarakannya bila dia tampak tidak mau melunasinya. Pemerintah (pengadilan) tidak boleh menjual barang gadainya. Pemerintah hanya boleh memenjarakannya saja, sampai ia menjual barang gadainya, dalam rangka meniadakan kezaliman. [30]

Yang rajih, pemerintah menjual barang gadainya dan melunasi utangnya dengan hasil penjualan tersebut tanpa memenjarakan si penggadai, karena tujuannya adalah membayar utang dan itu telah terealisasikan dengan penjualan barang gadai. Selain itu, juga akan timbul dampak sosial yang negatif di masyarakat jika si penggadai (yang merupakan pihak peminjam uang) dipenjarakan.

Apabila barang gadai tersebut dapat menutupi seluruh utangnya maka selesailah utang tersebut, dan bila tidak dapat menutupinya maka penggadai tersebut tetap memiliki utang, yang merupakan selisih antara nilai barang gadainya yang telah dijual dan nilai utangnya. Dia wajib melunasi sisa utang tersebut.

Demikianlah keindahan Islam dalam permasalah gadai, tidak seperti realita yang banyak berlaku, yaitu pemilik piutang menyita barang gadai yang ada padanya, walaupun nilainya lebih besar dari utang si pemilik barang gadai, bahkan mungkin berlipat-lipat. Ini jelas merupakan perbuatan jahiliyah dan sebuah bentuk kezaliman yang harus dihilangkan.

Wallahul Muwaffiq.

Referensi:

1. Kitab al-Fiqh al-Muyassarah, Qismul Muamalah, Prof. Dr. Abdullah bin Muhammad ath-Thayar, Prof. Dr. Abdullah bin Muhammad al-Muthliq, dan Dr. Muhammad bin Ibrahim Alu Musa, cetakan pertama, tahun 1425 H, Madar al-Wathani lin Nasyr, Riyadh, KSA.

2. Abhaats Hai’at Kibar al-Ulama bil Mamlakah al-Arabiyah as-Su’udiyah, disusun oleh al-Amanah al-’Amah li Hai’at Kibar al-Ulama, cetakan pertama, tahun 1422 H.

3. Kitab Taudhih al-Ahkam min Bulugh al-Maram, Syekh Abdullah al-Bassam, cetakan kelima, tahun 1423 H, Maktabah al-Asadi, Makkah, KSA.

4. Mughni, Ibnu Qudamah, tahqiq Dr. Abdullah bin Abdul Muhsin at-Turki dan Abdul Fatah Muhammad al-Hulwu, cetakan kedua, tahun 1412 H, Penerbit Hajar, Kairo, Mesir.

5. Al-Majmu’ Syarhul Muhadzab, Imam Nawawi, dengan penyempurnaan Muhamma Najib al-Muthi’i, cetakan tahun 1419 H, Dar Ihya at-Turats al-’Arabi, Beirut.


===


Catatan kaki:

[1] Lihat: Kitab Taudhih al-Ahkam min Bulugh al-Maram, Syekh Abdullah Al Bassam, cetakan kelima, tahun 1423, Maktabah al-Asadi, Makkah, KSA, 4/460.

[2] Lisan al-Arab, karya Ibnu Mandzur pada kata “rahana”, dinukil dari kitab Al-Fiqh al-Muyassar, Qismul Mu’amalah, Prof. Dr Abdullah bin Muhammad ath-Thayar, Prof. Dr. Abdullah bin Muhammad al-Muthliq, dan Dr. Muhammad bin Ibrahim Alu Musa, cetakan pertama, tahun 1425H, Madar al-Wathani lin Nasyr, Riyadh, KSA, hlm. 115.

[3] Mu’jam Maqayis al-Lughah: 2/452, dinukil dari Abhats Hai’at Kibar al-Ulama bil Mamlakah al-Arabiyah as-Su’udiyah, disusun oleh al-Amanah al-’Amah Lihai’at Kibar al-Ulama, cetakan pertama, tahun 1422 H, 6/102.

[4] Lihat: Al-Majmu’ Syarhul Muhadzab, Imam Nawawi, dengan penyempurnaan Muhamma Najieb al-Muthi’i, cetakan tahun 1419 H, Dar Ihya at-Turats al-’Arabi, Beirut, 12/299—300.

[5] Lihat: Mughni, Ibnu Qudamah, tahqiq Dr. Abdullah bin Abdul Muhsin at-Turki dan Abdul Fatah Muhammad al-Hulwu, cetakan kedua, tahun 1412 H, penerbit Hajar, Kairo, Mesir, 6/443.

[6] Lihat: Al-Wajiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitab al-‘Aziz.

[7] Taudhih al-Ahkam Syarah Bulugh al-Maram : 4/460.

[8] Abhats Hai’at Kibar Ulama: 6/107.

[9] Lihat: Al-Mughni: 6/444 dan Taudhih al-Ahkam: 4/460.

[10]Fathul Bari: 5/140.

[11]Adhwa’ al-Bayan: 1/228.

[12]Al-Mughni: 6/444.

[13]Abhats Hai’at Kibar Ulama: 6/112—112.

[14] Abhats Hai’at Kibar Ulama: 6/112.

[15]Shighah adalah sesuatu yang menjadikan kedua transaktor dapat mengungkapkan keridhaannya dalam transaksi, baik berupa perkataan yaitu ijab qabul, atau berupa perbuatan.

[16]Al-Fiqh al-Muyassar, hlm. 116.

[17]Lihat: Al Majmu’ Syarhul Muhadzab: 12/302, al-Fiqh al-Muyassar hlm. 116, dan Taudhih al-Ahkam: 4/460.

[18]Al-Fiqh al-Muyassar, hlm. 116.

[19]Taudhih al-Ahkam: 4/460 dan al-Fiqh al-Muyassar hlm. 116.

[20]Taudhih al-Ahkam: 4/460.

[21]Al-Fiqh al-Muyassar, hlm. 116.

[22]Al-Mughni: 6/446.

[23]Taudhih al-Ahkam: 4/464.

[24]Al-Fiqh al-Muyassar, hlm. 117.

[25]Lihat pembahasannya dalam Taudhih al-Ahkam: 4/462–477.

[26]Al-Fiqh al-Muyassar, hlm. 117.

[27]Dinukil dari Taudhih al-Ahkam: 4/462.

[28]Abhats Hai’at Kibar Ulama 6/134-135

[29]Taudhih al-Ahkam: 4/467.

[30]Al-Fiqh al-Muyassar, hlm. 119.


***

Sumber : ekonomisyariat.com

.

Subhanakallohumma wa bihamdihi,

Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika

Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamin