Friday, December 11, 2009

FILE 142 : Ibnu Hajar Membolehkan Isbal ?

Bismillahirrohmanirrohim

Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam

Wa ba'du

……

al-Hafidz Ibnu Hajar Membolehkan ISBAL…?!



.

Penanya: Abu Zahroh

Ustadz Abu Abdillah, Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberkahi ilmu Ustadz… Saya ada pertanyaan, apakah penukilan pendapat Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani seperti yang dicantumkan di sebuah website bahwa “Isbal halal hukumnya bila tanpa diiringi sikap sombong” itu valid dari beliau ?


Jawaban:

Bismillaah… walhamdulillaah… wash-sholaatu wassalaamu ala Rosuulillaah… wa’ala aalihi washohbihi waman waalaah…

Memang ada sebagian orang menisbatkan pendapat bolehnya isbal tanpa rasa sombong kepada Al-Hafidz Ibnu Hajar, padahal itu tidak benar. Sebaliknya, beliau justru menguatkan pendapat yang menyatakan bahwa larangan itu umum, baik untuk yang sombong maupun tidak… Anda bisa merujuknya ke Fathul Bari, karya Ibnu Hajar, syarah hadits no: 5788-5791. Beliau membahas masalah ini, dengan panjang lebar…

Diantara perkataan beliau yang menguatkan pendapat haramnya isbal secara umum adalah:

Pertama: Beliau mengatakan bahwa dhohir-nya banyak hadits mengharamkan isbal meski tanpa rasa sombong.

وَفِي هَذِهِ الْأَحَادِيث أَنَّ إِسْبَال الْإِزَار لِلْخُيَلَاءِ كَبِيرَة , وَأَمَّا الْإِسْبَال لِغَيْرِ الْخُيَلَاء فَظَاهِر الْأَحَادِيث تَحْرِيمه أَيْضًا

“Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa isbal (menyeret) sarung karena sombong termasuk dosa besar. Adapun isbal yang bukan karena sombong, maka dhohir-nya banyak hadits juga mengharamkannya.”. (Fathul Bari: jilid 13, hal: 266, cetakan Daaru Thoibah)

Petikan di atas jelas menunjukkan bahwa beliau menguatkan pendapat yang mengatakan isbal dengan sombong itu dosa besar, sedang isbal yang tanpa sombong meski bukan dosa besar, tapi tetap diharamkan oleh banyak hadits.

Kedua: Beliau menyebutkan bantahan kepada orang yang menafsiri bahwa larangan isbal hanya bagi mereka yang sombong, tanpa menjawabnya. Dan ini menunjukkan bahwa beliau sepakat dengannya.

وَيُسْتَفَاد مِنْ هَذَا الْفَهْم التَّعَقُّب عَلَى مَنْ قَالَ: إِنَّ الْأَحَادِيث الْمُطْلَقَة فِي الزَّجْر عَنْ الْإِسْبَال مُقَيَّدَة بِالْأَحَادِيثِ الْأُخْرَى الْمُصَرِّحَة بِمَنْ فَعَلَهُ خُيَلَاء… وَوَجْه التَّعَقُّب أَنَّهُ لَوْ كَانَ كَذَلِكَ لَمَا كَانَ فِي اِسْتِفْسَار أُمّ سَلَمَة عَنْ حُكْم النِّسَاء فِي جَرّ ذُيُولهنَّ مَعْنًى. بَلْ فَهِمَتْ الزَّجْر عَنْ الْإِسْبَال مُطْلَقًا سَوَاء كَانَ عَنْ مَخِيلَة أَمْ لَا , فَسَأَلَتْ عَنْ حُكْم النِّسَاء فِي ذَلِكَ لِاحْتِيَاجِهِنَّ إِلَى الْإِسْبَال مِنْ أَجْل سَتْر الْعَوْرَة , لِأَنَّ جَمِيع قَدَمهَا عَوْرَة , فَبَيَّنَ لَهَا أَنَّ حُكْمهنَّ فِي ذَلِكَ خَارِج عَنْ حُكْم الرِّجَال فِي هَذَا الْمَعْنَى فَقَطْ

Fahamnya (Ummu salamah radliyallohu 'anhaa) ini, mengandung bantahan bagi mereka yang mengatakan bahwa: Hadits-hadits larangan isbal yang mutlak itu, harus di-taqyid dengan hadits-hadits lain yang menyebutkan bahwa ia melakukannya dengan rasa sombong… Bantahan itu bisa dijabarkan: Jika seandainya larangan isbal itu khusus bagi mereka yang sombong, tentu pertanyaan Ummu Salamah radliyallohu 'anhaa (kepada Rosul shollallohu alaihi wasallam) tentang hukum wanita meng-isbal-kan pakaiannya itu tidak ada gunanya sama sekali.

Justru Ummu Salamah menanyakan hal itu, karena ia paham bahwa larangan isbal tersebut itu umum, baik disertai rasa sombong atau tidak. Ia menanyakan hukum wanita meng-isbal-kan pakaiannya karena perlunya mereka isbal untuk menutup aurat, karena seluruh kaki wanita adalah aurat, lalu Rosul shollallohu alaihi wasallam menerangkan bahwa hukum isbal-nya wanita berbeda dengan hukum isbal-nya pria dalam hal ini saja. (Fathul Bari 13/259-260)

Setelah menyebutkan uraian ini, Al-Hafidz Ibnu Hajar tidak membantahnya. Ini menunjukkan bahwa beliau menguatkan pendapat tersebut.

Ketiga: Beliau membantah orang yang menafsiri perkataan Imam Syafi’i untuk membolehkan isbal tanpa rasa sombong.

وَالنَّصّ الَّذِي أَشَارَ إِلَيْهِ ذَكَرَهُ الْبُوَيْطِيّ فِي مُخْتَصَره عَنْ الشَّافِعِيّ قَالَ : لَا يَجُوز السَّدْل فِي الصَّلَاة وَلَا فِي غَيْرهَا لِلْخُيَلَاءِ , وَلِغَيْرِهَا خَفِيف لِقَوْلِ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِأَبِي بَكْر ا ه, وَقَوْله : ” خَفِيف ” لَيْسَ صَرِيحًا فِي نَفْي التَّحْرِيم

Perkataan Imam Syafi’i yang dimaksud oleh Imam Nawawi itu, disebutkan oleh Al-Buwaithi di Kitab Mukhtashor-nya. Imam Syafi’i mengatakan: “Tidak boleh isbal, baik di dalam sholat atau di luarnya bagi mereka yang sombong. Sedang bagi yang tidak sombong lebih ringan hukumnya, karena sabda Nabi shollallohu alaihi wasallam kepada Abu Bakar”. (Ibnu Hajar mengatakan:) Perkataan Imam Syafi’i “lebih ringan hukumnya”, tidak sharih (tegas) dalam menafikan haramnya (isbal tanpa rasa sombong). (Fathul Bari 13/266)

Lihatlah bagaimana beliau dengan penuh kesopanan membantah perkataan ulama yang kurang tepat dalam menafsiri perkataan Imam Syafi’i tersebut.

Keempat: Beliau menjelaskan hikmah diharamkannya isbal, yang berlaku umum baik bagi yang isbal dengan rasa sombong atau tidak.

فَأَمَّا لِغَيْرِ الْخُيَلَاء فَيَخْتَلِف الْحَال. فَإِنْ كَانَ الثَّوْب عَلَى قَدْر لَابِسه لَكِنَّهُ يَسْدُلهُ فَهَذَا لَا يَظْهَر فِيهِ تَحْرِيم, وَلَا سِيَّمَا إِنْ كَانَ عَنْ غَيْر قَصْد كَاَلَّذِي وَقَعَ لِأَبِي بَكْر, وَإِنْ كَانَ الثَّوْب زَائِدًا عَلَى قَدْر لَابِسه فَهَذَا قَدْ يُتَّجَه الْمَنْع فِيهِ مِنْ جِهَة الْإِسْرَاف فَيَنْتَهِي إِلَى التَّحْرِيم…. وَقَدْ يُتَّجَه الْمَنْع فِيهِ مِنْ جِهَة التَّشَبُّه بِالنِّسَاءِ وَهُوَ أَمْكَن فِيهِ مِنْ الْأَوَّل, وَقَدْ صَحَّحَ الْحَاكِم مِنْ حَدِيث أَبِي هُرَيْرَة “أَنَّ رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَعَنَ الرَّجُل يَلْبَس لِبْسَة الْمَرْأَة” … وَقَدْ يُتَّجَه الْمَنْع فِيهِ مِنْ جِهَة أَنَّ لَابِسه لَا يَأْمَن مِنْ تَعَلُّق النَّجَاسَة بِهِ, وَإِلَى ذَلِكَ يُشِير الْحَدِيث…. عَنْ عُبَيْد بْن خَالِد قَالَ: “كُنْت أَمْشِي وَعَلَيَّ بُرْد أَجُرّهُ, فَقَالَ لِي رَجُل: اِرْفَعْ ثَوْبك فَإِنَّهُ أَنْقَى وَأَبْقَى , فَنَظَرْت فَإِذَا هُوَ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, فَقُلْت: إِنَّمَا هِيَ بُرْدَة مَلْحَاء, فَقَالَ: أَمَا لَك فِيَّ أُسْوَة؟ قَالَ: فَنَظَرْت فَإِذَا إِزَاره إِلَى أَنْصَاف سَاقَيْهِ”. وَسَنَده قَبْلهَا (رُهْم بنت الأسود) جَيِّد. (قال الألباني: ضعيف لكن له شاهد قاصر مخرج في الصحيحة رقم 1441)… وَيُتَّجَه الْمَنْع أَيْضًا فِي الْإِسْبَال مِنْ جِهَة أُخْرَى وَهِيَ كَوْنه مَظِنَّة الْخُيَلَاء, قَالَ اِبْن الْعَرَبِيّ : لَا يَجُوز لِلرَّجُلِ أَنْ يُجَاوِز بِثَوْبِهِ كَعْبه , وَيَقُول لَا أَجُرّهُ خُيَلَاء , لِأَنَّ النَّهْي قَدْ تَنَاوَلَهُ لَفْظًا , وَلَا يَجُوز لِمَنْ تَنَاوَلَهُ اللَّفْظ حُكْمًا أَنْ يَقُول لَا أَمْتَثِلهُ لِأَنَّ تِلْكَ الْعِلَّة لَيْسَتْ فِيَّ , فَإِنَّهَا دَعْوَى غَيْر مُسَلَّمَة , بَلْ إِطَالَته ذَيْله دَالَّة عَلَى تَكَبُّره انتهى مُلَخَّصًا .

Adapun isbalnya orang yang tanpa rasa sombong, maka keadaannya berbeda. (misalnya) Jika bajunya itu sesuai ukuran pemakainya, tapi ia menyeretnya, maka tidak jelas (bagiku) hukum haramnya, apalagi jika itu tanpa disengaja, sebagaimana terjadi pada Abu Bakar. Namun jika bajunya itu melebihi ukuran pemakainya, maka keharaman itu berlaku padanya, karena masuk dalam isrof yang diharamkan.

Larangan isbal ini juga bisa karena isbal itu menyerupai (pakaian) wanita, Alasan ini lebih kuat dari alasan pertama, karena Imam Hakim telah men-shohih-kan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Huroiroh, bahwa “Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam- melaknat pria yang mengenakan model pakaian wanita”

Larangan isbal juga bisa karena baju pemakainya tidak aman dari terkena najis, hikmah ini ditunjukkan oleh hadits… dari Ubaid bin Kholid, ia berkata: “(Suatu hari) aku berjalan dengan menyeret baju burdahku, lalu ada orang yang menegurku: ‘Angkatlah bajumu!, sungguh itu lebih menjaga bersih dan awetnya”. Aku pun menoleh ke arah suara itu, ternyata dia adalah Nabi -shollallohu alaihi wasallam-, lalu aku beralasan: ‘Ini hanya baju burdah malha‘, maka beliau menimpali: ‘Tidakkah kau meniruku?!’. Ubaid mengatakan: ‘Lalu ku lihat beliau, ternyata sarungnya (tinggi) sampai di tengah betisnya’.

Larangan isbal juga bisa karena hal itu termasuk tanda kesombongan, Ibnul Arobi mengatakan: Laki-laki tidak boleh menjulurkan pakaiannya melewati mata kakinya, lalu berkilah: “Aku tidak menjulurkannya karena sombong!” Karena lafal hadits yang melarang hal itu telah mencakup dirinya, dan orang yang masuk dalam larangan, tidak boleh membela diri dengan mengatakan: “Aku tidak mau mengindahkan larangan itu, karena sebab larangannya tidak ada padaku”. Hal seperti ini adalah klaim yang tidak bisa diterima, sebab tatkala ia menjulurkan pakaiannya, sejatinya ia menunjukkan karakter kesombongannya. (Fathul Bari 13/266-267)

Perhatikan uraian Ibnu hajar di atas, beliau menyebutkan empat hikmah diharamkannya isbal: (a)Isrof harta (yakni menghambur-hamburkannya)… (b)Tasyabbuh (yakni menyerupai) pakaian wanita… (c)Tidak aman dari najis… (d)Termasuk tanda kesombongan… Dan semua hikmah ini berlaku umum bagi siapa saja yang isbal ria, baik dengan rasa sombong atau tidak.

Kelima: Beliau menutup pembahasan masalah isbal dengan mengatakan:

وَحَاصِله أَنَّ الْإِسْبَال يَسْتَلْزِم جَرّ الثَّوْب وَجَرّ الثَّوْب يَسْتَلْزِم الْخُيَلَاء وَلَوْ لَمْ يَقْصِد اللَّابِس الْخُيَلَاء , وَيُؤَيِّدهُ مَا أَخْرَجَهُ أَحْمَد بْن مَنِيع مِنْ وَجْه آخَر عَنْ اِبْن عُمَر فِي أَثْنَاء حَدِيث رَفَعَهُ: وَإِيَّاكَ وَجَرّ الْإِزَار فَإِنَّ جَرّ الْإِزَار مِنْ الْمَخِيلَة

“Kesimpulannya, Isbal melazimkan menyeret pakaian, dan menyeret pakaian melazimkan kesombongan, meski pelakunya tidak bermaksud sombong. Kesimpulan ini juga dikuatkan oleh hadits: ‘Janganlah meng-isbal-kan sarungmu! Karena meng-isbal-kan sarung termasuk perbuatan sombong” (Fathul Bari jilid:13, hal: 267).

Inilah pernyataan beliau tentang isbal, jelas sekali dari uraian di atas, beliau tidak membolehkan isbal, meski tidak dibarengi dengan rasa sombong.

Pertanyaannya: Lalu mengapa ada yang menisbatkan pendapat bolehnya isbal bila tanpa rasa sombong kepada Al-Hafidz Ibnu Hajar ?

Jawabannya, karena mereka salah dalam memahami ungkapan beliau berikut ini:

وَفِي هَذِهِ الْأَحَادِيث أَنَّ إِسْبَال الْإِزَار لِلْخُيَلَاءِ كَبِيرَة, وَأَمَّا الْإِسْبَال لِغَيْرِ الْخُيَلَاء فَظَاهِر الْأَحَادِيث تَحْرِيمه أَيْضًا. لَكِنْ اُسْتُدِلَّ بِالتَّقْيِيدِ فِي هَذِهِ الْأَحَادِيث بِالْخُيَلَاءِ عَلَى أَنَّ الْإِطْلَاق فِي الزَّجْر الْوَارِد فِي ذَمّ الْإِسْبَال مَحْمُول عَلَى الْمُقَيَّد هُنَا, فَلَا يَحْرُم الْجَرّ وَالْإِسْبَال إِذَا سَلِمَ مِنْ الْخُيَلَاء. قَالَ اِبْن عَبْد الْبَرّ: مَفْهُومه أَنَّ الْجَرّ لِغَيْرِ الْخُيَلَاء لَا يَلْحَقهُ الْوَعِيد, إِلَّا أَنَّ جَرّ الْقَمِيص وَغَيْره مِنْ الثِّيَاب مَذْمُوم عَلَى كُلّ حَال.

“Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa isbal (menyeret) sarung karena sombong termasuk dosa besar. Adapun isbal yang bukan karena sombong, maka dhohir-nya banyak hadits juga mengharamkannya.

Namun taqyid sombong yang ada dalam hadits-hadits ini, dipakai untuk dalil, bahwa hadits-hadits lain tentang larangan isbal yang mutlak (tanpa menyebutkan kata sombong) harus dipahami dengan taqyid sombong ini, sehingga isbal dan menyeret pakaian tidak diharamkan bila selamat dari rasa sombong”.

Ibnu Abdil barr mengatakan: “Mafhum-nya hadits ini menunjukkan, bahwa menyeret pakaian tanpa rasa sombong tidak masuk dalam ancaman, tapi (mafhum itu tidak berlaku dalam kasus ini), sungguh -bagaimanapun keadaannya- menyeret baju atau pakaian lainnya itu tercela, (yakni masuk dalam ancaman yang ada dalam hadits-hadits). (Fathul bari: jilid 13, hal: 266, cetakan Daaru Thoibah)

Para pembaca yang dirahmati Alloh… Sungguh jika orang itu lebih teliti dalam memahami metode yang dipakai Ibnu Hajar dalam keterangan di atas, ia akan tahu bahwa beliau sebenarnya melemahkan pendapat yang membolehkan isbal jika tanpa sombong.

Cobalah anda tinjau ulang redaksi beliau ketika menyebutkan pendapat bolehnya isbal jika tanpa sombong, beliau menggunakan redaksi ustudilla (lihat tulisan arab yang kami cetak merah dan bergaris bawah), itu adalah bentuk shighotut tamridh, yakni redaksi yang biasa digunakan oleh para ulama untuk menyebutkan pendapat yang menurutnya lemah.

Kata ustudilla sendiri berarti: “dipakai untuk dalil”, dari kata ini pembaca akan paham bahwa yang memakainya sebagai dalil adalah orang lain, bukan Ibnu Hajar. Itulah sebabnya mengapa setelah menyebutkan pendapat yang dilemahkan itu, beliau langsung menyebutkan perkataan Ibnu Abdil Barr yang menentang pendapat lemah itu. Jelasnya Ibnu Hajar ingin memupus argumen pendapat yang dilemahkannya dengan perkataan Ibnu Abdil Barr itu.

Perlu pembaca ketahui, bahwa tujuan Ibnu Hajar menyebutkan pendapat yang dilemahkan beliau, adalah untuk menjawab dalil-dalil pendapat itu. Oleh karena itu jika pembaca merujuk sendiri ke kitab Fathul Bari tersebut, anda akan dapati beliau selalu menjawab setiap dalil yang mendukung bolehnya isbal jika tanpa rasa sombong.

Sekian tulisan ini, semoga bisa menjadi koreksi bagi yang salah, dan menjadi suntikan pengetahuan bagi yang baru menela’ah… Kurang lebihnya mohon maaf… Semoga bermanfaat… wassalam.

Penulis: Addariny, di Madinah, 4 Romadhon 1430 / 25 Agustus 2009

*****

Sumber: addariny.wordpress.com

.

Link Terkait

.

Subhanakallohumma wa bihamdihi,

Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika

Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamin

FILE 141 : Uneg-Uneg tentang Bersepeda di Kota Medan

Bismillahirrohmanirrohim

Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam

Wa ba'du

……

Sewaktu membaca-baca berita di Kompas online, secara tidak sengaja saya menemukan artikel tentang suasana bikers (pengendara sepeda) di Denmark. Membacanya, secara tidak sadar saya langsung membandingkannya dengan kondisi saya.

Kebetulan, saya termasuk salah seorang yang menggunakan sarana sepeda untuk pulang pergi kerja ke kantor. Sebelumnya waktu kuliah dulu (di Malang, Jawa Timur) saya juga menggunakan sepeda untuk pulang pergi ke kampus. Namun di tempat kerja saya sekarang (Kota Medan), saya betul-betul mendapati hal yang baru dan berbeda.

Yang paling utama, kondisi jalanan di Medan. Sungguh tidak bersahabat dengan sepeda saya. Di Medan, saya memakai sepeda Phoenix warna biru (di Jawa sering disebut sepeda onthel atau sepeda ‘jengki’), orang sini sering menyebutnya ‘lereng’ atau sepeda ‘janda’. Sayangnya, walaupun sepeda tersebut saya beli baru, ternyata tetap tidak berdaya menghadapi kondisi jalanan di Medan.

Mayoritas jalan raya yang ada, walaupun sudah diaspal, namun kualitas pengaspalan –menurut saya pribadi- sangat kurang. Sering tonjolan-tonjolan kerikilnya begitu nampak dan menghunjam ban sepeda saya. Akibatnya, baru sekitar setengah tahun memakai sepeda, ban dalam sepeda sudah saya ganti sekitar 6 kali. Saya juga tidak berani memboncengkan teman dengan sepeda saya, mengingat kondisi jalanan yang seperti itu.

Hal tersebut sangat berbeda dibandingkan dengan sewaktu saya masih kuliah di Malang dulu. Waktu itu saya menggunakan sepeda balap, yang bannya bisa dibilang sangatlah tipis dan kecil. Selama setahun memakai, dan itupun sepeda balap bekas, seingat saya hanya sekali saya menambal ban, dan sekali mengganti ban dalam.

Saya menjadi berpikir, apakah dalam masalah jalan pun, masih berlaku faktor Jawa dan Luar Jawa. Mengingat Medan sering disebut sebagai kota terbesar ketiga di Indonesia, menurut saya sudah sewajarnyalah, kualitas jalanannya tidak kalah dengan Jakarta dan Surabaya.

Wallohu a’lam.


Berikut ini salinan artikel tersebut.

*****


Kopenhagen, Surga Pegowes Sepeda


Sabtu, 5 Desember 2009 | 08:27 WIB

MENGHIRUP udara pagi sambil menyusuri Jalan Raya HC Andersen yang teduh membuat dada terasa lapang. Mendekati Taman Tivoli, di persimpangan yang padat di antara stasiun sentral dan kawasan pedestrian Stroget, lalu lintas makin padat, bukan saja oleh mobil atau bus, tetapi terutama oleh sepeda.

Di lajur khusus sepeda yang berdampingan dengan trotoar lebar tempat pejalan kaki, serombongan pengayuh sepeda melintas dengan kecepatan cukup tinggi. Kebanyakan mereka adalah mahasiswa, ibu rumah tangga, dan pekerja kantoran yang bahkan mengayuh dengan setelan lengkap.

Kopenhagen memang kota paling bersahabat bagi para pengayuh sepeda. Jalur khusus sepeda yang dibangun pemerintah kota setiap tahun bukan saja makin panjang, tetapi juga makin lebar. Di ibu kota Denmark ini, lebih dari sepertiga penduduk memilih sepeda sebagai moda transportasinya.

Tiap tahun, angka pengayuh sepeda terus meningkat, sejalan dengan kebijakan pemerintah kota yang memberi ruang yang juga makin luas bagi mereka. Saat ini, sekitar 350 kilometer jalur khusus sepeda tersedia di Kopenhagen. Dalam catatan kantor wali kota, penduduk Kopenhagen setiap hari bepergian dengan metro sejauh 660.000 kilometer, sementara dengan sepeda, 1,2 juta kilometer, atau hampir dua kali lipat.

Demi keamanan pengendara sepeda, pemerintah kota sangat serius menerapkan hukum berlalu lintas. Di persimpangan, garis berhenti bagi kendaraan bermotor berjarak lima meter di belakang garis bagi pegowes sepeda. Lampu hijau bagi pegowes juga 12 detik lebih cepat ketimbang mobil. Ini dimaksudkan memberi sudut pandang lebih jelas bagi pengendara mobil.

Keberadaan jalur khusus sepeda dan pengaturan lalu lintas yang berpihak kepada pegowes membuat angka kecelakaan sepeda di Kopenhagen sangat rendah, yakni rata-rata hanya dua sampai tiga kecelakaan yang menyebabkan kematian. Agak mengejutkan hanyalah statistik kecelakaan meninggal pesepeda pada tahun 2008 yang mencapai lima orang.

Yang juga agak mengherankan, hanya sedikit pegowes di Kopenhagen yang memakai helm. Buruknya disiplin pegowes ini sempat menjadi perbebatan sengit para politisi. Namun, meski perdebatan terus berlangsung, sejauh ini tak ada aturan baru yang mengharuskan pesepeda mengenakan helm. Keengganan menerapkan aturan itu konon disebabkan ketakutan akan turunnya minat bersepeda. Para politisi masih beranggapan, manfaat bersepeda bagi lingkungan dan kesehatan masih jauh lebih tinggi dibandingkan dengan risiko bersepeda tanpa helm.

Makin tingginya angka pengguna sepeda membuat tuntutan akan tempat parkir sepeda pun meningkat tiap tahun. Meski hampir di setiap pojok kota sepeda selalu menjadi prioritas parkir, kekurangan tetap sangat terasa. Di kawasan pedestrian Stroget yang terkenal sebagai pusat belanja, sepeda diparkir sembarangan di emperan toko.


Sama dengan mobil

Namun, hebatnya, di tempat-tempat penting dan gedung publik serta hotel berbintang, sepeda punya kasta yang sama dengan mobil mewah. Di tempat-tempat ini sepeda disediakan tempat khusus. Di hotel-hotel tertentu, sepeda bahkan punya kasta lebih tinggi ketimbang roda empat. Tempat parkirnya dekat lobi dan diberi atap, lengkap dengan fasilitas memompa ban!

Bandingkan dengan gedung-gedung tinggi, hotel atau mal, di Indonesia yang bahkan tidak mengizinkan Si Kuda Aluminium yang sangat ramah lingkungan ini masuk halaman, apalagi parkir. Belum lama ini, surat pembaca di harian ini memprotes pengelola Mal Pacific PlaceIndonesia. yang melarang sepeda masuk dan parkir. Sepeda, meski tidak membuat macet dan tidak mengotori udara, diperlakukan sangat buruk di Indonesia.

Sementara di Kopenhagen, dua tahun ini tuntutan agar jalur sepeda bisa lebih mulus juga ditanggapi sangat serius oleh pemerintah kota. Sambungan-sambungan jembatan yang biasanya berlubang sudah sangat sedikit dijumpai. Bahkan, jika kita bersepeda di sekitar balaikota dan berkeliling ke beberapa tempat populer, seperti Amalienborg (tempat keluarga kerajaan tinggal), Gedung Opera, dan taman Tivoli, jalur sepedanya lebih mulus daripada jalan Tol Jagorawi.

Bagi pelancong mancanegara, Pemerintah Kota Kopenhagen menyediakan sepeda gratis. Dengan memasukkan deposit 20 krone (sekitar Rp 45.000), mereka bisa meminjam sepeda di lebih dari 100 rak yang tersebar di sudut-sudut kota. Setelah bersepeda sekenyangnya, pelancong tinggal mengembalikan di rak terdekat dan mereka mendapatkan kembali 20 krone-nya.

Sepeda gratis yang diberi nama ”City Bike One” ini lebih dari sekadar cukup kualitasnya untuk berkeliling kota. Meski hanya sepeda berkecepatan tunggal (single speed), menggowes sepeda ini sangat nyaman, ringan, dan tidak perlu takut tersesat. Sebab, selain jalur sepeda sangat jelas, ”City Bike One” ini juga dilengkapi peta dan nomor-nomor telepon untuk keadaan darurat. (Anton Sanjoyo)


Sumber: http://travel.kompas.com/read/xml/2009/12/05/08275988/Kopenhagen..Surga.Pegowes.Sepeda

.

Subhanakallohumma wa bihamdihi,

Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika

Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamin

Friday, December 4, 2009

FILE 140 : Sejarah Pembangunan Ka'bah

Bismillahirrohmanirrohim

Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam

Wa ba'du

……

.

Pembangunan Ka’bah

Oleh:

Ustadz Abu Asma Kholid Syamhudi

.

Riwayat-riwayat yang terdapat di dalam buku-buku sirah (sejarah), yang mengungkapkan pembangunan dan pemeliharaan Ka’bah, walaupun sebagian riwayat-riwayat tersebut tidak otentik –jika ditinjau dari sudut periwayatannya- tetapi telah memberikan penjelasan, bahwa pembangunan Ka’bah telah dilakukan beberapa kali.

Pemaparan berikut, kami angkat dari beberapa nara sumber. Yaitu kitab as Sirah an Nabawiyah fi Dhu'il Nashadir al Ashliyah, Mahdi Riqullah, Cetakan Pertama, Tahun 1412 H, Markaz al Malik Faishal lil Buhuts wad-Dirasat al Islamiyah, halaman 51-56; al Ka'bah al Musyarafah Awalul Bait Wadhi'a lin-Nass, artikel dalam Majalah Haji, Edisi 9 dan 10 tahun 55/ Rabiul Awal dan Rabi'u Tsani 1422 H; at Tarikh Al Qawim li Makkata wa Baitullah al Karim, Muhammad Thahir al Kurdi, Cetakan Pertama, Tahun 1420H, Darul Khadir, Beirut; Fat-hul Bari Syarhu Shahihul-Bukhari, al Hafizh Ibnu Hajar, dan lain-lain.

1). Pembangunan dan pemeliharaan oleh para malaikat, sebagaimana diriwayatkan al Azraqiy. [1]

2). Pembangunan dan pemeliharaan oleh Nabi Adam, sebagaimana diriwayatkan al Baihaqiy[2], dan yang lainnya [3].

3). Pembangunan dan pemeliharaan oleh anak-anak Nabi Adam, sebagaimana diriwayatkan al Azraqiy[4] dan yang lainnya [5], dari Wahb bin Munabbih. Dan menurut as Suhailiy, yang membangun adalah Syits bin Adam [6].

4). Pembangunan dan pemeliharaan oleh Nabi Ibrahim dan anaknya Isma'il. Hal ini dijelaskan di dalam al Qur`an dan hadits-hadits. Bahkan riwayat-riwayat tersebut menjelaskan, bahwa Nabi Ibrahim dan Ismail adalah orang yang pertama mendirikan dan membangun Ka’bah, walaupun tempat Ka’bah, yaitu satu dataran yang tinggi dan menonjol dibandingkan dengan sekitarnya telah dikenal oleh para malaikat dan para nabi sebelum Ibrahim. Tempat yang tinggi dan menonjol inilah yang ditinggikan dan dimuliakan, sejak zaman dahulu sampai datangnya Nabi Ibrahim, yang kemudian membuat pondasi dan bangunannya bersama anaknya, Ismail.

Adapun riwayat yang menunjukkan bahwa sebelumnya Ka’bah telah dibangun, riwayat-riwayat tersebut hampir semuanya mauquf (berakhir/berhenti) kepada para sahabat atau tabi’in, dan hanya diriwayatkan oleh pakar sejarah, seperti al Azraqiy, al Fakihaniy, dan sebagian ahli tafsir serta ahli hadits. Yang mereka itu tidak berpegang teguh dalam meriwayatkannya syarat-syarat keotentikannya. Ibnu Katsir, setelah memastikan bahwa orang pertama yang membangun Ka’bah adalah Ibrahim dan Ismail, maka dia berkata : "Tidak ada satupun riwayat yang sah dari al Ma’shum (Nabi) yang menjelaskan bahwa Ka’bah telah dibangun sebelum al Khalil (yaitu Ibrahim-Pen.)"[7]

Adapun Syuhbah, setelah merajihkan pendapat Ibnu Katsir tersebut, dia berkata : Apa yang telah kami rajihkan dan telah kami ambil sebagai pendapat kami, tidaklah bertentangan dengan riwayat yang mengatakan bahwa tidak ada seorang nabi pun kecuali telah berhaji ke Baitullah (Ka’bah). Dan riwayat yang dikeluarkan oleh Abu Ya’la dalam Musnad-nya dengan sanad kepada Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata :

حَجَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فَلَمَّا أَتَى وَادِيْ عَسْفَانَ قَالَ: يَا أَبَا بَكْرٍ أَيُّ وَادٍ هَذَا؟ قَالَ هَذَا وَادِيْ عُسْفَانَ قَالَ لَقَدْ مَرَّ بِهَذَا نُوْحٌ وَ هُوْدٌ وَ إِبْرَاهِيْمُ عَلَى بَكْرَاتِ لَهُمْ حُمْرٍ خُطُمُهُمْ اللِّيْفُ وَ أُزُرُهُمْ العَبَاء وَ أَرْدِيَتُهُمْ النِّمَارُ يَحُجُّوْنَ الْبَيْتَ الْعَتِيْقَ

"Rasulullah telah berhaji. Ketika telah sampai di Wadi Asfan, beliau berkata : "Wahai, Abu Bakar. Wadi (lembah) apakah ini?" Abu Bakar menjawab,"Ini adalah Wadi Asfan," kemudian beliau shallallahu 'alaihi wa sallam berkata : "Sesungguhnya Nuh, Hud dan Ibrahim telah melewati wadi ini dengan mengendarai onta-onta merah mereka yang dikendalikan dengan tali kekang…… dan sarung-sarung mereka dari Aba’. Dan dengan selendang-selendang dari Nimar, mereka berhaji ke al Baitul-Atiq (Ka’bah)".

Begitu juga dengan yang telah dikeluarkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya dengan sanadnya kepada Ibnu 'Abbas yang berkata :

لَمَّا مَرَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِوَادِي عُسْفَانَ حِينَ حَجَّ قَالَ يَا أَبَا بَكْرٍ أَيُّ وَادٍ هَذَا قَالَ وَادِي عُسْفَانَ قَالَ لَقَدْ مَرَّ بِهِ هُودٌ وَصَالِحٌ عَلَى بَكَرَاتٍ حُمْرٍ خُطُمُهَا اللِّيفُ أُزُرُهُمْ الْعَبَاءُ وَأَرْدِيَتُهُمْ النِّمَارُ يُلَبُّونَ يَحُجُّونَ الْبَيْتَ الْعَتِيقَ

"Ketika Rasulullah melewati Wadi Asfan saat berhaji, beliau berkata : "Wahai, Abu Bakar. Wadi apakah ini?" Abu Bakar menjawab,”Ini adalah Wadi Asfan," kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata : "Sesungguhnya Hud dan Shalih telah melewati wadi ini dengan mengendarai onta-onta merah yang dikendalikan dengan tali kekang…… dan sarung-sarung mereka dari Aba'. Dan dengan selendang-selendang mereka dari Nimar, mereka bertalbiah dan berhaji ke al Baitul-Atiq (Ka’bah)".

Maksudnya adalah berhaji ke tempatnya, karena disana, di tempat yang dituju belum ada bangunannya.[8]

Nabi Ibrahim dengan dibantu oleh Nabi Isma'il, beliau memulai pembangunan Ka'bah dengan membuat tinggi Ka'bah menjadi 9 hasta, dan lebarnya 32 hasta dari rukun Aswad sampai rukun Syami, yang di sisinya terdapat Hijr Ismail. Beliau melebarkan antara rukun Syami dengan rukun Gharbi (Barat) menjadi 22 hasta, dan antara rukun Gharbi dengan rukun Yamani menjadi 31 hasta, serta antara rukun Yamani dengan rukun Aswad menjadi 20 hasta.

Penulis kitab Tarikhul Ka'bah al Mu'azhamah, Syaikh Husain Abdullah Basalamah menjelaskan, Nabi Ibrahim membuat dua pintu untuk Ka'bah dengan ukuran yang sama. Satu dari arah timur dekat Hajar Aswad, dan yang lainnya dari arah barat dekat rukun Yamani. Beliau juga membuat lubang di dalam Ka'bah. Yaitu di sebelah kanan orang yang masuk dari pintu timur yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan harta Ka'bah. Kala itu, Ka'bah belum diberi atap.[9]

5). Pembangunan oleh bangsa Amaliq dan Jurhum.

Sebagaimana hal ini telah dinukil oleh asy Syami dari riwayat Ibnu Abi Syaibah, Ishaq bin Rahuyah dalam Musnad-nya, Ibnu Jarir, Ibnu Abi Hatim dan al Baihaqiy dalam ad Dala-il, dari Ali [10].

Imam as Suhailiy berkata,"Dikisahkan, pada zaman Jurhum, Ka’bah dibangun sekali atau dua kali karena banjir yang telah menghancurkan tembok Ka’bah. (Tetapi) ini bukan termasuk melakukan pembangunan, namun hanyalah perbaikan terhadap sesuatu yang diperlukan”.[11]

Ahli sejarah bersilang pendapat, di antara dua kabilah ini, manakah yang lebih dahulu membangun Ka'bah. Yang jelas, sejak zaman Ibrahim hingga Quraisy, Ka'bah dibangun dengan menggunakan tumpukan batu dan tanpa perekat tanah, atau yang lainnya [12].

6). Pembangunan oleh Qushaiy bin Kilab.

As Samiy[13] berkata : "Dinukil oleh az Zubair bin Bakar dalam kitab an Nasab, dan ditegaskan oleh Abu Ishaq al Mawardiy dalam al Ahkam as Sulthaniyah[14] yang menyatakan, orang pertama yang merenovasi bangunan Ka'bah dari kalangan Quraisy setelah Nabi Ibrahim adalah Qushaiy bin Kilab".

As Sakhawi mengatakan, Qushaiy mengumpulkan hartanya yang melimpah dan menghancurkan Ka'bah serta menambah tinggi Ka'bah menjadi 9 hasta dari yang telah dibangun pada zaman Nabi Ibrahim. Dia juga membuat atap Ka'bah dari kayu pohon ad-dum dan pelepah kurma, sehingga dialah orang pertama yang membuat atap Ka'bah, kemudian dibuka lagi hingga zaman Quraisy.[15]

7). Pembangunan oleh bangsa Quraisy.

Menurut ahli sejarah, pembangunan ini terjadi pada saat usia Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menginjak 35 tahun. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ikut serta dalam pembangunan ini dengan mengangkat batu-batu di atas pundaknya. Ketika sampai pada peletakkan Hajar Aswad, kaum Quraisy berselisih, siapa yang akan menaruhnya. Perselisihan ini nyaris menimbulkan pertumpahan darah, akan tetapi dapat diselesaikan dengan kesepakatan menunjuk seorang pengadil hakim yang memutuskan. Pilihan tersebut, ternyata jatuh pada diri Muhammad[16]

Keistimewaan bangunan Quraisy :

  • Quraisy membangun Ka'bah sesuai dengan pondasi bangunan Nabi Ibrahim.
  • Quraisy mengurangi lebar Ka'bah 6,5 (enam setengah) hasta dari arah Hijr Ismail, sebagaimana sekarang.
  • Menambah ketinggian Ka'bah menjadi 18 hasta.
  • Ka'bah dari sisi Hijr Ismail dijadikannya melingkar, sebagaimana pada pembangunan oleh Nabi Ibrahim.
  • Quraisy membangun tembok pendek pada Hijr Ismail.
  • Meninggikan letak pintu dari tanah dan memberikan daun pintu yang dapat dikunci. Menambah atap dan talang air (mizab) untuk mengatur pembuangan air dari atapnya dan dibuang ke arah Hijr Isma'il.
  • Memasang enam tiang penyangga dalam dua barisan di dalam Ka'bah.
  • Bahan yang dipakai untuk membangun tidak hanya susunan batuan saja, tetapi juga dengan menggunakan tanah sebagai perekat.
  • Menghiasi atap dan tembok Ka'bah sebelah dalam, demikian pula dengan tiang-tiangnya.
  • Mereka juga membuat gambar-gambar para nabi, malaikat dan pepohonan.

Yang semua ini kemudian dihapus oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada saat Fathu Makkah.[17]

8). Pembangunan oleh 'Abdullah bin az Zubair, sebagaimana diriwayatkan oleh Syaikhani.[18]

Ketika Ibnu az Zubair berencana membangun Ka’bah yang hendak dikembalikan sesuai dengan asas dan bentuk sebagaimana yang telah dibangun oleh Nabi Ibrahim dan Ismail -sebelum adanya perubahan dari kaum Quraisy- maka beliau menyampaikan rencana ini kepada kaum Muslimin, yang akhirnya disetujui.

Kaum Muslimin pun segera memulai pembangunan. Pertama, mereka menghancurkan bangunan Ka’bah yang ada sampai rata dengan tanah, lalu mencari pondasi Ka’bah yang telah dibuat oleh Nabi Ibrahim. Setelah menemukan, maka segera menegakkan tiang-tiang di sekitarnya dan menutupnya. Kemudian, mulailah mereka membangun dan meninggikan bangunan Ka’bah secara bersama-sama, serta menambah tiga hasta yang telah dikurangi kaum Quraisy, menambah tinggi Ka’bah sepuluh hasta, lalu membuat dua pintu dari arah timur dan barat. Satu untuk masuk, dan yang lain untuk keluar. Hal itu sesuai dengan hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Syaikhani, yang berbunyi:

يَا عَائِشَةَ لَوْلاَ أَنَّ قَوْمَكِ حَدِيْثُوْ عَهْدٍ بِجَاهِلِيَّةٍ لأَمَرْتُ بِالْبَيتِ فَهُدِمَ فَأَدْخَلْتُ فِيْهِ مَا أَخْرَجَ مِنْهُ وَ أَلْزَقْتُهُ بِالأَرْضِ وَ جَعَلْتُ لَهُ بَابًا شَرْقِيًّا وَ بَابًا غَرْبِيًّا فَبَلَغْتُ بِهِ أَسَاسَ إِبْرَاهِيْمَ

"Wahai, 'Aisyah. Kalau bukan karena kaummu baru lepas dari kejahiliyahan, sungguh aku ingin memerintahkan mereka menghancurkan Ka'bah lalu membangunnya, dan aku masukkan ke dalamnya apa yang telah dikeluarkan darinya, dan aku buat pintunya menempel dengan tanah, serta aku buatkan pintu timur dan barat, dan aku sesuaikan dengan pondasi Ibrahim". [Muttafaqun 'alaih] [19]

Al Azraqiy[20] dan Ibnu Hajar[21] menjelaskan, bahwa Nabi Ibrahim membangun Ka’bah setinggi 9 hasta, panjang 32 hasta dan lebar 22 hasta tanpa atap. Sedangkan as Suhailiy menjelaskan, bahwa tinggi Ka’bah adalah 9 hasta dari zaman Ismail, lalu ketika kaum Quraisy -sebelum Islam menambah 9 hasta, sehingga menjadi 18 hasta. Mereka meninggikan pintunya dari tanah, sehingga untuk menaikinya harus menggunakan tangga. Ketika Ibnu az Zubair membangunnya, dia menambah 9 hasta, sehingga menjadi 27 hasta hingga sekarang.[22]

Demikian juga Ibnu al Zubair membuat dua pintu yang menempel ke tanah dari arah timur dan barat, untuk masuk dan keluar. Tinggi pintunya 11 hasta.[23]

9). Pembangunan al Hajaj bin Yusuf ats Tsaqafiy atas perintah Khalifah Abdul Malik bin Marwan al Umawiy.

Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim (2/972/H 1333/402), pembangunan ini dilakukan, karena adanya keraguan Abdul Malik terhadap pendengaran Abdullah bin az Zubair, berkaitan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari 'Aisyah :

لَوْلاَ أَنَّ قَوْمَكِ حَدِيْثُوْ عَهْدٍ بِجَاهِلِيَّةٍاَوْ قَالَ بِكُفْرٍ- لَهَدَمْتُهَا وَجَعَلْتُ لَهَا غَلَقًا وَ أَلْصَقْتُ بَابَهَا بِالأَرْضِ وَأَدْخَلْتُ فِيْهَا الْحِجْرُ

"Kalau bukan karena kaummu baru lepas dari kejahiliyahan –atau, kekufuran- sungguh aku akan menghancurkan Ka'bah, membuatkan untuknya pintu dan aku tempelkan pintunya ke tanah, serta aku masukkan Hijr Ismail padanya".

Juga diriwayatkan bahwa, Khalifah Harun ar Rasyid telah berencana untuk menghancurkan Ka’bah dan membangunnya kembali sebagaimana bangunan 'Abdullah bin az Zubair, akan tetapi Imam Malik bin Anas berkata kepadanya: “Aku bersumpah, demi Allah, wahai Amirul Mukminin, janganlah engkau menjadikan Ka’bah ini sebagai permainan para raja setelah engkau, sehingga tidaklah seseorang dari mereka yang ingin merubahnya, kecuali dia pun akan merubahnya, dan kemudian hilanglah kewibawaan Ka'bah dari hati kaum Muslimin,” lalu Khalifah Harun ar Rasyid pun menggagalkan rencana tersebut, sehingga Ka’bah masih tetap seperti itu sampai sekarang ini.[24]

10). Pembangunan oleh Sultan Murad IV.

Syaikh Muhammad Thahir al Kurdi mengatakan, yang memotivasi pembangunan oleh Sultan Murad IV, yaitu adanya hujan deras yang turun pada pagi hari Rabu 19 Sya'ban 1039H di Mekkah dan sekitarnya, yang belum pernah terjadi sebelumnya, sehingga menyebabkan air masuk ke dalam Masjid al Haram hingga ketinggian 2 meter dari pegangan pintu Ka'bah. Kemudian, pada 'Ashar keesokan harinya, yaitu hari Kamis, dua sisi tembok bagian asy Syami (sebelah utara) Ka'bah runtuh, dan tertarik juga tembok timur sampai pintu Al Syaami dan tidak sisa kecuali itu dan tiang pintunya. Dari tembok barat tersisa seperenamnya. Dari sisi yang tampak ini, hanya sekitar dua per tiganya saja, serta sebagian atap yang sejajar dengan tembok asy Syami (utara) ikut roboh.

Syaikh Abdullah Al Ghazi Al Hindi Al Makki rahimahullah, seorang pakar sejarah, dia mengatakan dalam kitab tarikhnya, bahwa yang roboh dari sisi asy syami (utara) adalah yang dibangun oleh al Hajjaj ats Tsaqafi. Demikian juga, tangga ke atap Ka'bah ikut runtuh. Pernyataan ini sesuai benar dengan kenyataannya.

Kemudian Sultan Murad IV memerintahkan pembangunan Ka'bah dan dapat diselesaikan pada bulan Ramadhan 1040 H, sesuai dengan bentuk bangunan al Hajjaj ats Tsaqafi. Pembangunan Sultan Murad IV inilah yang terakhir, hingga sekarang ini.[25]

Demikian sejarah pembangunan Ka'bah yang disampaikan para ahli sejarah Islam. Mudah-mudahan dapat menambah pengetahuan dan pengagungan kita terhadap Baitullah, al Haram dan kiblat kaum Muslimin yang agung ini.

Wallahu a'lam.

.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun X/1427H/2006. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]

_________

Footnotes

[1]. Akhbaru Makkah, 1/ 2, dan lihat as Suhailiy dalam Raudhul Unfi, 1/222-223, Ibnu Hajar dalam Fat-hul Bariy, 13/144 serta al Baihaqiy dalam ad Dala-il, 2/44.

[2]. Ad Dala-il, 2/45 dan lihat Fat-hul Bariy, 13/144.

[3]. As Sirah asy Syamiyah, 1/171. Penulisnya berkata,"Telah meriwayatkannya Ibnu Abi Hatim, Ibnu Jarir ath Thabariy secara mauquf, dan al Azraqiy, Abu Syaikh dalam al Adzamah, dan Ibnu Asakir dari Ibnu Abbas." Lihat pula Tafsir Ibnu Katsir, 1/259.

[4]. Akhbaru Makkah, 1/8.

[5]. As Sirah asy Syamiyah, 1/172

[6]. Raudhul-Unfi, 1/221.

[7]. Bidayah wan-Nihayah, 1/178.

[8]. As Sirah an-Nabawiyah fi Dhu'il-Qur'an was-Sunnah, 1/126.

[9]. Makalah al Ka'bah al Musyarafah Awalul-Bait Wadhi'a lin-Nas, Majalah Haji, Edisi 9 dan 10 Tahun 55 Rabiul Awal dan Rabi'u Tsani 1422H, halaman 35.

[10]. Subul-Huda wa Rasyad, 1/172.

[11]. Raudhul-Unfi, 1/222.

[12]. At Tarikhul-Qawim li Makkata wa Baitullah al Karim, Muhammad Thahir al Kurdi, Cetakan Pertama, 1420H, Darul-Khadir, Beirut, 3/18.

[13]. Subul-Huda wa Rasyad, 1/192.

[14]. Ibid, halaman 142.

[15]. Dinukil dari makalah al Ka'bah al Musyarafah Awalul-Bait Wadhi'a lin-Nas, Majalah Haji, Edisi 9 dan 10 Tahun 55 Rabiul Awal dan Rabi'u Tsani 1422H, halaman 35 dan 36.

[16]. Lihat Majalah As Sunnah, Edisi 03/Tahun X/1427H/2006M, Rubrik Sirah.

[17]. Dinukil dari At Tarikhul-Qawim li Makkata wa Baitullah al Karim, 3/40.

[18]. Subul-Huda wa Rasyad, 1/192.

[19]. As Sirah an-Nabawiyah fi Dhu'il-Mashadir, halaman 55.

[20]. Tarikh Makkah 1/64

[21]. Fat-hul Bari, … …

[22]. Raudhul-Unfi, 1/221

[23]. Lihat makalah al Ka'bah al Musyarafah Awalul-Bait Wadhi'a lin-Nas, halaman 37.

[24]. As Sirah an-Nabawiyah fi Dhu'il-Mashadir, halaman 53.

[25]. At Tarikhul-Qawim li Makkata wa Baitullah al Karim, 3/126-127.

*****

Sumber: almanhaj.or.id

.

Subhanakallohumma wa bihamdihi,

Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika

Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamin