Monday, June 28, 2010

FILE 169 : Pajak yang Dibolehkan

Bismillahirrohmanirrohim

Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam

Wa ba'du

……

Bid'ah Hasanah

dan Pajak yang Tidak Masalah

Diterjemahkan oleh :
.
Ustadz Aris Munandar
.

.

Syeikh Muhammad Nashiruddin al Albani mendapatkan pertanyaan sebagai berikut,

ما حكم الإسلام في الضرائب؟

“Apa hukum pajak dalam ajaran Islam?”

الجواب: الضرائب هي التي تسمى بلغة الشرع (المكوس)، والمكوس من المتفق بين علماء المسلمين أنها لا تجوز إلا في حالة واحدة، يتحدث عنها بحجة بينة الإمام الشاطبي رحمه الله في كتابه العظيم الاعتصام،

Jawaban al Albani sebagai berikut, “Pajak dalam istilah syariat disebut dengan istilah mukus (bentuk jamak dari maks). Mukus itu tidak boleh dengan kesepakatan ulama kaum muslimin kecuali dalam satu kondisi. Kondisi tersebut dikupas secara bagus oleh Imam asy Syathibi dalam bukunya yang sangat berharga yaitu al I’tisham.

حيث يتكلم فيه بكلام علمي دقيق قلما نجده في كتاب آخر سواه، يفرق فيه بين البدعة التي أكد في بحثه في هذا الكتاب أن قول النبي صلى الله عليه وسلم: (كل بدعة ضلالة وكل ضلالة في النار) أن هذا القول الكريم هو على إطلاقه وعمومه وشموله،

Dalam buku tersebut dengan pembahasan ilmiah yang cermat yang jarang-jarang bisa kita jumpai dalam buku yang lain. Dalam buku tersebut beliau membedakan antara bid’ah dengan selainnya. Dalam buku tersebut beliau menegaskan bahwa sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Semua bid’ah itu sesat dan semua kesesatan itu dalam neraka” itu berlaku dan bersifat umum dan mutlak serta mencakup semua jenis bid’ah.

وأنه ليس في الإسلام ما يسميه بعض المتأخرين بالبدعة الحسنة؛ لأن هذه البدعة الحسنة أولاً: لا دليل عليها في الكتاب ولا في السنة، وثانياً: هي مخالفة لعموم الأحاديث التي تطلق ذم البدعة إطلاقاً شاملاً، فكلما تعرض النبي صلى الله عليه وسلم لذكرها فإنه يطلق الذم عليها، ولا يقيدها بقيد ما، كمثل الحديث السابق،

Sesungguhnya dalam ajaran Islam tidak terdapat istilah bid’ah khasanah (bid’ah yang baik) sebagaimana istilah yang dibuat oleh sebagian orang-orang belakangan. Istilah bid’ah khasanah itu bermasalah: (a) istilah tersebut tidak memiliki dasar berupa dalil dari al Qur’an dan sunah (b)istilah tersebut menyelisihi hadits-hadits berisi celaan terhadap bid’ah yang bersifat umum. Setiap kali Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut bid’ah, beliau pasti mencelanya secara umum dan tidak membatasinya dalam bentuk-bentuk tertentu semisal dalam hadits yang lain.

ومثل الحديث الآخر الذي أخرجه الشيخان في صحيحيهما من حديث عائشة رضي الله تعالى عنها، قالت: قال رسول الله صلى الله عليه وعلى آله وسلم: من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد

Contoh hadits yang lain adalah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Aisyah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang mengada-ada dalam agama ini padahal bukan bagian darinya maka amal mengada-ada tersebut pasti tertolak”.

أكد الإمام الشاطبي في كتابه المشار إليه آنفاً: أن هذه الأحاديث تحمل على عمومها وشمولها، فكل بدعة ضلالة، وكل ضلالة في النار.

Dalam buku di atas Imam asy Syathibi menegaskan bahwa hadits-hadits di atas dipahami bersifat umum dan mencakup semua bentuk bid’ah. Sehingga semua bid’ah itu sesat dan semua kesesatan itu di neraka.

ولكنه من إحسانه في هذا البحث العظيم أن تعرض لما يسمى أو يعرف عند بعض العلماء بـ(المصالح المرسلة

Akan tetapi di antara kebaikan asy Syathibi dalam bahasan yang sangat bernilai ini adalah beliau menyinggung apa yang disebut atau dikenal oleh sebagian ulama dengan istilah maslahat mursalah.

وهذه المصالح المرسلة التي تلتبس على بعض المتأخرين من الذين ذهبوا إلى القول بأن في الدين بدعة حسنة، تختلط عليهم المصالح المرسلة بالبدعة الحسنة، وشتان ما بينهما،

Istilah maslahat mursalah inilah yang menjadi sebab kerancuan sebagian orang belakangan yang mengatakan adanya bid’ah khasanah dalam agama Islam. Akhirnya mereka tidak bisa membedakan antara maslahat mursalah dengan bid’ah. Padahal dua hal tersebut sangat berbeda.

فالمصلحة المرسلة -التي يتبناها بعض العلماء ومنهم إمامنا الشاطبي رحمه الله- هي التي توجبها ظروف وضعية أو زمنية، تؤدي إلى تحقيق مصلحة شرعية. فهذه ليس لها علاقة بالبدعة التي يستحسنها بعض الناس

Maslahat mursalah yang dijadikan dalil oleh sebagian ulama – di antaranya adalah Imam asy Syathibi- adalah kebijakan yang diharuskan oleh kondisi dan waktu tertentu dan diharapkan kebijakan tersebut akan mewujudkan manfaat yang diakui oleh syariat. Maslahat mursalah sebagaimana pengertian ini tidak memiliki hubungan dengan bid’ah yang dinilai baik oleh sebagian orang.

لأن البدعة التي يسمونها بالبدعة الحسنة إنما يقصدون بها زيادة التقرب إلى الله تبارك وتعالى، وهذه الزيادة لا مجال لها في دائرة الإسلام الواسعة، التي مما جاء فيها قول ربنا تبارك وتعالى: الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْأِسْلامَ دِيناً [المائدة:3]3

Bid’ah yang dibungkus oleh sebagian orang dengan nama bid’ah hasanah adalah amal mengada-ada yang dilakukan oleh pelakunya dengan tujuan agar semakin dekat kepada Allah. Ajaran Islam yang demikian luas ini tidak memberi tempat untuk tambahan dengan bentuk semacam itu karena Allah telah berfirman yang artinya, “Pada hari ini telah kusempurnakan untuk kalian agama kalian dan telah kulengkapkan untuk kalian nikmat-nikmatku serta aku telah rela Islam menjadi agama kalian” (QS al Maidah:3).

ولذلك لقد أجاد إمام دار الهجرة الإمام مالك رحمه الله حينما قال كلمته الذهبية المشهورة، قال: من ابتدع في الإسلام بدعة يراها حسنة؛ فقد زعم أن محمداً صلى الله عليه وسلم خان الرسالة -وحاشاه- اقرءوا قول الله تبارك وتعالى: الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْأِسْلامَ دِيناً [المائدة:3]3

Oleh karena itu, sungguh tepat apa yang dikatakan oleh Imam Dar al Hijrah, Imam Malik yang telah mengatakan perkataan beliau yang terkenal. Perkataan beliau layak untuk ditulis dengan tinta emas. Beliau mengatakan, “Barang siapa membuat bid’ah dalam Islam dan dia menilainya sebagai suatu hal yang baik berarti telah menuduh Muhammad tidak amanah – dan itu adalah suatu hal yang tidak mungkin- dalam menyampaikan wahyu. Bacalah firman Allah yang artinya, “Pada hari ini telah kusempurnakan untuk kalian agama kalian dan telah kulengkapkan untuk kalian nikmat-nikmatku serta aku telah rela Islam menjadi agama kalian” (QS al Maidah:3)”.

قال مالك : فما لم يكن يومئذ ديناً -أي: يتقرب به إلى الله- فلا يكون اليوم ديناً، ولا يصلح آخر هذه الأمة إلا بما صلح به أولها

Malik melanjutkan perkataannya dengan mengatakan, “Maka segala sesuatu yang pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak dianggap sebagai bagian dari agama-yang bisa mendekatkan diri kepada Allah – maka pada saat ini juga bukan bagian dari agama. Yang bisa memperbaiki keadaan generasi akhir umat ini hanyalah hal yang telah berhasil memperbaiki keadaan genarasi awalnya”.

إذا كان هذا هو شأن البدعة التي يسمونها بالبدعة الحسنة، وهو أنهم يريدون التقرب إلى الله تبارك وتعالى بها، زيادة على ما جاء به رسول الله صلى الله عليه وسلم

Jika demikian hakikat bid’ah yang disebut sebagian orang dengan istilah bid’ah khasanah. Pelaku ‘bid’ah hasanah’ ingin mendekatkan diri kepada Allah dengan bid’ah yang mereka kerjakan lebih dari sekedar ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

القائل: ما تركت شيئاً يقربكم إلى الله إلا وأمرتكم به، وما تركت شيئاً يباعدكم عن الله ويقربكم إلى النار إلا ونهيتكم عنه

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah kutinggalkan sesuatu pun yang mendekatkan kalian kepada Allah melainkan telah kuperintahkan. Sebaliknya, tidaklah kubiarkan sesuatu pun yang bisa menjauhkan kalian dari Allah dan mendekatkan kalian kepada neraka melainkan telah kularang untuk dikerjakan”.

إذاً: لا مجال لاتخاذ محدثة سبيلاً للتقرب إلى الله تبارك وتعالى، ما دام أن الله قد أتم النعمة علينا بإكماله لدينه

Jika demikian maka tidak ada ruang untuk menjadikan bid’ah sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah selagi Allah memberikan nikmat yang lengkap untuk kita dengan disempurnakannya agama Allah.

أما المصلحة المرسلة فشأنها يختلف كل الاختلاف عن البدعة الحسنة -المزعومة- فالمصلحة المرسلة يراد بها تحقيق مصلحة يقتضيها المكان أو الزمان ويقرها الإسلام.

Sedangkan maslahat mursalah itu jelas sangat beda dengan bid’ah yang dianggap hasanah. Maksud dari maslahat mursalah adalah mewujudkan manfaat yang menjadi tuntutan kondisi tempat dan waktu dan manfaat tersebut dibenarkan oleh ajaran Islam.

وفي هذا المجال يؤكد الإمام الشاطبي شرعية وضع ضرائب

Dalam kesempatan inilah Imam asy Syathibi membahas diperbolehkannya mengambil pajak.

تختلف عن الضرائب التي اتُخذت اليوم قوانين مضطربة في كثير إن لم نقل في كل البلاد الإسلامية، تقليداً للكفار الذين حرموا من منهج الله المتمثل في كتاب الله وسنة نبيه صلى الله عليه وعلى آله وسلم،

Pajak yang beliau maksudkan sangat berbeda dengan pajak yang ada di zaman ini. Di zaman ini pajak adalah sebuah aturan yang dipaksakan di berbagai negeri Islam jika tidak boleh kita katakan seluruh negeri Islam karena membebek orang kafir yang memang tidak mengerti aturan-aturan Allah yang tergambar pada al Qur’an dan sunah Nabi-Nya.

فكان من الضرورة بالنسبة لهؤلاء المحرومين من هدي الكتاب والسنة أن يضعوا لهم مناهج خاصة، وقوانين يعالجون بها مشاكلهم، أما المسلمون فقد أغناهم الله تبارك وتعالى بما أنزل عليهم من الكتاب، وبما بين لهم رسول الله صلى الله عليه وعلى آله وسلم،

Sebuah keniscayaan bagi orang-orang yang tidak mengerti aturan al Qur’an dan sunah (baca: orang-orang kafir) untuk membuat aturan-aturan sendiri dan undang-undang yang diharapkan bisa menyelesaikan problematika mereka. Sedangkan kaum muslimin telah Allah cukupi dengan al Qur’an yang Allah turunkan untuk mereka dan penjelasan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (baca:hadits).

لذلك فلا يجوز للمسلمين أن يستبدلوا القوانين بالشريعة، فيحق فيهم قول الله تبارك وتعالى: أَتَسْتَبْدِلُونَ الَّذِي هُوَ أَدْنَى بِالَّذِي هُوَ خَيْرٌ [البقرة:61]1

Oleh karena itu, kaum muslimin tidak boleh mengganti syariat Allah dengan undang-undang buatan manusia. Jika hal dilakukan maka tepatlah firman Allah berikut ini untuk mereka. Allah berfirman yang artinya, “Apakah hal yang baik akan kalian ganti dengan hal yang lebih rendah?” (QS al Baqarah:61).

فلا يجوز أبداً أن تتخذ الضرائب قوانين ثابتة، كأنها شريعة منزلة من السماء أبد الدهر، وإنما الضريبة التي يجوز أن تفرضها الدولة المسلمة هي في حدود ظروف معينة تحيط بتلك الدولة.

Tidak boleh sama sekali menjadikan pajak sebagai aturan baku aturan permanen seakan-akan aturan yang turun dari langit sehingga berlaku selama-lamanya. Pajak yang boleh diwajibkan oleh negara Islam adalah situasional dibatasi oleh kondisi tertentu yang sedang meliputi negara Islam tersebut.

مثلاً -وأظن أن هذا المثال هو الذي جاء به الإمام الشاطبي :- إذا هوجمت بلدة من البلاد الإسلامية، ولم يكن هناك في خزينة الدولة من المال ما يقوم بواجب تهيئة الجيوش لدفع ذلك الهجوم من أعداء المسلمين، ففي مثل هذه الظروف تفرض الدولة ضرائب معينة وعلى أشخاص معينين، عندهم من القدرة أن يدفعوا ما فرض عليهم

Misalnya- kalau tidak salah contoh berikut ini dibawakan oleh Imam asy Syathibi- jika sebuah negeri Islam diserang musuh sedangkan dalam kas negara tidak terdapat dana yang cukup untuk menyiapkan pasukan yang bisa mencegah serangan yang dilancarkan oleh musuh kaum muslimin. Dalam sikon semacam ini negara boleh mewajibkan pajak dengan besaran tertentu atas person-person tertentu yang dinilai memiliki kemampuan untuk membayar pajak yang diwajibkan atas mereka.

ولكن لا تصبح هذه الضريبة ضريبة لازمة، وشريعة مستقرة -كما ذكرنا آنفاً- فإذا زال السبب العارض وهو هجوم الكافر ودفع عن بلاد الإسلام؛ أُسقطت الضرائب عن المسلمين؛ لأن السبب الذي أوجب تلك الضريبة قد زال،

Akan tetapi aturan pajak itu tidak boleh dijadikan sebagai pajak yang bersifat permanen sehingga menjadi sebuah aturan yang baku. Jika sebab diwajibkannya pajak yaitu serangan orang-orang kafir dan usaha untuk membela negeri Islam telah hilang maka kewajiban membayar pajak atas kaum muslimin menjadi hilang karena faktor pendorong diwajibkannya pajak telah hilang.

والحكم -كما يقول الفقهاء- يدور مع العلة وجوداً وعدماً، فالعلة أو السبب الذي أوجب تلك الفريضة قد زال، فإذاً تزول بزوالها هذه الضريبة

Sedangkan ada atau tidak adanya suatu hukum itu sebagaimana yang dikatakan oleh para pakar fiqih mengikuti sebab. Sedangkan sebab diwajibkannya pajak telah hilang sehingga secara otomatis kewajiban pajak ditiadakan.

وباختصار جواب ذاك السؤال: ليس هناك ضرائب تتخذ قوانين في الإسلام، وإنما يمكن للدولة المسلمة أن تفرض ضرائب معينة لظروف خاصة، فإذا زالت الظروف زالت الضريبة

Secara ringkas jawaban pertanyaan di atas adalah dalam ajaran Islam tidak ada pajak yang dijadikan sebagai aturan baku. Yang ada hanyalah negara Islam mewajibkan pajak dengan besaran tertentu karena kondisi tertentu. Jika kondisi tersebut telah hilang maka secara otomatis pajak ditiadakan

جزء من محاضرة :( أسئلة الإمارات ) للشيخ : محمد ناصر الدين الألباني

Transkrip di atas adalah cuplikan ceramah dengan judul As-ilah al Imarat yang disampaikan oleh Syeikh Muhammad Nashiruddin al Albania.

Sumber: http://audio.islamweb.net/audio/index.php?page=FullContent&audioid=109346-44k


*****

Sumber : ustadzaris.com

.

Subhanakallohumma wa bihamdihi,

Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika

Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamin

FILE 168 : Tidak Ada Paksaan dalam Beragama

Bismillahirrohmanirrohim

Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam

Wa ba'du

……

Tafsir Ayat ‘Laa Ikraha Fiddiin

Oleh : Yulian Purnama

:

Allah Ta’ala berfirman:

لَا إكْرَاه فِي الدِّين قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْد مِنْ الْغَيّ

Tidak ada paksaan dalam memeluk agama. Sungguh telah jelas antara kebenaran dan kesesatan” (QS. Al Baqarah: 256)

Sebagian orang salah dalam memahami ayat ini sehingga terjebak dalam pemahaman pluralisme agama. Yaitu bahwa semua agama itu benar, dan Islam bukanlah agama yang paling benar. Paham ini juga mengajarkan bahwa Islam memberi kebebasan kepada manusia untuk memeluk agama apa saja, dan agama apapun dapat mengantarkan pemeluknya kepada Jannah Allah Ta’ala. Dengan demikian, menurut para pluralis, dalam Islam tidak ada konsep mu’min dan kafir.

Padahal Islam sama sekali tidak mengajarkan pluralisme agama, bahkan Islam mengajarkan tauhid. Dan Allah Subhanahu Wa Ta’ala sama sekali tidak ridha terhadap agama selain Islam, serta segala bentuk kemusyrikan. Lalu bagaimana dengan ayat di atas? Mari kita simak pembahasannya.

Penafsiran Ahli Tafsir

Islam mengajarkan kepada ummatnya agar mengembalikan setiap permasalahan kepada ahlinya. Allah Ta’ala berfirman:

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ

Bertanyalah kepada ahli ilmu jika engkau tidak tahu” (QS. An Nahl: 43)

Bahkan, dalam urusan duniawi, harus dikembalikan kepada orang yang ahli dalam urusan tersebut. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

أنتم أعلم بأمر دنياكم

Engkau lebih tahu urusan dunia kalian” (HR Muslim no.2363)

Dan setiap orang berakal tentu akan menerima konsep ‘kembalikanlah setiap urusan kepada ahlinya’. Kita tentu tidak akan menanyakan obat suatu penyakit kepada ahli matematika, melainkan kepada dokter bukan?

Oleh karena itu marilah kita bersikap bijak untuk mengembalikan urusan penafsiran Al Qur’an kepada ulama ahli tafsir, bukan opini masing-masing atau opini dari orang yang bukan ulama ahli tafsir.

Seorang imam ahli tafsir yang terkemuka, Imam Al Qurthubi dalam tafsirnya menjelaskan:

“Para ulama berbeda pendapat tentang makna ayat ini dalam 6 pendapat:

  1. Ada yang berpendapat bahwa ayat ini mansukh. Karena Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam telah memaksa orang arab untuk masuk Islam dan memerangi mereka. Nabi tidak ridha kepada mereka hingga mereka masuk Islam”. Sulaiman bin Musa berkata: ‘Ayat ini di nasakh oleh ayat’

    يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ جَاهِدِ الْكُفَّارَ وَالْمُنَافِقِينَ وَاغْلُظْ عَلَيْهِمْ وَمَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَبِئْسَ الْمَصِير

    Hai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka ialah neraka Jahanam. Dan itulah tempat kembali yang seburuk-buruknya” (QS. At Taubah: 73)
    Pendapat ini diriwayatkan pula dari Ibnu Mas’ud dan dari banyak ahli tafsir.

  2. Ayat ini tidak mansukh, namun ayat ini ditujukan bagi ahli kitab saja. Sehingga ahli kitab tidak dipaksa masuk Islam selama mereka membayar jizyah. Yang dipaksa adalah kaum kuffar penyembah berhala. Merekalah yang dimaksud oleh surat At Taubah ayat 73. Inilah pendapat Asy Sya’bi, Qatadah dan Adh Dhahhak.
  3. Berdasarkan yang diriwayatkan Abu Daud dari Ibnu Abbas Radhiallahu’anhu, beliau berkata: “Ayat ini diturunkan kepada kaum Anshar. Ketika itu ada seorang wanita selama hidupnya tidak memiliki anak. Ia berjanji pada dirinya, jika ia memiliki anak, akan dijadikan beragama Yahudi. Sampai suatu ketika datanglah Bani Nadhir yang juga membawa beberapa anak dari kaum Anshar bersama mereka. Kaum Anshar berkata: “Kemudian terjadilah apa yang telah terjadi. Ketika itu kami (kaum Anshar) memandang agama yang mereka bawa (Yahudi) lebih baik. Namun ketika kami masuk Islam, kami ingin memaksa anak-anak kami”. Kemudian turunlah ayat ini. Ini adalah pendapat Sa’id bin Jubair, Asy Sya’bi dan Mujahid.
  4. As Sudiy berkata: “Ayat ini turun kepada seorang lelaki kaum Anshar yang dikenal dengan Abul Hushain yang memiliki dua orang anak. Ketika itu datang para pedagang dari Syam yang membawa biji-bijian. Ketika mereka hendak pergi dari Madinah, mereka mengajak dua anak Abul Hushain untuk memeluk agama Nashrani. Mereka berdua pun akhirnya menjadi Nashrani dan ikut para pedagang tersebut ke Syam. Maka Abul Hushain pun datang kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam sambil menangis dan memohon kepada Rasulullah agar mengutus seseorang untuk mengambil mereka berdua. Lalu turunlah ayat ini”
  5. Makna ayat ini: “Orang yang ber-Islam karena kalah perang tidak boleh mengatakan bahwa ia dipaksa masuk Islam”
  6. Ayat ini turun bagi tawanan yang berasal dari golongan ahli kitab yang sudah tua. Karena tawanan yang berasal dari golongan Majusi dan penyembah berhala, semua dipaksa masuk Islam baik yang tua maupun muda. Ini pendapat Asyhab.”

(Dinukil dari Tafsir Al Qurthubi secara ringkas)

Adanya perbedaan pendapat ini juga dipaparkan oleh Ath Thabari dalam Tafsir Ath Thabari, Abu Hatim dalam Tafsir Abi Hatim, Asy Syaukani dalam Fathul Qadhir, dan beberapa ulama ahli tafsir yang lain.

Namun sebagian ulama menafsirkan ayat ini secara mujmal (umum). Sebagaimana Ibnu Katsir dan Ash Shabuni. Ash Shabuni menafsirkan ayat ini: “Tidak ada paksaan untuk memeluk agama Islam karena telah jelas perbedaan antara kebenaran dan kebatilan dan hidayah telah terbedakan dari kesesatan” (Shafwatut Tafasir)

Pendapat yang lebih kuat, wallahu’alam, sebagaimana yang dikuatkan oleh imam ahli tafsir yang lain, Ibnu Jarir Ath Thabari, setelah memberikan sanggahan terhadap pendapat yang menyatakan ayat ini mansukh, beliau menyimpulkan makna ayat: “Sehingga jelas bahwa makna ayat ini adalah: Tidak ada paksaan dalam memeluk agama Islam bagi orang kafir yang dikenai jizyah dan telah membayarnya. Dan mereka ridha terhadap hukum Islam” (Tafsir Ath Thabari)

Telah Jelas Kebenaran dan Kebatilan

Perbedaan diantara ahli tafsir tersebut masing-masing didasari oleh riwayat-riwayat dari para sahabat, atau dari para ulama tabi’in dan tabi’ut tabi’in. Sehingga setiap pendapat dapat diterima dan dapat ditoleransi. Jika demikian, andaikan seseorang mengambil pendapat ulama ahli tafsir yang menyatakan bahwa ayat ini tidak mansukh dan menafsirkan ayat ini secara umum, yaitu tidak ada paksaan untuk memeluk Islam bagi siapapun, sebagaimana Ibnu Katsir dan Ash Shabuni, pendapat ini tetap tidak sejalan dengan konsep pluralisme agama. Sama sekali tidak! Karena Allah Ta’ala berfirman :

قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْد مِنْ الْغَيّ

Sungguh telah jelas antara kebenaran dan kesesatan” (QS. Al Baqarah: 256)

Jelas bahwa pendapat ini menetapkan bahwa telah jelaskan kebenaran Islam dan telah jelaslah kebatilan agama selain Islam. Sehingga orang yang berhati bersih dan memandang dengan jernih tentu akan melihat kebenaran itu dan dengan sendirinya masuk Islam tanpa perlu dipaksa. Sedangkan orang yang enggan masuk Islam seolah-olah ia buta dan tertutup hatinya sehingga tidak dapat melihat kebenaran yang begitu jelas ini.

Ibnu Katsir menyatakan: “Tidak ada yang dipaksa untuk memeluk agama Islam karena telah jelas dan tegas tanda dan bukti kebenaran Islam sehingga tidak perlu lagi memaksa seseorang untuk memeluk agama Islam. Orang yang diberi hidayah oleh Allah untuk menerima Islam, lapang dadanya dan dicerahkan pandangannya sehingga ia memeluk Islam dengan alasan yang pasti. Namun orang yang hatinya dibutakan oleh Allah dan ditutup hati serta pandangannya, tidak ada manfaatnya memaksa mereka untuk masuk Islam” (Tafsir Ibnu Katsir)

Senada dengan beliau, Ibnu Jarir Ath Thabari juga berkata: “Sungguh telah jelas antara kebenaran dan kebatilan. Dan telah jelas sudah sisi kebenaran bagi para pencari kebenaran. Dan kebenaran ini telah terbedakan dari kesesatan. Sehingga tidak perlu lagi memaksa para ahli kitab dan orang-orang kafir yang dikenai jizyah untuk memeluk agama Islam, agama yang benar. Dan orang-orang yang berpaling dari kebenaran ini setelah jelas baginya, biarlah Allah yang mengurusnya. Sungguh Allahlah yang akan mempersiapkan hukuman bagi mereka di akhirat kelak” (Tafsir Ath Thabari)

Maka jelaslah bahwa tidak memaksa orang kafir untuk memeluk Islam bukan berarti ridha terhadap kekafiran mereka, bukan membenarkan semua agama yang ada, dan bukan menghilangkan status ‘kafir’ dari diri mereka sebagaimana diklaim oleh para pluralis.

Agama yang Benar Hanya Islam

Satu hal yang wajib dijadikan pegangan setiap muslim, yaitu bahwa ayat-ayat Al Qur’an tidak ada yang saling bertentangan. Allah Ta’ala berfirman:

أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا

Apakah kalian tidak mentadabburi Al Qur’an? Andaikan Al Qu’an bukan diturunkan dari sisi Allah, tentu akan banyak pertentangan di dalamnya” (QS. An Nisa: 82)

Dan di dalam ayat lain, pemahaman bahwa semua agama sama dan semua agama itu benar telah dibantah oleh Allah Ta’ala sendiri. Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الإِسْلامُ

Agama yang diridhai oleh Allah adalah Islam” (QS. Al Imran: 19)

Allah Ta’ala juga berfirman:

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الإِسْلامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi” (QS. Al Imran: 85)

Orang yang mengusung isu pluralisme mungkin menafsirkan ‘Islam’ dalam ayat-ayat ini dengan ‘berserah diri’. Menurut mereka, semua agama itu benar asalkan berserah diri kepada Tuhan. Cukuplah kita jawab bualan mereka dengan sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam:

الإسلام أن تشهد أن لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله وتقيم الصلاة وتؤتي الزكاة وتصوم رمضان وتحج البيت إن استطعت إليه سبيلا

”Islam itu engkau bersaksi bahwa sesungguhnya tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan sesungguhnya Muhammad itu utusan Allah, engkau mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan dan mengerjakan ibadah haji ke Baitullah jika engkau mampu melakukannya” (HR. Muslim no.8)

Sehingga ber-Islam bukanlah hanya sekedar berserah diri kepada Tuhan, siapapun Tuhan-nya. Namun Islam yang diinginkan oleh Allah Ta’ala adalah berserah diri kepada Allah Ta’ala saja dengan menyembah Allah semata dan meninggalkan penyembahan kepada yang lain. Inilah inti ajaran Islam. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

أمرت أن أقاتل الناس حتى يقولوا لا إله إلا الله

Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka mengucapkan Laa Ilaaha Illallah” (HR. Bukhari no. 1399, Muslim no. 124)

Oleh karena itu jelaslah, bahwa tidak memaksa orang kafir untuk masuk Islam bukan berarti tidak mengakui bahwa Islam itu agamanya yang paling benar dan agama yang hanya diridhai oleh Allah Ta’ala.

Dari sini kita pun melihat keanehan dan kelemahan argumen para pluralis, mereka mencomot sebuah dalil namun di sisi lain menginjak-injak dalil yang lain.

Tidak Memaksa Bukan Tidak Membenci

Inti ajaran Islam adalah mengajak umat manusia untuk beribadah kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala semata. Karena hanya Allah Ta’ala-lah satu-satunya sesembahan yang berhak disembah. Allah Ta’ala-lah Dzat yang paling berhak mendapat kecintaan dan ketundukan terbesar dari setiap manusia. Konsekuensinya, seorang mukmin akan membenci segala bentuk penyembahan kepada selain Allah dan kecintaan terhadap sesembahan selain Allah, serta membenci orang-orang yang melakukan demikian. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:

لاَ تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ

Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka” (QS. Al-Mujadalah: 22)

Sebagai bentuk kebencian itu, Allah Ta’ala juga melarang kaum mu’minin menjadi teman akrab, merendahkan diri, serta tunduk kepada orang kafir:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا الَّذِينَ اتَّخَذُوا دِينَكُمْ هُزُوًا وَلَعِبًا مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَالْكُفَّارَ أَوْلِيَاءَ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan orang-orang yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan, sebagai wali. (Yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi Kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman” (QS. Al Maidah: 57)

Wali secara bahasa artinya orang yang dicintai, teman akrab, atau penolong (Lihat Qamush Al Muhith). Selain itu, rasa benci terhadap kekufuran ini adalah tuntutan iman dan syarat sempurnanya iman. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda:

من أحب لله ، وأبغض لله ، وأعطى لله ، ومنع لله ، فقد استكمل الإيمان

Orang yang yang mencintai sesuatu karena Allah, membenci sesuatu karena Allah, memberi karena Allah, melarang sesuatu karena Allah, imannya telah sempurna” (HR. Abu Daud no. 4681, di-shahih-kan Al Albani dalam Shahih Sunan Abi Daud)

Dengan demikian jelaslah bahwa tidak memaksa orang kafir untuk masuk Islam bukan berarti tidak membenci mereka. Kita tidak memaksa mereka, namun tetap menyimpan rasa benci kepada mereka selama mereka belum mengakui bahwa hanya Allah-lah satu-satunya sesembahan yang berhak disembah dan memeluk Islam.

Namun perlu digaris bawahi, rasa benci terhadap kekufuran dan orang kafir wajib ada di hati setiap muslim. Akan tetapi kebencian ini bukan berarti harus menyakiti, menzhalimi atau bahkan membunuh setiap orang kafir yang kita jumpai. Karena dalam aturan Islam, orang kafir dibagi menjadi beberapa jenis, ada yang boleh disakiti dan diperangi, ada pula orang kafir yang haram untuk disakiti dan diperangi. Hal ini telah kami singgung dalam artikel “Salah Kaprah Memahami Islam Sebagai Rahmatan Lil Alamin”. Walau demikian tetap tidak boleh memberikan kasih sayang dan loyalitas kepada mereka.

Demikian penjelasan singkat mengenai tafsir ayat ini. Mudah-mudahan Allah Ta’ala senantiasa memberikan kita keteguhan hati untuk terus meniti di atas jalan-Nya yang lurus.

Wabillahi At Taufiq.

*****

Sumber : kangaswad.wordpress.com

.

Subhanakallohumma wa bihamdihi,

Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika

Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamin

Friday, June 25, 2010

FILE 167 : Menyoal Ikhtilat

Bismillahirrohmanirrohim

Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam

Wa ba'du

……

Permasalahan Campur Baur

Antara Laki-Laki dan Perempuan

Menurut Pandangan Syariat

*** .

Penulis: Syeikh Muhammad Ali Farqus Al-Jazairi

Penerjemah: Ustadz Didik Suyadi & Ustadz Adi Wira

.

Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam. Salawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi yang telah diutus oleh Allah sebagai rahmat untuk alam ini, kepada keluarga, sahabat, dan para pengikutnya (yang baik) sampai hari kiamat. Amma ba'du.

Ikhtilat Antara Laki-Laki dan Wanita Terdiri dari Tiga Keadaan

Keadaan Pertama

Ikhtilat yang terjadi antar-mahram, Dibolehkan secara syar'i dan tidak ada khilaf (di antara para ulama) tentang kebolehannya. Demikian juga, ikhtilat di antara laki-laki dan wanita yang sudah ada ikatan pernikahan. (Kebolehan) ikhtilat jenis ini terdapat di dalam nash-nash yang menunjukkan akan haramnya (menikah) antar-mahram. Kemudian, ikhtilat yang dibolehkan berikutnya adalah ikhtilat antara laki-laki dan wanita, yang mana boleh bagi wanita tersebut menampakkan perhiasaanya di depan laki-laki tersebut.

Allah Ta'ala berfirman

,حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالاَتُكُمْ وَبَنَاتُ الأَخِ وَبَنَاتُ الأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللاَّتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُم مِّنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَآئِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللاَّتِي فِي حُجُورِكُم مِّن نِّسَآئِكُمُ اللاَّتِي دَخَلْتُم بِهِنَّ فَإِن لَّمْ تَكُونُواْ دَخَلْتُم بِهِنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلاَئِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلاَبِكُمْ وَأَن تَجْمَعُواْ بَيْنَ الأُخْتَيْنِ إَلاَّ مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللّهَ كَانَ غَفُوراً رَّحِيماً

"Diharamkan atas kalian (menikahi) ibi-ibu kalian, anak-anak kalian yang wanita, saudara-saudara kalian yang wanita, saudara-saudara ibu kalian yang wanita, anak-anak wanita dari saudara-saudara kalian yang laki-laki, anak-anak wanita dari saudara-saudara kalian yang wanita, ibu-ibu yang menyusui kalian, saudara wanita sepersusuan, ibu-ibu istri kalian (mertua), anak-anak istri kalian yang dalam pemeliharaan kalian dari istri yang telah kalian campuri, tetapi jika kalian belum campur dengan istri kalian itu (yang sudah kalian ceraikan), maka tidak berdosa bagi kalian menikahinya, (dan diharamkan bagi kalian) istri-istri anak kandung kalian (menantu) dan menghimpunkan (dalam pernikahan) dua wanita yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi masa lampau. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Qs. an-Nisa': 23)

Allah Ta'ala juga berfirman,

وَقُل لِّلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاء بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاء بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُوْلِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاء وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِن زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعاً أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

"Dan janganlah mereka (wanita beriman) menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengetahui tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya supaya diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kalian beruntung." (Qs. an-Nur: 31)

Keadaan Kedua

Ikhtilat yang berdosa, yaitu ikhtilat yang tujuannya adalah zina dan kerusakan, maka hukumnya haram berdasarkan nash dan ijma' . Di antaranya, Allah Ta'ala berfirman,

وَلاَ تَقْرَبُواْ الزِّنَى إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاء سَبِيلاً

"Janganlah kalian mendekati zina. Sesungguhnya zina itu merupakan perbuatan yang keji dan jalan yang buruk." (Qs. al-Isra': 32)

Allah Ta'ala juga berfirman,

وَالَّذِينَ لَا يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَهاً آخَرَ وَلَا يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَلَا يَزْنُونَ وَمَن يَفْعَلْ ذَلِكَ يَلْقَ أَثَاماً

"Dan orang-orang yang tidak menyembah Ilah (sesembahan) yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (untuk dibunuh) kecuali dengan alasan yang benar, dan tidak berzina. Barangsiapa yang melakukan demikian itu, niscaya akan mendapatkan (pembalasan) dosanya." (Qs. al-Furqan: 68)

Keadaan Ketiga

Ikhtilat di antara non-mahram yang terjadi di sekolah-sekolah, kantor, jalan-jalan, rumah sakit, bus-bus, dan tempat-tempat umum lainnya. Ikhtilat ini bisa sebagai jalan bagi terfitnahnya laki-laki dengan wanita, atau sebaliknya. Maka, hukum ikhtilat yang seperti ini terlarang, karena ditinjau dari adanya saling ketertarikan antara laki-laki dan perempuan akan mengantarkan kepada jenis ikhtilat kedua yaitu berupa kerusakan, kekejian, dan kemungkaran. Sebagaimana kaidah:

الوَسَائِلُ لَهَا حُكْمُ المَقَاصِدِ

"Sarana memiliki hukum sebagaimana tujuan." [1]

وَسِيلَةُ المَقْصُودِ مَقْصُودَةٌ

"Sarana yang mengantarkan kepada tujuan (hukumnya) seperti tujuan."

Akan tetapi, terdapat berbagai permasalahan tentang jenis ikhtilat ketiga ini, yang sudah tersebar secara umum, khususnya di negara Aljazair, yang menimbulkan beberapa pertanyaan:

  1. Apakah dosa ikhtilat ini didapatkan oleh laki-laki dan wanita sekaligus, meskipun ada kebutuhan (syar'i) dan darurat, atau mereka tidak berdosa? Atau apakah dosanya hanya didapatkan oleh salah satu dari mereka?
  2. Apakah dosa ikhtilat ini hukumnya tetap, meskipun aman dari fitnah atau berubah hukumnya? Apakah dosanya itu disebabkan oleh keluarnya wanita, sehingga terjadilah ikhtilat dengan para laki-laki, (serta) karena mereka telah menyelisihi perintah untuk tetap tinggal di rumah sebagaimana asalnya. Apakah wanita tidak berdosa jika wanita itu keluar dari rumahnya karena adanya kebutuhan syar'i dan keadaan darurat, dengan tetap menjaga aturan-aturan syariat saat keluar dari rumah?
  3. Apakah semua laki-laki yang langsung berikhtilat dengan wanita adalah lelaki yang berdosa? Ataukah dosa mereka dilihat dari sisi yang lain, yaitu karena mereka tidak memelihara dan mengambil sarana-sarana agar tidak terjatuh ke dalam fitnah dan kerusakan, yaitu dengan menahan pandangan, bertakwa kepada Allah sesuai dengan kemampuan ketika bermuamalah dengan para wanita, berpuasa, dan sarana-sarana lainnya yang dapat menjaga agama serta menjauhkan hati dari ketertarikan terhadap wanita?

Ini adalah permasalahan-permasalahan yang terjadi tentang ikhtilat jenis yang ketiga, sehingga memerlukan pembahasan dan perincian

.

Sebab Terjadinya Ikhtilat

Layak untuk diperhatikan, bahwa sebab munculnya fitnah wanita adalah keluarnya mereka dari tempat asalnya, yaitu tetap berada di dalam rumah mereka sehingga tidak ada kebutuhan untuk berikhtilat dengan para laki-laki dan berhias di hadapan mereka. Hal tersebut disebabkan oleh pembenaran dan pengamalan atas firman Allah Ta'ala,

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى

"Hendaklah kalian (para wanita) tetap berada dirumah-rumah kalian dan janganlah kalian berhias sebagaimana berhiasnya orang-orang jahiliyah zaman dulu." (Qs. al-Ahzab: 33)

Oleh karena itu, syariat tetap memerintahkan mereka untuk tinggal di rumah-rumah mereka dan melarang mereka keluar dari rumah kecuali jika ada kebutuhan syar'i. Sebagaimana telah disebutkan oleh hadits Saudah binti Zum'ah radhiyallahu 'anha,

قَدْ أَذِنَ اللهُ لَكُنَّ أَنْ تَخْرُجْنَ لِحَوَائِجِكُنَّ

"Allah telah mengizinkan kalian (para wanita) untuk keluar untuk kebutuhan kalian." [2]

Yaitu, wanita yang keluar untuk memenuhi kebutuhannya. Khususnya, jika tidak ada orang yang menafkahi dia, atau dia keluar untuk perkara-perkara yang memang dibutuhkan atau kewajiban seperti menyambung tali silaturahim, serta yang terkait dengan kebutuhan wanita lainnya, selama aman dari fitnah.

Dengan demikian, bolehnya wanita keluar dari rumahnya pada keadaan tersebut merupakan pengecualian dari hukum asal, yaitu wanita tetap tinggal di rumah.

Berbeda hukumnya dengan laki-laki. Ketika mereka keluar untuk bekerja dan mencari rezeki, maka mereka memang diperintahkan untuk menafkahi keluarganya. Berdasarkan firman Allah Ta'ala,

لِيُنفِقْ ذُو سَعَةٍ مِّن سَعَتِهِ

"Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya." (Qs. ath-Thalaq: 7)

Juga firman Allah Ta'ala,

وَعلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ

"Dan kewajiban ayah adalah memberi makan dan pakain kepada para ibu dengan cara yang ma'ruf." (Qs. al-Baqarah: 233)

Allah mewajibkan bagi laki-laki untuk memberi nafkah pada istrinya dan menjadi pemimpin atas semua urusannya. Allah Ta'ala berfirman,

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاء بِمَا فَضَّلَ اللّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُواْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ

"Laki-laki adalah pemimpin bagi para wanita karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), serta karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka." (Qs. an-Nisa': 34)

Maka, laki-laki adalah qayyim bagi para wanita yaitu pemimpinnya dan menjadi hakim atasnya. Hal ini disebabkan oleh keutamaan yang ada pada laki-laki daripada wanita, serta karena laki-laki telah memberi nafkah dan mahar kepada mereka, sehingga layak untuk memimpin mereka (wanita). [3]

Sebagaimana firman Allah Ta'ala,

وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ

"Bagi laki-laki ada mempunyai satu tingkatan lebih daripada wanita." (Qs. al-Baqarah: 228)

Sama saja, baik dia sebagai wali atau sebagai suami, sampai para wanita tetap berada di rumah. Para wanita alam akan ditanyai tentang tempat yang menjadi tanggungjawabnya. Sebagaiman sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam,

وَالمرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى أَهْلِ بَيْتِ زَوْجِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ

"Wanita adalah pemimpin di rumah tangga suami dan pemimpin anak-anaknya, dan dia akan ditanya tentang mereka." [4]

Dalil-dalil ini menegaskan dan menguatkan tentang hukum asal tempat wanita (yaitu, di rumahnya), sebagaimana firman Allah Ta'ala,

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى

"Tetaplah kalian berada dirumah-rumah kalian dan janganlah kalian berhias sebagaimana berhiasnya orang-orang jahiliyah zaman dulu." (Qs. al-Ahzab: 33)

Oleh karena itu, tidak boleh bagi para laki-laki untuk masuk ke dalam rumah wanita, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

"Hati-hatilah kalian ketika masuk ke dalam (rumah) wanita. Salah seorang sahabat dari kalangan Anshar berkata, "Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu tentang saudara ipar?" Beliau menjawab, "Saudara ipar adalah al-maut (bahaya)." [5]

Meskipun wanita diperbolehkan keluar dari tempat asalnya (rumahnya) karena adanya pengecualian, tetapi dipersyaratkan bahwa hal tersebut boleh jika aman dari fitnah dan tetap menunaikan aturan-aturan syariat [6].

Di antara syarat tersebut adalah tetap mengenakan jilbab, tidak memakai parfum, berjalan di tepi jalan bukan malah di tengahnya, dengan tetap menjaga diri dari perbuatan atau gerakan tubuh yang dapat mengundang perhatian dan syahwat para laki-laki, dalam rangka untuk menjaga diri dari jerat-jerat setan dan menjauhkan diri dari tipu dayanya, karena setan selalu memerintahkan kepada perbuatan keji dan mungkar. Demikian juga, jiwa manusia itu cenderung untuk memerintahkan kepada keburukan, karena hawa nafsu itu bisa membutakan orang dan membuat orang tidak mampu lagi mendengar (nasihat).

Fitnah ini terjadi karena wanita keluar dari tempat asalnya (rumah) tanpa ada kebutuhan syar'i dan keadaan yang mengharuskan dia (untuk keluar). Maka, tidak diragukan lagi kalau wanita tersebut berdosa, karena dia menjadi penyebab fitnah.

Adapun laki-laki, maka dia tidak berdosa jika dia benar-benar mengingkari hal tersebut sebisa mungkin, demi penjagaan terhadap agama dan keselamatan kehormatannya. Demikian ini dilakukan dengan menempuh penyebab yang dapat menjaga supaya tidak tertarik kepada para wanita dan terjerumus ke dalam jerat-jerat mereka. [7]

Tidak mengapa bila wanita yang keluar dari rumah karena adanya kebutuhan syar'i, berdasarkan hadits Saudah binti Zum'ah radhiyallahu ‘anha sebelumnya, tetapi dengan syarat: tidak menimbulkan fitnah, dengan tetap memegang dan melaksanakan aturan-aturan syariat. [8]

Perlu diketahui bahwa ikhtilat yang demikian ini tidaklah diharamkan zat-nya. Oleh karena itu, terdapat kaidah fikih yang menyatakan:

مَا حُرِّمَ لِذَاتِهِ يُبَاحُ عِنْدَ الضَّرُورَةِ وَمَا حُرِّمَ لِغَيْرِهِ يُبَاحُ عِنْدَ الحَاجَة

."Sesuatu yang diharamkan zat-nya adalah dibolehkan ketika keadaan darurat, dan sesuatu yang diharamkan karena sebab yang lainnya adalah dibolehkan ketika ada kebutuhan.

مَا حُرِّمَ سَدًّا لِلذَّرِيعَةِ أُبِيحَ لِلْمَصْلَحَةِ الرَّاجِحَةِ

"Sesuatu yang diharamkan untuk menutup jalan terhadap sesuatu yang haram adalah diperbolehkan jika ada maslahat yang lebih kuat."

Di antara contoh kaidah ini adalah firman Allah Ta'ala,

قُل لِّلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ

"Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya. Yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu yang mereka perbuat." (Qs. an-Nur: 30)

وَقُل لِّلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ

"Katakanlah kepada wanita yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya". (Qs. an-Nur: 31)

Ketika menjelaskan sisi pendalilan ayat ini, Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, "Ketika menundukkan pandangan merupakan cara utama untuk menjaga kemaluan, maka penyebutannya didahulukan. Ketika haramnya (melihat wanita) disebabkan oleh keharaman wasilah atau sarana, maka dibolehkan (memandang wanita), jika ada maslahat yang lebih besar, dan diharamkan jika dikhawatirkan dapat menimbulkan kerusakan. Maslahat yang lebih besar ini dengan kerusakan (akibat memandang wanita) bukan merupakan hal yang dipertentangkan, karena Allah tidaklah memerintahkan menundukkan pandangan secara mutlak. Akan tetapi, Allah memerintahkan untuk menundukkan sebagian pandangan. Adapun menjaga kemaluan, maka hukumnya wajib dalam setiap keadaan, tidaklah dibolehkan kecuali terhadap orang yang halal. Hal ini disebabkan oleh keumuman perintah untuk menjaga kemaluan." [9]

Di antara dalil dari sunnah Nabi yang menunjukkan kaidah ini adalah:

"Pada suatu hari, Ummu Kultsum binti Uqbah bin Abi Mu'aith keluar untuk melakukan safar ke rumah Rasulullah shallallahu' alaihi wa sallam, ketika itu dia sudah tua. Maka, datanglah suaminya untuk meminta Rasullallah shallallahu' alaihi wa sallam supaya mengembalikan Ummu Kultsum kepadanya. Akan tetapi Rasullallah shallallahu' alaihi wa sallam tidak mengembalikan Ummu Kultsum kepadanya, sehingga turun ayat tentang wanita ini,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا جَاءكُمُ الْمُؤْمِنَاتُ مُهَاجِرَاتٍ فَامْتَحِنُوهُنَّ اللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِهِنَّ فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلَا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ

"Wahai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka. Jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka, janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir." (Qs. al-Mumtahanah: 10)[10]

Demikian juga, safarnya Aisyah radhiyallahu ‘anha ketika tertinggal (dari rombongan Nabi) bersama Shafwan bin Muatthal. [11]

Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, "Terlarangnya berdua-duaan dengan wanita non-mahram, safar dengannya, dan memandangnya adalah karena (seluruh hal tersebut) akan menimbulkan kerusakan. Oleh karena itu, maka wanita dilarang untuk melakukan safar, kecuali jika dia bersafar bersama dengan suami atau mahramnya....

Sesungguhnya, hal tersebut terlarang dengan tujuan untuk mencegah jalan menuju suatu hal yang haram. Hal ini dibolehkan jika ada maslahat yang lebih besar, sebagaimana dibolehkan memandang wanita yang akan dilamar. Dengan demikian, safar bersama wanita yang dikhawatirkan keselamatannya, seperti safarnya wanita dari negeri kafir, sebagaimana yang dilakukan oleh Ummu Kultsum, serta safarnya Aisyah ketika tertinggal (dari rombongan Nabi) bersama Shafwan bin Muatthal adalah safar yang tidak terlarang, kecuali jika hal tersebut malah mengantarkan kepada kerusakan. Jika hal tersebut untuk meraih maslahat yang lebih besar, maka (pertimbangan akan) kerusakan atau mafsadatnya menjadi terabaikan." [12]

Dengan demikian, jika tidak ada kebutuhan syar'i, maka terlarang bagi wanita untuk keluar (dari rumahnya). (Hal ini adalah) dalam rangka mencegah kerusakan.

Telah terdapat nash-nash dari sunnah Nabi yang menegaskan perkara ini, di antaranya:

Tidak disukai bagi wanita bila mereka keluar untuk mengiringi jenazah, sebagaimana hadits Ummu Athiyah radhiyallahu ‘anha, dia berkata,

كُنَّا نُنْهَى عَنِ اتِّبَاعِ الجَنَائِزِ، وَلَم يُعْزَمْ عَلَيْنَا

"Kami dilarang untuk mengiringi jenazah, namun bukanlah larangan yang ditekankan kepada kami." [13]

Di antara sebab penjagaan dari terjadinya ikhtilat adalah larangan ikhtilat didalam shaf ketika shalat. Nabi shallallahu' alaihi wa sallam bersabda,

خَيْرُ صُفُوفِ الرِّجَالِ أَوَّلُهَا وَشَرُّهَا آخِرُهَا، وَخَيْرُ صُفُوفِ النِّسَاءِ آخِرُهَا وَشَرُّهَا أَوَّلُهَا

"Shaf terbaik bagi laki-laki adalah paling depan sedangkan yang terjelek adalah paling belakang, dan shaf terbaik bagi wanita adalah paling belakang sedangkan terjelek adalah paling depan." [14]

Maka Nabi menginginkan jauhnya tempat wanita dari para laki-laki, dan menjadikan shaf terakhir wanita sebagai shaf terbaik baginya. Ini menunjukkan bahwa Islam sangat memperhatikan jauhnya tempat wanita dari para laki-laki. Demikian juga Nabi bersabda kepada para wanita,

لاَ تَرْفَعْنَ رُؤوسَكُنَّ حَتَّى يَسْتَوِيَ الرِّجَالُ جُلُوسًا

"Janganlah kalian (para wanita) mengangkat kepala kalian sehingga sama dengan posisinya laki-laki ketika duduk." [15]

Nabi shallallahu'alaihi wa sallam telah memberi berita tentang bahaya ikhtilat dan segala sesuatu yang dapat mengantarkan kepada tersebarnya keburukan dan kerusakan disebabkan fitnah wanita, serta bahaya keluarnya wanita (dari rumahnya). Dalam sabda beliau,

مَا تَرَكْتُ فِتْنَةً أَضَرَّ بِهَا عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ

"Tidaklah aku meninggalkan fitnah yang lebih berbahaya bagi para laki-laki kecuali fitnah wanita." [16]

فَاتَّقُوا الدُّنْيَا وَاتَّقُوا النِّسَاءَ، فَإِنَّ أَوَّلَ فِتْنَةِ بَنِي إِسْرَائِيلَ كَانَتْ فِي النِّسَاءِ

"Hati-hatilah kalian terhadap fitnah dunia dan fitnah wanita, karena fitnah yang pertama kali menimpa Bani Israil adalah fitnah wanita." [17]

إِيَّاكُمْ وَالدُّخُولَ عَلَى النِّسَاءِ. قَالُوا: أَرَأَيْتَ الحَمْوَ؟ قَالَ: الحَمْوُ المَوْتُ

"Hati-hatilah kalian ketika masuk ke dalam (rumah) wanita." Para sahabat bertanya, "Wahai Rasulallah bagaimana menurutmu tentang saudara ipar?" Beliau menjawab, "Saudara ipar adalah al-maut (bahaya)."

Demikian juga, tafsir Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma terhadap firman Allah Ta'ala,

يَعْلَمُ خَائِنَةَ الأَعْيُنِ وَمَا تُخْفِي الصُّدُورُ

"Dia mengetahui mata yang berkhianat dan apa yang disembunyikan di dalam dada." (Qs. Ghafir: 19)

"Yaitu, seorang laki-laki yang berada dalam suatu kampung, kemudian ada seorang wanita yang melewati kampung tersebut, maka laki-laki tadi memperlihatkan kepada warga kampungnya bahwa dia adalah orang yang menundukkan pandangan terhadap wanita tadi, sedangkan jika warga kampung lalai maka laki-laki tadi melihat wanita tersebut, maka jika laki-laki tadi khawatir terhadap warga kampungnya maka dia tundukkan pandangannya. Padahal Allah mengetahui apa yang ada didalam hatinya bahwa hatinya menginginkan untuk melihat aurat wanita tersebut."[18]

وإذا كان الله تعالى وصف اختلاس النظر إلى ما لا يحلُّ من النساء بأنَّها خائنة، -ولو كانت في بيوت محارمها- فكيف بالاختلاط الآثم المؤدِّي إلى الهلكة

Maka apabila Allah menyifati memandang wanita yang tidak halal baginya merupakan pandangan khianat, meskipun berada di rumah mahram wanita tersebut, maka bagaimana lagi dengan ikhtilat terlarang yang dapat menghantarkan kepada kebinasaan?

Tidak diragukan lagi bahwa penurunan dan kerusakan akhlak akan melemahkan umat dan kekuatan suatu bangsa, sebagaimana perkataan seorang penyair,

Sesungguhnya yang tersisa dari masyarakat adalah akhlak

Jika akhlak sudah tidak ada, maka hancurlah masyarakat .

Seorang laki-laki jika pergi ke kantor tempat dia kerja untuk mencari rezeki, maka tidak ada tuntutan supaya kembali ke rumahnya, meskipun tempat kerjanya tidaklah terbebas dari fitnah wanita. Akan tetapi, dia dituntut untuk memutus segala sebab yang dapat mendatangkan fitnah, yaitu dengan menundukkan pandangan, berhati-hati ketika berbicara dengan mereka (wanita), bertakwa kepada Allah dengan menjauhi (tempat) wanita sebisa mungkin. [19]

Hanya saja, hal tersebut (kembali ke rumah) dituntut bagi wanita yang keluar dari tempat asalnya (rumah), maka wanita tersebut berdosa karena telah menyelisihi dalil-dalil yang memerintahkan kepada wanita untuk tetap tinggal di rumahnya.

Selain itu, wanita tersebut berdosa karena sebab berhias ketika keluar rumah, membuka wajah, atau malah seperti orang yang tidak berpakaian. Ini merupakan fitnah yang sangat berbahaya bagi para laki-laki, seluruh umat, dan agama.

Maka, bagi laki-laki yang berada di tempat kerjanya tidaklah berdosa jika dia berusaha menjaga agama dia sebisa mungkin, karena memberi nafkah kepada keluarga dan orang yang menjadi tanggungannya merupakan kewajiban baginya. Berbeda dengan wanita, dia adalah orang yang diberi makan. [20]

Yang penting untuk jadi perhatian adalah bahwa jika ada wanita yang keluar untuk kebutuhan syar'i, seperti menuntut ilmu syar'i, yang mana ilmu tersebut tidak dapat diperoleh kecuali dengan keluar rumah dan ilmu tersebut diperlukan untuk menjaga dirinya dari api neraka, karena mengamalkan firman Allah Ta'ala,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا

"Wahai orang-orang yang beriman, jagalah diri-diri kalian serta keluarga kalian dari api neraka." (Qs. at-Tahrim: 6)

Maka, keluarnya wanita tersebut dari rumahnya tidaklah berdosa dan tercela, karena untuk mendapatkan maslahat (manfaat) yang lebih besar, sebagaimana telah berlalu penjelasannya. Menjaga diri agar tidak terjerumus kedalam api neraka hanya bisa didapatkan dengan iman dan amal shalih, dan tidaklah mungkin memperoleh keduanya kecuali dengan ilmu syar'i yang benar, sebagaimana kaidah:

ما لا يتمُّ الواجب إلاَّ به فهو واجب

"Suatu kewajiban tidak dapat sempurna kecuali dengan perkara yang lain, maka perkara tersebut hukumnya menjadi wajib."

Kemudian, jika wanita yang keluar rumah untuk tujuan bekerja dan memelihara kehidupannya karena sudah tidak ada lagi orang yang menafkahinya saja diperbolehkan, maka keluarnya wanita untuk menegakkan agama dia lebih diperbolehkan lagi. Akan tetapi, keluarnya wanita tersebut tetap disyaratkan menjaga aturan-aturan syariat dan aman dari fitnah.

.

Kesimpulannya:

Merupakan kewajiban seorang laki-laki untuk berusaha sekuat tenaga mencari tempat kerja yang terhindar dari fitnah wanita atau paling tidak, sedikit fitnahnya, sebagai pengamalan kaidah "mencegah kerusakan lebih utama dari kehilangan kebaikan."

Akan tetapi, jika tidak ada tempat kerja yang demikian, dan hal ini lebih banyak dan lebih umum, maka boleh baginya untuk pergi ke tempat kerja dan menyibukan diri dengan pekerjaannya untuk memenuhi nafkahnya dan keluargannya. Sedangkan berikhtilatnya dengan wanita di tempat kerja tidaklah menjadi sebab untuk meninggalkan pekerjaannya.

Serta, tidaklah menjadi dosa baginya jika dia menjaga dirinya, membenci keadaannya itu, dan mengingkarinya walau dengan tingkatan pengingkaran yang paling rendah, sehingga dia tidak ridha dengan kemaksiatan yang terjadi karena ikhtilat tersebut. Hal tersebut berdasarkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, "Jika kesalahan di muka bumi dilakukan, maka orang yang menyaksikannya dan membencinya --atau di riwayat yang lain, "...dan mengingkarinya," maka dia seperti orang yang tidak menghadirinya. Sedangkan orang yang tidak menghadirinya dan dia ridha dengannya, maka dia seperti orang yang menyaksikannya." [21]

Sebagai padanannya adalah ikhtilat yang terjadi karena darurat, kepentingan yang mendesak dan keluarnya wanita dengan kaidah-kaidah syar'iyah, seperti yang terjadi di tempat-tempat ibadah, tempat-tempat shalat, atau seperti yang terjadi pada pelaksanaan manasik haji dan umrah [22] di kedua tanah haram, maka hal itu tidaklah terlarang.

Sebabnya adalah, keadaan darurat dan kepentingan tersebut merupakan pengecualian dari hukum asalnya, ditinjau dari satu sisi. Ditinjau dari sisi yang lain, kerusakan yang ditimbulkan oleh fitnah tersebut juga tertutup oleh kebaikan ibadah karena "jenis amal yang diperintahkan lebih utama dari jenis hal yang dilarang", seperti yang tercantum dalam kaidah umum.

Adapun orang yang menyelisihi hukum asal wanita untuk tinggal di rumah dan keluar menuju pintu-pintu fitnah tanpa sebab yang membolehkannya atau tanpa ketentuan-ketentuan syari'ah berupa tabarruj, tanpa kerudung, telanjang, dan aib, maka dia lebih memilih perbuatan dosa.

Ilmu hanyalah di sisi Allah Ta'ala, dan akhir seruan kami adalah segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam. Salawat dan keselamatan semoga selalu tercurah kepada Nabi kita Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam, keluarganya, sahabat-sahabatnya, dan saudara-saudaranya sampai hari kebangkitan.

.

Al Jazair 28 Sya'ban 1428 H, bertepatan dengan 10 September 2007 M.

.

Catatan Kaki:

[1] Lihat keadaan ketiga dalam fatwa dan risalah Syekh Muhammad bin Ibrahim Ali asy-Syaikh (10/35--44).

[2] Dikeluarkan oleh Bukhari dalam (Nikah), bab "Keluarnya Wanita untuk Kebutuhannya": (4939), Muslim dalam (Salam), bab "Bolehnya Keluarnya Wanita untuk Menunaikan Keperluan Manusia": (5668), Ahmad: (23769), Baihaqi dalam (Sunan Kubra): (13793), dari hadist ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha.

[3] Tafsir Ibnu Katsir (1/491).

[4] Bukhari mengeluarkannya dalam (Ahkam), bab Firman Allah: " taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu": (7138), Muslim dalam (Imaroh) bab “Keutamaan Pemimpin yang Adil dan Balasan Bagi yang Zalim": (1829), Abu Daud dalam (Kharaj dan Imaroh), bab "Apa yang harus dipenuhi pemimpin dari hak rakyat: (2928) dan Turmudzi dalam (Jihad), bab "Hal-hal tentang Pemimpin": (1705), dari hadist Abdullah bin Umar radhiyallahu'anhuma.

[5] Bukhari mengeluarkannya dalam (Nikah), bab "Laki-laki Tidak Bertamu kepada Perempuan Kecuali Mahramnya": (4934), Muslim dalam (Salam), bab "Larangan Berduaan dengan Wanita yang Bukan Mahram dan Bertamu Kepadanya": (5674), Turmudzi dalam (Radha'), bab "Hal-hal Tentang Dibencinya Bertamu Kepada Istri-istri yang Ditinggal Suaminya": (1171), dan Ahmad: (16945), dari hadist Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu.

[6] Syekh Abdullah bin Abdurrahman bin Jibrin rahimahullah ditanya tentang wanita yang belajar di universitas yang bercampur-baur antara laki-laki dan perempuan, Beliau menjawab, "Kami memberikan wasiat kepadamu untuk memegang teguh agama, selalu menggunakan hijab syar'i dan besemangat untuk menutup diri, menjauhi ikhtilat, menyelisihi laki-laki, serta menjaga diri dari sebab-sebab kemaksiatan dan dosa. Kami juga mewasiatakan kepadamu untuk bersemangat dalam menaati ibu dan membahagiakannya, mencari keridhaannya semampunya untuk melanjutkan pendidikan jika aman dari fitnah. Jika diperlukan untuk masuk sekolah yang terdapat ikhtilat di dalamnya, hendaknya setiap pemudi menjauhi pemuda dan menutup diri, dan tidak menampakkan perhiasan dengan semampunya. Wallahu A'lam. (Dari situs resmi Syekh Abdullah bin Abdurrahman bin Jibrin rahimahullah, no. fatwa: 12636)

[7] Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah ditanya, "Bolehkan seorang muslim masuk pasar sedangkan dia tahu bahwa di dalamnya ada wanita yang berpakaian tapi telanjang dan ada ikhtilat yang tidak diridhai Allah ‘Azza wa Jalla?

Beliau menjawab, "(Pasar yang seperti itu tidak boleh dimasuki kecuali bagi orang yang akan melakukan amar ma'ruf nahi munkar, atau untuk keperluan mendesak dengan menundukan pandangan dan berhati-hati dari sebab-sebab fitnah, demi menjaga kehormatannya, dan menjauhi keburukan)." (Fatawa –Kitab Dakwah Syekh Bin Baz (2/227, 228). Lihat: [Fatawa Wanita Muslimah] memperhatikannya Ibnu Abdul Maqsud: (2/574), Adhwa' Assalaf, Dar Ibnu Hazm)

Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah ditanya, "Di universitas kami di Mesir banyak terjadi ikhtilat antara mahasiswa dan mahasiswi, lalu apa yang harus kami lakukan sedangkan kami membutuhkan pendidikan itu untuk melayani Islam dan kaum muslimin di negara kami, dan tidak membiarkan tempat-tempat tersebut diambil alih oleh non-muslim sehingga mereka bisa menguasai urusan-urusan kaum muslimin yang penting, seperti: kedokteran, teknik, dan lainnya?

Beliau menjawab, "Ikhtilat antara laki-laki dan perempuan adalah fitnah yang besar, maka jagalah diri kalian darinya sebisa mungkin, dan ingkarilah semampunya. Kami memohon keselamatan kepada Allah bagi diri kami dan kalian." (Dari risalah Syekh dengan tulisan tangannya, pada tanggal 4/4/1406 H, dari Fatawa Syekh Muhammad Shaleh Al 'Utsaimin (2/896). Lihat: (Fatawa Wanita Muslimah) yang diperhatikan Ibnu Abdul Maqsud: (2/572), Adhwa' Assalaf – Dar Ibnu Hazm)

Syekh Abdullah bin Abdurrahman bin Jibrin rahimahullah ditanya tentang permasalan bermuamalah dengan wanita saat bekerja. Beliau menjawab, "Kami menasihatkan kepadamu untuk meninggalkan pekerjaan yang terdapat ikhtilat dengan wanita, apalagi jika mereka tidak berkerudung. Akan tetapi jika Anda harus melakukan pekerjaan itu, menjadi kewajiban Anda untuk mengarahkan mereka untuk berhijab dan menutup diri. Hendaknya Anda tidak berbicara dengan mereka kecuali seperlunya saja, tanpa disertai lemah-lembut dan kegenitan. Jangan berduaan dengan salah satu dari mereka, bahkan jangan duduk bersama mereka kecuali darurat dengan kondisi ruangan yang tidak tertutup dan terdapat kumpulan orang laki-laki dan perempuan. Anda juga harus mengarahkan wanita-wanita tersebut untuk menjauhi kumpulan laki-laki demi keamanan dan menjauhi fitnah beserta sebab-sebabnya." (Dari situs resmi Syekh Abdullah bin Abdurrahman bin Jibrin rahimahullah, no. fatwa: 12627)

[8] Syekh Shaleh bin Fauzan bin Abdullah Al Fauzan hafizahullah ditanya, "Apa hukum percakapan antara wanita dengan pemilik toko baju dan penjahit? Beserta arahan secara umum bagi wanita."

Beliau menjawab, "Pembicaraan seorang perempuan dengan pemilik toko adalah pembicaraan yang sesuai kebutuhan, tidak ada fitnah di dalamnya maka tidaklah mengapa. Kaum wanita hendaklah berbicara dengan laki-laki dalam kebutuhan dan urusan-urusan yang tidak mengandung fitnah sesuai dengan kebutuhan. Adapun jika disertai dengan canda dan basa-basi atau dengan suara yang mengundang fitnah, maka hal itu terlarang dan tidak diperbolehkan. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman kepada istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

"Wahai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik." (Qs. al-Ahzab: 32),

dan perkataan yang baik atau ma'ruf adalah perkataan yang dimengerti oleh manusia dan sebatas kebutuhan.

Adapun selebihnya, berupa canda, basa-basi, suara yang mengandung fitnah, atau hal lainnya, atau membuka wajahnya di depan pemilik toko, membuka hastanya atau telapak tangannya, maka semuanya itu adalah hal yang haram, munkar, mengundang fitnah, dan merupakan sebab terjatuhnya dalam perbuatan keji. Wajib bagi seorang wanita muslimah yang takut kepada Allah untuk bertakwa kepada-Nya, dan tidak berbicara kepada laki-laki dengan perkataan yang mengundang fitnah terhadap hati-hati mereka, dan menjauhi hal-hal tersebut. Apabila perlu untuk pergi ke toko atau tempat yang ada laki-lakinya, maka hendaklah malu, menutup diri dan beradab dengan adab Islam. Dan jika berbicara dengan laki-laki hendaklah berbicara dengan baik, tanpa fitnah dan kebimbangan di dalamnya. (Al-Mufti dari Fatawa Syekh Shaleh bin Fauzan: 3/156, 157)

[9] Raudhatul Muhibbin, Ibnul Qayyim (92).

[10] Bukhari mengeluarkannya dalam (Syuruth) (5/312), bab "Hal-hal yang Boleh dari Syarat-syarat dalam Islam, Hukum-hukum dan Penjelasan", no. (2711, 2712), dari hadist Marwan dan Masurah bin Makhzamah radhiyallahu ‘anhuma.

[11] Bukhari mengeluarkannya dalam (Maghazy) (7/431), bab "Hadits Ifki", No (4141), dan Muslim dalam (Taubat) (17/102), bab "Hadist Ifki dan Diterimanya Tobat Penuduh Zina", dari hadist ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha.

[12] Majmu' Fatawa, Ibnu Taimiyah (23/186--187).

[13] Bukhari mengeluarkannya di (Janaiz), bab "Wanita Mengikuti Jenazah": (1219). Muslim di (Janaiz), bab "Larangan bagi Wanita untuk Mengikuti Jenazah": (2166), dan Ahmad: (26758), dari hadist Ummu 'Athiyah radhiyallahu 'anha.

[14] Muslim mengeluarkannya di (Shalat), bab "Meluruskan shaf, Menegakkannya, dan Keutamaan Shaf yang Pertama": (1013), Abu Daud dalam (Shalat), bab "Shaf Wanita dan Tidak Disukainya Terlambat dari Shaf Pertama": (687), Turmudzi dalam (Shalat), bab "Hal-hal Tentang Keutamaan Shaf Pertama": (224), Nasa'i dalam (Imamah), bab "Shaf Perempuan": (1053), dan Ahmad: (7565), dari hadist Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.

[15] Bukhari mengeluarkannya dalam (Shalat), bab "Jika Baju Sempit": (355), Muslim dalam (Shalat), bab "Perintah bagi Wanita yang Shalat Di Belakang Laki-laki untuk Tidak Mengangkat": (986), Abu Daud dalam (Shalat), bab Laki-laki yang Mengikat Baju Di Tengkuknya Kemudian Shalat": (530), Nasa'i dalam (Qiblat), bab "Shalat Dengan Sarung": (766) dan Ahmad: (15134), dari hadist Sahl bin Sa'ad radhiyallahu ‘anhu.

[16] Bukhari mengeluarkannya dalam (Nikah), bab "Apa yang Dijaga dari Kesialan Wanita: (4808), Muslim dalam (Riqaq), bab "Mayoritas Penghuni Surga Adalah Orang-orang Miskin dan Mayoritas Penghuni Neraka Adalah Wanita": (6945), Turmudzi dalam (Adab), bab "Riwayat Tentang Ancaman dari Fitnah Wanita": (2780), Ibu Majah dalam (Fitan), bab "Fitnah Wanita": (3989) dan Ahmad: (21239), dari hadist ‘Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhuma.

[17] Muslim mengeluarkannya dalam (Zikir dan Do'a), bab "Mayoritas Penghuni Surga Adalah Orang-orang Miskin dan Mayoritas Penghuni Neraka": (6948), Turmudzi dalam (Fitan), (2191), Ibnu Majah dalam (Fitan), bab "Fitnah Wanita": (4000). Ibnu Hiban: (3221), Ahmad: (10785), dan Baihaqi: (6746) dari hadist Abu Sa'id al-Khudry radhiyallahu ‘anhu.

[18] Ibnu Abi Syaibah mengeluarkannya dalam (Mushanaf): (13246), Sa'id bin Manshur, Ibnu Mundzir dan Ibnu Abi Hatim mengeluarkannya seperti yang dikatakan Al Jalal Suyuthi dalam (Darul Matsur): (7/282), dan Ibnu Katsir menyebutnya dalam tafsirnya: (7/123).

[19] Syekh Muhammad bin Shaleh Al ‘Utsaimin rahimahullah ditanya tentang hukum belajar di sekolah yang berikhtilat. Beliau menjawab, "Bagaimanapun kami katakan, wahai Saudaraku, Anda harus mencari sekolah yang tidak seperti itu. Jika tidak ada dan Anda membutuhkan pendidikan, maka hendaklah Anda membaca, belajar dan berusaha sekuat tenaga untuk menghindari perbuatan keji dan fitnah, dengan menundukkan pandangan, menjaga ucapan, tidak berbicara dengan perempuan dan tidak melewati mereka." (Dari situs ‘Allamah Syekh Muhammad bin Shaleh al-‘Utsaimain, Maktabah Fatawa: Fatawa Nur ‘ala Ad Darbi (Nashiyah): Ilmu)

[20] Syekh Abdullah bin Abdurrahman bin Jibrin rahimahullah ditanya tentang hukum belajar dan mengajar di sekolah yang berikhtilat. Beliau menjawab, "Terlarang bagi wanita untuk belajar di sekolah yang bercampur dengan laki-laki, baik itu sebagai murid ataupun sebagai guru; karena adanya fitnah dalam hal tersebut. Adapun laki-laki, maka boleh bagi mereka untuk belajar dengan berusaha keras untuk menundukkan pandangan dan menjauhi wanita-wanita yang tidak berkerudung. Wallahu a'lam." (Dari situs resmi Syekh Abdullah bin Abdurrahman bin Jibrin rahimahullah, no. fatwa: 11661)

Dalam jawaban beliau yang lain, "Hal tersebut tidak diperbolehkan jika memiliki kemampuan untuk meninggalakannya. Wajib hukumnya untuk menjauhkan antara laki-laki dan perempuan di setiap jenjang pendidikan karena adanya fitnah dalam ikhtilat. Jika seorang murid laki-laki tidak mendapatkan sekolah selain itu, hendaklah dia berusaha keras untuk menjauhi pandangan dan ikhtilat yang akan menimbulkan fitnah. (Dari situs resmi Syekh Abdullah bin Abdurrahman bin Jibrin rahimahullah, no. fatwa: 11754)

[21] Abu Daud mengeluarkannya dalam (Malamih), bab "Perintah dan Larangan": (4345), dan Thabari dalam (Mu'jam Kabir) (345) dari hadist Al ‘Ars Ibnu ‘Umairah Al Kindi radhiyallahu ‘anhu. Hadist dihasankan oleh Albani dalam (Shahih Jami') (702) dan (Shahih Abi Daud)(4345)

[22] Lihat (Fatawa Syaikh Muhammad bin Ibrahim)(19/22-24)

*****

Sumber : pengusahamuslim.com

.

Baca Juga :

.

Subhanakallohumma wa bihamdihi,

Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika

Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamin