Sunday, December 28, 2008

FILE 92 : Tahun Baru, Kapan Itu ???

Bismillahirrohmanirrohim

Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam

Wa ba'du

……

.

SELAMANYA TAHUN BARU

.

Ada rutinitas ritual 365 hari (kadang-kadang 366) sekali pada saat jarum jam mendekati pukul 24.00 di sebagian besar belahan bumi ini. Orang banyak menyebutkannya sebagai tahun baru dan menobatkan tanggal 1 Januari sebagai permulaannya.

Banyak cara untuk merayakan ritual ini. Orang biasa membeli terompet kertas atau plastik untuk kemudian bersiap-siap meniupnya jika jarum jam mendekati pukul 24.00 tanggal 31 Desember tahun lama -yang konon juga berarti pukul 00.00 tanggal 1 Januari tahun baru. Orang sangat beragam dalam cara dan acara perayaannya. Yang berjiwa bisnis memanfaatkan momen ini dengan menjual terompet tersebut. Yang berjiwa bisnis lebih serakah biasanya menggelar acara-acara khusus menyambut tahun baru di hotel, klub malam, atau cuma sekedar dipertontonkan kepada pemirsa layar kaca. Yang sekedar senang hura-hura cukup buat acara sendiri dengan sesama teman, atau anak dan istri.

Relativitas Tahun Baru

Apa artinya tahun baru? Secara mudah, perayaan tahun baru adalah perayaan habisnya 1 periode tahun yang lalu dan datangnya periode tahun yang setelahnya. Jadi, hari ini bisa tahun baru, besok juga bisa tahun baru, bahkan sebulan yang lalu bisa juga tahun baru. Hal ini disebabkan karena I periode tahun bagi suatau komunitas -entah yang berdasarkan etnis atau kepercayaan tertentu- bisa berbeda dengan komunitas yang lain, baik dalam hal durasi I tahun ataupun kapan mulainya. Dan perbedaan ini sah-sah saja.

Hanya saja, yang beruntung di dunia internasional atau di planet bumi ini adalah Julius Cesar. Kalender buatannyalah yang kita tahu sejak kita sekolah di Taman Kanak-Kanak. Dan perayaan tahun baru yang dirayakan adalah tahun baru untuk penanggalan yang ia buat.

Kalender made in Julius Cesar merupakan kalender yang dibuat berdasarkan perputaran bumi bumi menggelilingi matahari. Konon kalender ini dihitung sejak hari Kristus lahir. Walaupun Kristus dipercayai oleh umat Nasrani lahir pada tanggal 25 Desember, tapi mereka baru merayakan tahun baru 6 hari setelahnya. Wallahu a’lam, mengapa jadi seperti ini.

Namanya buatan manusia, kalender ini pernah keliru juga. Gara-gara tidak memperhitungkan seperempat hari terakhir dari waktu keliling bumi terhadap matahari, kalender Julius Cesar pernah mengalami ‘pemotongan’ beberapa hari pada zaman Paus Gregorius. Duniapun kalang kabut. Bayangkan saja jika Anda berjanji untuk rapat antar pemegang saham pada, misalnya 12 Februari, dan tiba-tiba intruksi ‘suci’ dari Vatikan menghapus hal tersebut, dan tahu-tahu esok hari sudah 27 Februari.

Orang Cina tidak begitu beruntung dengan penanggalannya, tapi kalender mereka masih dipegang teguh di Cina daratan maupun kepulauan. Bahkan yang sudah imigrasi ke kepulauan Indonesia pun masih sering memakainya. Coba lihat beberapa cetakan kalender di negeri kita ini. Setelah reformasi, mereka pun mendapat angin segar untuk merayakan Imlek secara lebih terbuka. Berbeda dengan kalender Masehi yang baru 2007, orang Cina sudah merayakan pergantian millennium III-nya beberapa ratus tahun lebih awal daripada pengguna kalender Masehi.

Kaum muslimin masih bisa berbangga dengan penanggalan Hijriyah yang ditetapkan oleh Umar bin Khattab. Kalender ini dihitung sejak hari Rasulullah hijrah dari Makkah ke Madinah. Karena Nabi Muhammad adalah nabi yang diutus setelah Nabi Isa, wajar saja jika kalender Hijriyah lebih muda sekitar 580 tahun daripada kalender Masehi.

Berbeda dengan kalender lain yang perhitungan tiap bulannya pasti, tidak begitu dengan kalender muslim. Penentuan awal bulan dilakukan dengan melihat hilal pada akhir hari ke-29. Jika hilal terlihat, besok berarti tanggal I bulan baru. Jika tidak, besok masih merupakan hari ke-30. bahkan mendung yang menutup hilal pun bisa jadi penyebab ditetapkannya hari ke-30.

Sebagian kaum muslim berusaha ‘memastikan’ durasi tiap bulan dengan ilmu hisab dan falak. Tapi ini tidak bisa jadi patokan karena menyelisihi sunnah Rasulullah. Selain itu, perhitungan dengan hisab malah menimbulkan kebingungan kaum muslim negeri ini. Mending kita patuh kepada ulil amri yang walaupun kadang memakai hisab, tapi masih menghargai sunnah Nabi untuk kepastiannya.

Orang Jawa lain lagi, dalam masalah hitungan jumlah hari pun mereka sudah berbeda. Jika orang Nasrani masih bisa kompromi dengan kaum muslim dalam hal jumlah hari, tidak demikian dengan orang Jawa. Orang Jawa cukup beraktivitas dalam 5 hari dan tidak tujuh hari sebagaimana penanggalan lainnya. Memang aneh, tapi ini cukup bermanfaat bagi takmir masjid yang membuat jadwal khatib Jum’at di masjid-masjid pulau Jawa. Jika mereka menjadwal khatib berdasarkan Jum’at I, II, III dan IV, maka kadang-kadang khatib pada Jum’at IV bisa tidak kebagian jatah karena bulan Februari mungkin cukup tiga minggu saja. Sebaliknya, jika ada Jum’at V, pihak takmir masjid kebingungan mencari khatib baru. Alih-alih dengan sistem di atas, sistem Jum’at Pon, Jum’at Wage, dan seterusnya tidak menimbulkan kekacauan di atas.

Dari empat komunitas di atas saja sudah cukup berbeda durasi tahun dan starting point tahunnya. Tak menutup kemungkinan penduduk asli Timbuktu, orang Eskimo, suku Mohican dan Indian Maya atau Aztec punya tahun sendiri-sendiri yang sangat berbeda dengan apa yang telah kita ketahui.

Sekedar Jadi Bebek

Lalu jika tahun baru bisa berbeda-beda, mengapa kita begitu hingar bingar merayakan tahun baru?

Inilah hasil hegemoni barat. Dari situ tampak ketidakpercayaan diri kaum muslim untuk bangga menggunakan kalender Hijriyahnya.

Mungkin ada yang berpendapat bahwa kalender Hijriyah sulit digunakan. Misalnya saja, untuk penjadwalan rapat perusahaan dan perencanaan kurikulum beberapa bulan ke depan akan sulit jika untuk bulan ini saja kita tidak tahu akan terdapat 29 hari atau 30 hari. Tapi keyantaannya, Kerajaan Arab Saudi, yang tentunya membutuhkan rapat kementerian dan penyusunan kurikulum sekolah, bisa berjalan dengan penanggalan berdasarkan Sunnah Nabi. Mungkin kita perlu membuka hubungan lebih dalam ke Negara-negara muslim daripada membebek ke negara kuffar.

Kalau pun alasan penggunaan kalender Masehi demi kemudahan bisa dibenarkan, toh kita bisa mengatasi penggunaannya sekedar untuk alasan-alasan di atas. Dan itu berarti, tak perlu merayakannya dengan hingar bingar.

Ikut merayakan tahun baru Masehi hanya akan menambah daftar masalah kita di akhirat nanti. Pertama, hal tersebut berarti tasyabbuh, meniru-niru kaum kafir, sedangkan kita dilarang dengan keras oleh Rasulullah terhadap hal itu. Sabda beliau, “Barangsiapa yang meniru-niru suatu kaum maka ia termasuk kaum tersebut.” (HR. Abu Dawud)

Kebanyakan perayaan tahun baru juga merupakan hura-hura. Alangkah baiknya jika harta yang dihamburkan hanya untuk kesenangan itu digunakan untuk membantu orang yang tak punya, sehingga bisa jadi tabungan kita di akhirat nanti. Lebih-lebih lagi, orang yang mubadzir sudah dinyatakan Allah sebagai saudara setan, “Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Rabbnya.”(Al-Isra’:27)

Ritual Kontemplasi

Sebagian aktivis muslim menanggapi tahun baru Masehi dengan acara yang menurut mereka lebih sejuk. Yaitu dengan menggelar muhasabah tahunan pada malam tahun baru. Rame-rame mereka merenungi apa yang telah dilakukan pada hari-hari kemarin dan apa yang musti direncanakan tahun depan.

Boleh-boleh saja kita melakukan muhasabah, bahkan hal itu dianjurkan. Umar bin Khattab pernah berkata, “Hisablah diri kalian sebelum dihisab. Timbanglah diri kalian sebelum kalian ditimbang dan berhiaslah untuk menghadapi hari penampakan yang agung.” Walaupun konteks muhasabah dianjurkan untuk menghisab persiapan di akhirat, tak mengapalah muhasabah dilakukan untuk melihat amalan setahun lalu. Toh, hakikatnya tetaplah menghitung amalan untuk bekal ke akhirat nanti.

Walaupun muhasabah dianjurkan, kegiatan berbentuk seperti di atas perlu dikritisi. Karena mengkhususkan dan merutinkan muhasabah setiap pergantian tahun Masehi dengan rame-rame memerlukan dalil khusus. Jangan-jangan perbuatan ini merupakan amalan baru yang tidak ada contohnya dari Rasulullah. Jelas bukan kebaikan jika maksiat dilawan dengan bid’ah.

Yang terbaik adalah yang melakukan muhasabah setiap waktu, setiap ia merasa telah melakukan kesalahan sekecil apapun dan setiap kali ia telah selesai melakukan amal kebajikan. Tak perlu menunggu satu tahun, apalagi menunggu adanya acara muhasabah tahunan.

Setiap Hari adalah ‘Tahun Baru’

Jika masalahnya ‘hanya sekedar’ muhasabah, ingat pentingnya waktu, sejak dulu Islam seudah memperingatkan hal itu. Allah sendiri bersumpah dengan waktu, dan jika Allah bersumpah dengan sesuatu berarti sesuatu tersebut mempunyai nilai yang sangat penting. Orang Arab sendiri berkata, “Waktu adalah pedang.” Artinya jika kita tidak hati-hati menggunakan waktu, kita sendiri yang akan binasa.

Hal ini karena karakteristik waktu itu sendiri. Yang pertama adalah cepat berlalu, sehingga seakan kita baru beraktivitas sebentar di pagi hari, ternyata kita sudah menemui sore hari. Hal ini dinyatakan sendiri oleh Allah dalam firman-Nya yang artinya, “Pada hari mereka melihat hari berbagkit itu, mereka merasa seakan-akan tidak tinggal (di dunia) melainkan (sebentar saja seperti di suatu waktu) di waktu sore atau pagi hari.” (An-Naziat:46)

Kedua, waktu mustahil kembali. Sebagaimana kata Hasan Al basri, “Tiada hari tanpa menyeru, “Hai, anak Adam, aku adalah mahluk baru, dan aku menjadi saksi terhadap amalmu. Maka berbekallah denganku, sebab jika aku sudah lewat, tak mungkin bisa kembali sampai hari kiamat.”

Ketiga, waktu itulah kehidupan yang sebenarnya. Masih kata Hasan Al-Basri, “Hai anak Adam, sesungguhnya hidup kamu adalah himpunan hari-hari. Setiap hari milikmu itu pergi, berarti pergilah sebagian darimu.”

Tidak ragu lagi, setiap hari adalah modal keselamatan setiap anak manusia. Tak bijak jika dilewatkan dengan hura-hura. Kata lainnya, setiap hari harus dipersiapkan dengan baik. Setiap hari butuh semangat baru untuk hidup baru yang lebih baik. Setiap hari yang berlalu harus dihisab setiap hari. Untuk kemudian memperbaiki kesalahan hari ini agar hari esok lebih baik. Tak perlu menunggu tahun baru.

Sumber : Majalah Nikah edisi 10/I/2002, hal. 20-22

*****
.

PERAYAAN TAHUN BARU ITU SYIAR KAUM KUFFÂR

Oleh : Muhammad Abū Salmâ

.

“Tet Tet Tet”, saya mendengar bising suara anak-anak kecil meniup terompet. Bising sekali. Di pinggiran jalan, berjejer panjang para penjual terompet dengan berbagai aksesorisnya mengais rezeki. Saya teringat, oh ya… beberapa hari lagi akan masuk pergantian tahun. Subhânallôh, di mana-mana masyarakat tampaknya sedang sibuk mempersiapkan perayaan tahun baru. Mulai dari spanduk, baleho, umbul-umbul, aksesoris dan lainnya. Di perempatan lampu merah, mata saya tertarik dengan sebuah spanduk bertuliskan, ”Muhasabah Akhir Tahun & Istighotsah” bersama ”Gus…”.

Mungkin, penyelenggara acara tersebut berfikir, daripada kaum muslimin berhura-hura pada saat pergantian akhir tahun, lebih baik membuat acara yang Islâmî sebagai alternatif daripada acara hura-hura. Tapi, apa benar bahwa perayaan Tahun baru itu merupakan syiarnya kaum kuffâr?!! Masak hanya merayakan perayaan dan peringatan seperti ini saja dikatakan syiarnya kaum kuffâr?!! Mungkin, demikian pertanyaan yang muncul dari benar para pembaca.

Iya, peringatan tahun baru (New Year Anniversary) itu merupakan syiar kaum kuffâr. Karena, tidaklah peringatan ini dirayakan, melainkan ia satu paket dengan peringatan natal (christmas). Kita sering lihat dan mendengar, bahwa tahni`ah (ucapan selamat) kaum Nasrani adalah : “Merry Christmas and Happy New Year”, “Selamat Natal dan Tahun Baru”. Namun, tunggu dulu. Tidak itu saja… Ternyata kaum pagan Persia yang beragama Majūsî (penyembah api), menjadikan tanggal 1 Januari sebagai hari raya mereka yang dikenal dengan hari Nairuz atau Nurus.

Penyebab mereka menjadikan hari tersebut sebagai hari raya adalah, ketika Raja mereka, ‘Tumarat’ wafat, ia digantikan oleh seorang yang bernama ‘Jamsyad’, yang ketika dia naik tahta ia merubah namanya menjadi ‘Nairuz’ pada awal tahun. ‘Nairuz’ sendiri berarti tahun baru. Kaum Majūsî juga meyakini, bahwa pada tahun baru itulah, Tuhan menciptakan cahaya sehingga memiliki kedudukan tinggi.

Kisah perayaan mereka ini direkam dan diceritakan oleh al-Imâm an-Nawawî dalam buku Nihâyatul ‘Arob dan al-Muqrizî dalam al-Khuthoth wats Tsâr. Di dalam perayaan itu, kaum Majūsî menyalakan api dan mengagungkannya –karena mereka adalah penyembah api. Kemudian orang-orang berkumpul di jalan-jalan, halaman dan pantai, mereka bercampur baur antara lelaki dan wanita, saling mengguyur sesama mereka dengan air dan khomr (minuman keras). Mereka berteriak-teriak dan menari-nari sepanjang malam. Orang-orang yang tidak turut serta merayakan hari Nairuz ini, mereka siram dengan air bercampur kotoran. Semuanya dirayakan dengan kefasikan dan kerusakan.

Kemudian, sebagian kaum muslimin yang lemah iman dan ilmunya tidak mau kalah. Mereka bagaikan kaum Nabî Mūsâ dari Banî Isrâ`il yang setelah Allôh selamatkan dari pasukan Fir’aun dan berhasil melewati samudera yang terbelah, mereka berkata kepada Mūsâ ‘alaihis Salâm untuk membuatkan âlihah (sesembahan-sesembahan) selain Allôh, sehingga Mūsâ menjadi murka kepada mereka. Sebagian kaum muslimin di zaman ini turut merayakan perayaan tahun baru Masehi ini. Bahkan sebagian lagi, supaya tampak Islâmî merubah perayaan ini pada tahun baru Hijriah.

Al-Muqrizî di dalam Khuthath-nya (I/490) menceritakan bahwa yang pertama kali mengadakan peringatan tahun baru Hijriah ini adalah para pendukung bid’ah dari penguasa zindîq, Daulah ‘Ubaidiyah Fâthimîyah di Mesir, daulah Syi`ah yang mencabik-cabik kekuasaan daulah ‘Abbâsiyah dengan pengkhianatan dan kelicikan. Dan sampai sekarang pun, anak cucu mereka masih gemar merayakan perayaan-perayaan bid’ah yang tidak pernah Allôh dan Rasūl-Nya tuntunkan.

Pesta tahun baru sendiri, merupakan syiarnya kaum Yahūdî yang dijelaskan di dalam taurat mereka, yang mereka sebut dengan awal Hisya atau pesta awal bulan, yaitu hari pertama tasyrîn, yang mereka anggap sama dengan hari raya ‘Idul Adhhâ-nya kaum muslimin. Mereka mengklaim bahwa pada hari itu, Allôh memerintahkan Ibrâhîm untuk menyembelih Ishâq ‘alaihis Salâm yang lalu ditebus dengan seekor kambing yang gemuk.

Sungguh ini adalah sebuah kedustaan yang besar yang diada-adakan oleh Yahūdî. Karena sebenarnya yang diperintahkan oleh Allôh untuk disembelih adalah Ismâ’îl bukan Ishâq ‘alaihimâs Salâm. Karena sejarah mencatat bahwa Ismâ’îl adalah lebih tua daripada Ishâq dan usia Ibrâhîm pada saat itu adalah 99 tahun. Mereka melakukan tahrîf (penyelewengan fakta) semisal ini disebabkan oleh kedengkian mereka. Karena mereka tahu bahwa Ismâ’îl adalah nenek moyang orang ‘Arab sedangkan Ishâq adalah nenek moyang mereka.

Kemudian datanglah kaum Nasrani mengikuti jejak orang-orang Yahūdî. Mereka berkumpul pada malam awal tahun Mîlâdîyah. Dalam perayaan ini mereka melakukan do`a dan upacara khusus dan begadang hingga tengah malam. Mereka habiskan malam mereka dengan menyanyi-nyanyi, menari-nari, makan-makan dan minum-minum sampai menjelang detik-detik akhir pukul 12 malam. Lampu-lampu dimatikan dan setiap orang memeluk orang yang ada di sampingnya, sekitar 5 menit. Semuanya sudah diatur, bahwa disamping pria haruslah wanita. Kadang-kadang mereka saling tidak mengenal dan setiap orang sudah tahu bahwa orang lain akan memeluknya ketika lampu dipadamkan. Mereka memadamkan lampu itu bukannya untuk menutupi aib, namun untuk menggambarkan akhir tahun mulainya tahun baru.

Kini, perayaan ini telah menjadi suatu trend mark tersendiri. Muda, tua, pria, wanita, anak-anak, dewasa, muslim, kâfir, semuanya berkumpul untuk merayakan tahun baru. Segala bentuk acara untuk menyambut perayaan ini bermacam-macam. Ada yang sarat dengan kesyirikan, ada lagi yang sarat dengan kemaksiatan dan kefasikan, dan ada lagi yang sarat dengan kebid’ahan, dan ada pula yang sarat dengan kesemua itu.

Yang sarat dengan kesyirikan seperti, upacara penyambutan tahun baru yang kental diwarnai dengan klenik, perdukunan dan ilmu sihir. Segala paranormal berkumpul dan memberikan ramalan tentang awal tahun, baik dan buruknya. Sebagian lagi ada yang nyepi ke gunung-gunung atau tempat keramat untuk mencari ‘wangsit’ alias ilham dari setan.

Ada lagi yang sarat dengan kemaksiatan dan kefasikan. Dan ini sangat banyak sekali dan mendominasi. Mulai dari pentas musik akhir tahun yang menghadirkan wanita-wanita telanjang tidak punya malu yang bergoyang-goyang dan menari-nari merusak moral, sampai acara minum-minuman keras, narkoba dan seks bebas.

Ada lagi yang mengisi kegiatan ini dengan bid’ah-bid’ah yang tidak pernah dituntunkan oleh Rasūlullâh dan tidak pula dikerjakan oleh generasi terbaik, para sahabat dan as-Salaf ash-Shâlih. Mereka melakukan sholât malam (Qiyâmul Layl) berjama’ah khusus pada malam tahun baru saja dan disertai niat pengkhususannya. Ada lagi yang melakukan Muhâsabah atau renungan suci akhir tahun, dengan membaca ayat-ayat al-Qur`ân sambil menangis-nangis. Ada lagi yang berdzikir berjamâ’ah bahkan sampai istighôtsah kubrô. Dan segala bentuk bid’ah-bid’ah lainnya.

Dalîl-Dalîl Pengharamannya

Banyak dalîl-dalîl yang menjelaskan keharaman perayaan-perayaan yang merupakan syiar kaum kuffâr ini. Semuanya kembali kepada haramnya tasyabbuh ’alal Kuffâr (meniru kaum kuffâr) dan mengerjakan amalan yang tidak dituntunkan oleh Rasūlullâh dan para sahabatnya (bid’ah).

Syaikhul Islâm Ibnu Taimîyah rahimahullâh menulis sebuah kitâb khusus dan lengkap tentang larangan menyerupai kaum kuffâr, terutama yang berkaitan dengan hari-hari raya dan ritual ibadah mereka yang berjudul Iqtidhâ` ash-Shirâthal Mustaqîm li Mukhâlafati Ashhâbil Jahîm. Beliau menyebutkan dan memaparkan dalîl-dalîlnya dari al-Qur`ân lebih dari 30 ayat dan lebih dari 100 hadîts berserta wajhu dilâlah (sisi pendalilannya), termasuk juga ijma’ ulama, âtsâr dan i’tibâr-nya. Sampai-sampai al-Mufti, al-’Allâmah Muhammad bin Ibrâhîm Âlu Syaikh memujinya dan mengatakan, ”Betapa berharganya kitâb ini dan betapa besar faidahnya.” (Fatâwa wa Rosâ`il III/109).

Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyyah rahimahullâh berkata :

موافقة الكفار في أعيادهم لا تجوز من طريقين: الدليل العام، والأدلة الخاصة: أما الدليل العام: أن هذا موافقة لأهل الكتاب فيما ليس من ديننا، ولا عادة سلفنا، فيكون فيه مفسدة موافقتهم، وفي تركه مصلحة مخالفتهم، لما في مخالفتهم من المصلحة لنا، لقوله - صلى الله عليه وسلم -: (من تشبه بقوم فهو منهم) فإن موجب هذا تحريم التشبه بهم مطلقاً، وكذلك قوله (خالفوا المشركين) وأعيادهم من جنس أعمالهم التي هي دينهم أو شعار دينهم، الباطل.وأما الأدلة الخاصة في نفس أعياد الكفار، فالكتاب والسنة والإجماع والاعتبار دالة على تحريم موافقة الكفار في أعيادهم.

”Menyepakati kaum kuffâr di dalam perayaan-perayaan mereka tidak boleh hukumnya dengan dua argumentasi dalil, yaitu dalil umum dan dalil khusus. Dalil umumnya adalah, bahwa menyepakati ahli kitâb di dalam perkara yang tidak berasal dari agama kita dan tidak pula berasal dari kebiasaan salaf kita, maka di dalamnya terdapat kerusakan menyepakati mereka dan meninggalkannya terdapat maslahat menyelisihi mereka. Menyelisihi mereka ada maslahatnya bagi kita, sebagaimana sabda Nabî Shallâllâhu ’alaihi wa sallam : ”Barangsiapa menyerupai suatu kaum maka ia termasuk golongan mereka.” Hadîts ini berkonsekuensi akan haramnya menyerupai kaum kuffâr secara mutlak. Demikian pula sabda Nabî, ”Selisihilah kaum musyrikîn”, sedangkan hari raya mereka termasuk jenis amal perbuatan berupa agama atau syiar agama mereka yang bâthil. Adapun dalîl-dalîl khusus tentang (haramnya menyepakati) perayaan kaum kuffâr ada di dalam al-Kitâb, as-Sunnah, al-Ijmâ’ dan al-I’tibar yang menunjukkan atas haramnya menyepakati kaum kuffâr di dalam berbagai perayaan mereka.” [Iqtidhâ` ash-Shirâthal Mustaqîm].

Dikarenakan banyaknya dalîl yang diuraikan oleh Syaikhul Islâm, maka saya akan meringkaskannya dan mencuplik sebagian saja. Berikut ini diantara dalîl-dalîl khusus akan haramnya menyepakati kaum kuffâr di dalam perayaan mereka :

Allôh Azza wa Jalla berfirman

وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا

Dan orang-orang yang tidak menyaksikan kepalsuan, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.” (QS al-Furqân : 72)

{ لا يَشْهَدُونَ الزُّورَ } وقال أبو العالية، وطاوس، ومحمد بن سيرين، والضحاك، والربيع بن أنس، وغيرهم: هي أعياد المشركين

Abūl ’Âliyah, Thôwus, Muhammad bin Sîrîn, adh-Dhohhâk, Rabî’ bin Anas dan selain mereka, mengatakan bahwa maksud Lâ yasyhadūna biz Zūr adalah (tidak menghadiri) perayaan kaum musyrikîn. [Lihat : Tafsîr Ibnu Katsîr VI/130; lihat pula Iqtidhâ` I/80]

وفي رواية عن ابن عباس – رضي الله عنهما - : أنه أعياد المشركين . وقال عكرمة – رحمه الله - : (لعب كان في الجاهلية يسمى بالزور )

Menurut riwayat Ibnu ’Abbâs radhiyallâhu ’anhumâ bahwa yang dimaksud (az-Zūr) adalah perayaan kaum musyrikin. ’Ikrimah rahimahullâhu berkata : ”Permainan di masa jahiliyah disebut dengan az-Zūr.” [Lihat : al-Jâmi` li Ahkâmil Qur`ân karya Imâm al-Qurthubî XIII/79/80].

Di dalam ayat di atas, Allôh menyatakan Lâ Yasyhadūna az-Zūr (tidak menyaksikan kepalsuan) bukan Lâ Yasyhadūna biz Zūr (tidak memberikan kesaksian palsu), hal ini menguatkan tafsîr para imâm dan ulama di atas. Oleh karena itulah Syaikhul Islâm menguatkan makna tafsîr di atas, beliau rahimahullâh berkata :

والعرب تقول : (شهدت كذا : إذا حضرته) . كقول ابن عباس – رضي الله عنهما- : (( شهدت العيد مع رسول الله صلى الله عليه وسلم ))

”Orang ’Arab mengatakan : Syahidtu kadzâ (aku menyaksikan begini) maksudnya bila aku menghadirinya. Sebagaimana perkataan Ibnu ’Abbâs radhiyallâhu ’anhu : ”Saya menghadiri ’îd bersama Rasūlullâh Shallâllâhu ’alaihi wa Sallam.” [Lihat Iqtidhâ` I/429].

Dan masih banyak ayat-ayat al-Qur`ân lainnya.

Adapun hadîts-hadîts yang melarang menyepakati perayaan kaum kuffâr banyak sekali. Diantaranya adalah :

عن أنس بن مالك - رضي الله عنه – قال: قدم رسول الله - صلى الله عليه وسلم – المدينة، ولهم يومان يلعبون فيهما، فقال: ما هذان اليومان، قالوا: كنا نلعب فيهما في الجاهلية. فقال رسول الله - صلى الله عليه وسلم –: (إن الله قد أبدلكم بهما خيراً منهما، يوم الأضحى، ويوم الفطر)

Dari Anas bin Mâlik radhiyallâhu ’anhu beliau berkata : Rasūlullâh Shallâllâhu ’alahi wa Sallam tiba di Madînah dan mereka memiliki dua hari yang mereka bermain-main di dalamnya. Lantas beliau bertanya, ”dua hari apa ini?”. Mereka menjawab, ”Hari dahulu kami bermain-main di masa jahiliyah.” Rasūlullâh Shallâllâhu ’alaihi wa Sallam mengatakan : ”Sesungguhnya Allôh telah menggantikan kedua hari itu dengan dua hari yang lebih baik bagi kalian, yaitu hari idul adhhâ dan idul fithri.” [Shahîh riwayat Imâm Ahmad, Abū Dâwud, an-Nasâ`î dan al-Hâkim.]

Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyah rahimahullâhu berkata :

فوجه الدلالة أن اليومين الجاهليين لم يقرهما رسول الله - صلى الله عليه وسلم - ولا تركهم يلعبون فيهما على العادة، بل قال إن الله قد أبدلكم بهما يومين آخرين، والإبدال من الشيء يقتضي ترك المبدل منه، إذ لا يجمع بين البدل والمبدل منه.

”Sisi pendalilan hadîts di atas adalah, bahwa dua hari raya jahiliyah tersebut tidak disetujui oleh Rasūlullâh Shallâllâhu ’alaihi wa Sallam dan Rasūlullâh tidak meninggalkan (memperbolehkan) mereka bermain-main di dalamnya sebagaimana biasanya. Namun beliau menyatakan bahwa sesungguhnya Allôh telah mengganti kedua hari itu dengan dua hari raya lainnya. Penggantian suatu hal mengharuskan untuk meninggalkan sesuatu yang diganti, karena suatu yang mengganti dan yang diganti tidak akan bisa bersatu.”

Banyak sekali hadîts yang memerintahkan kita untuk menyelisihi kaum kuffâr, misalnya kita disuruh untuk menyemir rambut dalam rangka menyelisihi Yahūdi dan Nashrâni, Rasūlullâh Shallâllâhu ’alaihi wa Sallam bersabda :

إنَّ اليهود والنصارى لا يصبغون فخالفوهم

Sesungguhnya orang Yahūdi dan Nashrâni tidak menyemir rambut mereka, maka selisihilah mereka.” [Muttafaq ’alaihi]

Kita juga diperintahkan untuk memelihara jenggot dan memotong kumis, diantara hikmahnya adalah untuk menyelisihi kaum musyrikin. Rasūlullâh Shallâllâhu ’alaihi wa Sallam bersabda :

خالفوا المشركين أحفوا الشوارب وأوفوا اللحى

Selisihilah orang musyrikin, potonglah kumis dan biarkan jenggot kalian.” [HR Muslim].

جزوا الشوارب، وأرخوا اللحى، وخالفوا المجوس

Guntinglah kumis, panjangkan jenggot dan selisihilah orang Majūsî.” [HR Muslim].

Kita pun disyariatkan sholât dengan sandal dan khūf (alas kaki/sepatu) untuk menyelisihi orang Yahūdi. Rasūlullâh Shallâllâhu ’alaihi wa Sallam bersabda :

خالفوا اليهود فإنهم لا يصلون في نعالهم ولا خفافهم

Selisihilah Yahūdi karena mereka tidak sholât dengan sandal dan sepatu mereka.” [HR Abū Dâwud].

Dianjurkannya bersahur pun, diantara hikmahnya adalah juga untuk menyelisihi Ahli Kitâb. Rasūlullâh Shallâllâhu ’alaihi wa Sallam bersabda :

فصل ما بين صيامنا وصيام أهل الكتاب أكلة السحر

Yang membedakan puasa kita dengan puasa ahli kitâb adalah, makan sahūr.” [HR Muslim].

Demikian pula dengan menyegerakan berbuka, juga dianjurkan untuk menyelisihi ahli Kitâb :

لا يزال الدين ظاهراً ما عجل الناس الفطر ؛ لأن اليهود والنصارى يؤخرون

Agama ini akan senantiasa menang selama manusia menyegerakan berbuka, karena orang Yahūdi dan Nashrâni mengakhirkannya.” [HR Abū Dâwud].

Dan masih banyak lagi hadits-hadits lainnya.

Sisi pendalilan hadits-hadits di atas adalah, apabila dalam masalah penampilan saja, seperti menyemir rambut dan memelihara jenggot kita diperintahkan untuk menyelisihi kaum kuffâr, maka tentu saja dalam hal perayaan yang bersifat bagian dari ritual dan syiar keagamaan mereka lebih utama dan lebih wajib untuk diselisihi.

Adapun âtsar sahabat dan ulama salaf dalam masalah ini, sangatlah banyak. Diantaranya adalah ucapan ’Umar radhiyallâhu ’anhu, beliau berkata :

اجتنبوا أعداء الله في عيدهم

Jauhilah hari-hari perayaan musuh-musuh Allôh.” [Sunan al-Baihaqî IX/234].

’Abdullâh bin ’Amr radhiyallâhu ’anhumâ berkata :

من بنى ببلاد الأعاجم وصنع نيروزهم ومهرجانهم ، وتشبه بهم حتى يموت وهو كذلك حُشِر معهم يوم القيامة

”Barangsiapa yang membangun negeri orang-orang kâfir, meramaikan peringatan hari raya nairuz (tahun baru) dan karnaval mereka serta menyerupai mereka sampai meninggal dunia dalam keadaan demikian. Ia akan dibangkitkan bersama mereka di hari kiamat.” [Sunan al-Baihaqî IX/234].

Imâm Muhammad bin Sîrîn berkata :

: أُتي على -رضي الله عنه- بهدية النيروز. فقال : ما هذا ؟ قالوا : يا أمير المؤمنين هذا يوم النيروز . قال : فاصنعوا كل يوم فيروزاً . قال أسامة : كره أن يقول : نيروز

’’Alî radhiyallâhu ’anhu diberi hadiah peringatan Nairuz (Tahun Baru), lantas beliau berkata : ”apa ini?”. Mereka menjawab, ”wahai Amîrul Mu’minîn, sekarang adalah hari raya Nairuz.” ’Alî menjawab, ”Jadikanlah setiap hari kalian Fairuz.” Usâmah berkata : Beliau (’Alî mengatakan Fairuz karena) membenci mengatakan ”Nairuz”. [Sunan al-Baihaqî IX/234].

Imâm Baihaqî memberikan komentar :

وفي هذا الكراهة لتخصيص يوم بذلك لم يجعله الشرع مخصوصاً به

Ucapan (’Alî) ini menunjukkan bahwa beliau membenci mengkhususkan hari itu sebagai hari raya karena tidak ada syariat yang mengkhususkannya.

Apabila demikian ini sikap manusia-manusia terbaik, lantas mengapa kita lebih menerima pendapat dan ucapan orang-orang yang jâhil dan mengikuti budaya kaum kuffâr daripada ucapan para sahabat yang mulia ini.

Hari Raya Kita Adalah Idul Fithri dan Idul Adhhâ serta Jum’at

Di dalam hadîts yang diriwayatkan oleh Ummul Mu’minîn, ’Â`isyah ash-Shiddîqah binti ash-Shiddîq radhiyallâhu ’anhumâ, beliau menceritakan bahwa ayahanda beliau, Abū Bakr radhiyallâhu ’anhu mengunjungi Rasūlullâh. Kemudian Abū Bakr mendengar dua gadis jâriyah menyanyi dan mengingkarinya. Mendengar hal ini, Rasūlullâh Shallâllâhu ’alaihi wa Sallam bersabda :

يا أبا بكر ! إن لكل قوم عيداً وإن عيدنا هذا اليوم

Wahai Abū Bakr, sesungguhnya setiap kaum itu mempunyai hari raya dan hari raya kita adalah pada hari ini.” [HR Bukhârî].

Dari hadîts di atas, ada dua hal yang bisa kita petik :

Pertama, sabda Rasūlullâh Shallâllâhu ’alaihi wa Sallam : ”Sesungguhnya setiap kaum itu mempunyai hari raya” menunjukkan bahwa setiap kaum itu memiliki hari raya sendiri-sendiri. Hal ini sebagaimana firman Allôh Ta’âlâ :

لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجاً

Untuk tiap-tiap (ummat) diantara kalian ada aturan dan jalannya yang terang (tersendiri).” [QS al-Mâ`idah : 48].

Ayat di atas menunjukkan bahwa Allôh memberikan aturan dan jalan sendiri-sendiri secara khusus. Kata Lâm (لِ) pada kata Likullin (لِكُلٍّ) menunjukkan makna ikhtishâsh (pengkhususan). Apabila orang Yahūdi memiliki hari raya dan orang Nashrâni juga memiliki hari raya, maka hari-hari raya itu adalah khusus bagi mereka dan tidak boleh bagi kita, kaum muslimin, ikut turut serta dalam perayaan mereka, sebagaimana kita tidak boleh ikut dalam aturan dan jalan mereka.

Kedua, sabda Rasūlullâh Shallâllâhu ’alaihi wa Sallam : وإن عيدنا هذا اليوم (Dan hari raya kita adalah pada hari ini”), dalam bentuk ma’rifah (definitif) dengan lâm dan idhâfah menunjukkan hasyr (pembatasan), yaitu bahwa jenis hari raya kita dibatasi hanya pada hari itu. Dan hari tersebut di sini masuk pada cakupan hari raya ’îdul Fithri dan ’îdul Adhhâ, seperti dalam perkataan para ulama fikih :

لا يجوز صوم يوم العيد

Tidak boleh berpuasa pada hari raya”.

Maka maksudnya tentu saja, tidak boleh berpuasa pada dua hari raya ’Idul Fithri dan ’Idul Adhhâ.

Dalîl lainnya adalah hadîts Anas bin Mâlik :

عن أنس بن مالك - رضي الله عنه – قال: قدم رسول الله - صلى الله عليه وسلم – المدينة، ولهم يومان يلعبون فيهما، فقال: ما هذان اليومان، قالوا: كنا نلعب فيهما في الجاهلية. فقال رسول الله - صلى الله عليه وسلم –: (إن الله قد أبدلكم بهما خيراً منهما، يوم الأضحى، ويوم الفطر)

Dari Anas bin Mâlik radhiyallâhu ’anhu beliau berkata : Rasūlullâh Shallâllâhu ’alahi wa Sallam tiba di Madînah dan mereka memiliki dua hari yang mereka bermain-main di dalamnya. Lantas beliau bertanya, ”dua hari apa ini?”. Mereka menjawab, ”Hari dahulu kami bermain-main di masa jahiliyah.” Rasūlullâh Shallâllâhu ’alaihi wa Sallam mengatakan : ”Sesungguhnya Allôh telah menggantikan kedua hari itu dengan dua hari yang lebih baik bagi kalian, yaitu hari idul adhhâ dan idul fithri.” [Shahîh riwayat Imâm Ahmad, Abū Dâwud, an-Nasâ`î dan al-Hâkim.]

Adapun Jum’at, maka termasuk hari raya kaum muslimin yang berulang-ulang dalam tiap pekannya. Sehingga dengannya telah cukup bagi kita dan tidak mencari hari-hari perayaan lainnya. Dalîl hal ini adalah, sabda Nabî yang mulia Shallâllâhu ’alahi wa Sallam :

أضل الله عن الجمعة من كان قبلنا ، فكان لليهود يوم السبت، وكان للنصارى يوم الأحد فجاء الله بنا، فهدانا الله ليوم الجمعة، فجعل الجمعة والسبت والأحد ، وكذلك هم تبع لنا يوم القيامة، نحن الآخرون من أهل الدنيا ، والأولون يوم القيامة، المقتضيلهم

Alloh simpangkan dari hari Jum’at umat sebelum kita, dahulu Yahudi memiliki (hari agung) pada hari Sabtu dan Nashrani pada hari Ahad. Kemudian Allôh datangkan kita dan Alloh anugerahi kita dengan hari Jum’at, lantas Alloh jadikan hari Jum’at, Sabtu dan Ahad. Demikianlah, mereka adalah kaum yang akan mengekor kepada kita pada hari kiamat sedangkan kita adalah umat yang terakhir dari para penduduk dunia namun umat yang awal pada hari kiamat, yang diadili (pertama kali) sebelum makhluk-makhluk lainnya." [HR Muslim]

Dari Ibnu ’Abbas radhiyallahu ’anhuma berkata, Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa Salam bersabda :

إن هذا يوم عيد جعله الله للمسلمين فمن جاء الجمعة فليغتسل…

Sesungguhnya hari ini adalah hari ’Ied yang Alloh jadikan bagi kaum Muslimin, barangsiapa yang mendapati hari Jum’at hendaknya ia mandi…” [HR Ibnu Majah dalam Shahih at-Targhib I/298].

Mencukupkan Diri Dengan Sunnah

Para pembaca budiman, sesungguhnya mencukupkan diri dengan yang telah diberikan oleh Allôh dan Rasūl-Nya adalah jauh lebih baik dan utama bagi kita, sehingga tidak perlu bagi kita mencari selain dari apa yang dituntunkan dan diperintahkan oleh Rabb dan Nabî kita, lalu mengikuti jalannya orang-orang yang bodoh dan menyimpang. Allôh Ta’âlâ berfirman :

ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَى شَرِيعَةٍ مِنَ الْأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَ الَّذِينَ لا يَعْلَمُونَ

Kemudian, kami jadikan kamu di atas syariat dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.” (QS al-Jâtsiyah : 18)

Ibnu Mas’ūd radhiyallâhu ’anhu berkata :

الاقتصاد في السنة ، أحسن من الاجتهاد في البدعة

Bersederhana di dalam sunnah itu lebih baik daripada bersungguh-sungguh (jawa : ngoyo) di dalam bid’ah.” [al-I’tishâm II/65-72].

Beliau juga radhiyallâhu ’anhu berkata :

اتبعوا ولا تبتدعوا فقد كُفيتم

Mencontohlah, dan janganlah berbuat bid’ah karena kalian telah dicukupi.” [Majma’uz Zawâ`id I/181].

Islâm adalah agama yang sempurna, tidak butuh lagi kepada penambahan-penambahan, revisi ataupun penilaian dari luar.

Fatwa al-Imâm Ibnu Baz

Ditanya al-Imâm Ibnu Baz rahimahullâh :

”Apa arahan yang mulia tentang peringatan tahun baru dan apa pendapat anda tentangnya?”

Al-Imâm menjawab :

”Perayaan tahun baru adalah bid’ah sebagaimana dijelaskan oleh para ulama dan masuk ke dalam sabda Nabî Shallâllâhu ’alaihi wa Sallam :

من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد

Barangsiapa mengada-adakan sesuatu di dalam urusan (agama) ini yang tidak ada tuntunannya maka tertolak.” Muttafaq ’alaihi (disepakati keshahihannya) dari hadîts ’Â`isyah radhiyallâhu ’anhâ.

Nabî Shallâllâhu ’alaihi wa Sallam juga bersabda :

من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد

Barangsiapa yang mengamalkan suatu perbuatan yang tidak ada perintahnya dari kami maka tertolak.” Dikeluarkan oleh Imâm Muslim di dalam Shahîh-nya.

Nabî ’alaihi ash-Sholâtu was Salâm juga bersabda di tengah khuthbah jum’at :

أما بعد فإن خير الحديث كتاب الله, وخير الهدي هدي محمد صلى الله عليه وسلم, وشر الأمور محدثاتها وكل بدعة ضلالة

Amma Ba’du, Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitâbullâh dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallâllâhu ’alaihi wa Sallâm. Seburuk-buruk suatu perkara adalah perkara yang diada-adakah dan setiap bid’ah itu sesat.” Dikeluarkan oleh Muslim di dalam Shahîh-nya.

An-Nasâ`î menambahkan di dalam riwayatnya dengan sanad yang shahîh :

وكل ضلالة في النار

Dan setiap kesesatan itu tempatnya di neraka.”

Maka wajib bagi seluruh muslim baik pria maupun wanita untuk berhati-hati dari segala bentuk bid’ah. Islâm dengan segala puji bagi Allôh telah mencukupi segala hal dan telah sempurna. Allôh Ta’âlâ berfirman :

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kalian agama kalian dan aku sempurnakan nikmat-Ku serta Aku ridhai Islâm sebagai agama kalian.” (QS al-Mâ`idah :3)

Allôh telah menyempurnakan bagi kita agama ini segala yang disyariatkan baik berupa perintah maupun segala yang larangan dilarangnya. Manusia tidak butuh sedikitpun kepada bid’ah yang diada-adakan oleh seorangpun, baik itu bid’ah perayaan maupun selainnya.

Segala bentuk perayaan, baik itu perayaan kelahiran Nabî Shallâllâhu ’alahi wa Sallam, atau peringatan kelahiran (Abū Bakr) ash-Shiddiq, ’Umar, ’Utsmân, ’Alî, Hasan, Husain atau Fâthimah, ataupun Badawî, Syaikh ’Abdul Qadîr Jailânî, atau Fulân dan Fulânah, semuanya ini tidak ada asalnya, mungkar dan dilarang. Semua perayaan ini masuk ke dalam sabda Nabî, ”setiap bid’ah itu sesat”.

Untuk itu tidak boleh bagi kaum muslimin untuk merayakan bid’ah ini walaupun manusia mengamalkannya, karena perbuatan manusia itu bukanlah dasar syariat bagi kaum muslimin dan tidak pula qudwah (teladan) kecuali apabila selaras dengan syariat. Semua perbuatan dan keyakinan manusia harus ditimbang dengan timbang syar’î yaitu Kitâbullâh dan Sunnah Rasūlullâh Shallâllâhu ’alaihi wa Sallam. Apabila selaras dengan keduanya maka diterima dan apabila menyelisihi ditolak, sebagaimana firman Allôh Ta’âlâ :

فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

Apabila kalian berbeda pendapat tentang sesuatu hal maka kembalikanlah kepada Allôh (Kitâbullâh) dan Rasūl (hadîts) apabila kalian beriman kepada Allôh dan hari akhir. Yang demikian ini adalah lebih baik akibatnya.”

Semoga Allôh memberikan taufiq dan petunjuk-Nya kepada semuanya ke jalan-Nya yang lurus.

[Fatâwâ Nūr ’alad Darb; kaset no.1]

Kesimpulan

Tidak ragu lagi, dari ulasan singkat dan sederhana di atas, bahwa perayaan Tahun Baru, maupun perayaan-perayaan lainnya yang tidak ada tuntunannya, merupakan :

1. Bid’ah di dalam agama setelah Allôh menyempurnakannya.

2. Menyerupai orang kuffâr di dalam perayaan mereka.

3. Turut menghidupkan syiar dan mengagungkan agama kaum kuffâr.


Allôhu a’lam bish Showâb.

Daftar Bacaan :

· Al-Bida’ al-Haulîyah, ’Abdullâh bin ’Abdil ’Azîz at-Tuwaijirî. Riyâdh : 1421/2000, Dârul Fadhîlah. Cet. 1.

· Al-Bida’ al-Haulîyah, ’Abdullâh bin ’Abdil ’Azîz at-Tuwaijirî. Soft Copy dari http://sahab.org.

· Tahrîmul Musyârokah fî A’yâdil Mîlâd wa Ra`sis Sanah, http://magrawi.net

· Waqofah Haula A’yâdi Ra`sis Sanah al-Ifranjîyah, Khâlid ’Abdurrahman asy-Syayi’, http://magrawi.net

· The Two ‘Eids And Their Significance, ‘Abdul Majîd ‘Alî Hasan, Ebook download dari http://theclearpath.com

· Hukmu A’yâdil Mîlâd, al-‘Allâmah ‘Abdul ‘Azîz bin Baz, http://magrawi.net

Sumber : abusalma.wordpress.com

.

Subhanakallohumma wa bihamdihi,

Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika

Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamin

FILE 91 : Bulan Suro = Sial, Ah Masa' ...

Bismillahirrohmanirrohim

Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam

Wa ba'du

……

.
BULAN SURO: Bulan Penuh Kesialan?





Disusun oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Muroja'ah: Ustadz Aris Munandar, S.S.

.

Bulan suro. Nama ini begitu populer di kalangan orang Jawa, meskipun tak menutup kemungkinan banyak penduduk Indonesia lain yang mengenalnya. Bulan yang dinamakan Suro ini, tak lain adalah Muharram menurut kalender Islam. Bulan ini memiliki makna yang sangat penting terhadap masyarakat Jawa -atau sebagian mereka- khususnya terkait dengan tradisi yang berlaku.

Suatu yang dapat dilihat ketika bulan ini tiba adalah masih banyaknya keyakinan di tengah masyarakat bahwa bulan Muharram (Suro) adalah bulan keramat (bulan penuh kesialan). Sehingga sebagian mereka tidak berani untuk mengadakan hajatan seperti pernikahan. Menurut keyakinan mereka, bila hal ini tidak diindahkan akan menimbulkan petaka dan kesialan.

Ada berbagai tradisi yang dilakukan untuk menghindari kesialan tersebut. Di antaranya adalah acara ruwatan, yang berarti pembersihan. Mereka yang diruwat diyakini akan terbebas dari sukerta atau kekotoran. Ada beberapa kriteria bagi mereka yang wajib diruwat, antara lain ontang-anting (putra/putri tunggal), kedono-kedini (sepasang putra-putri), sendang kapit pancuran (satu putra diapit dua putri). Mereka yang lahir seperti ini menjadi mangsa empuk Bhatara Kala, simbol kejahatan.

Itulah sebagian keyakinan masyarakat tatkala bulan Muharram (Suro) datang. Namun, kita sebagai seorang muslim, alangkah baiknya jika meninjau ulang keyakinan tersebut, apakah betul sudah sesuai dengan perkataan Allah dan Rasul-Nya. "Kepada-Nya lah kita bertawakkal dan kepada-Nya lah kita mengembalikan segala urusan." (QS. Asy-Syuura [42] : 10)

Bulan Muharram Termasuk Bulan Suci

Dalam agama ini, bulan Muharram, yang dikenal oleh Masyarakat Jawa dengan bulan Suro, merupakan salah satu di antara empat bulan yang dinamakan bulan haram (baca: bulan suci). Lihatlah firman Allah ta'ala berikut:

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ

"Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan suci. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu." (QS. At Taubah [9] : 36)

Lalu apa empat bulan yang suci tersebut? Hal ini dijelaskan dalam hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam:

... السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا ، مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ، ثَلاَثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ ، وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِى بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ

"... satu tahun itu ada dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan suci. Tiga bulannya berturut-turut yaitu Dzulqo'dah, Dzulhijjah dan Muharram. (Satu bulan lagi adalah) Rajab Mudhor yang terletak antara Jumadil (akhir, ed) dan Sya'ban." (HR. Bukhari no. 3025)

Jadi empat bulan suci yang dimaksud adalah: (1) Dzulqo'dah; (2) Dzulhijjah; (3) Muharram; (4) Sya'ban. Lalu kenapa bulan-bulan tersebut disebut bulan haram?

Al Qodhi Abu Ya'la rahimahullah mengatakan, "Dinamakan haram karena di dalamnya ada dua makna. Pertama, karena diharamkan pembunuhan pada bulan tersebut. Orang-orang Jahiliyyah juga telah meyakini demikian. Kedua, karena pelarangan untuk melakukan berbagai perbuatan haram pada bulan tersebut lebih keras dari pada bulan-bulan lainnya." (Lihat Zadul Masir, Ibnul Jauziy)

Bulan Muharram Disebut Bulan Allah

Suri tauladan dan panutan kita, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, bersabda:

أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلاَةُ اللَّيْلِ

"Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah yaitu Muharram. Sementara shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam." (HR. Muslim no. 2812)

Lihatlah pada hadits tersebut bulan Muharram dikatakan sebagai 'syahrullah' (bulan Allah) hal ini menunjukkan bahwa bulan tersebut memiliki kemuliaan. Sebagaimana juga Masjidil Haram disebut Baitullah (rumah Allah) karena masjid tersebut memiliki kemuliaan daripada masjid-masjid lainnya. (Lihat Faidul Qodir, 2/53, dinukil dari perkataan Az Zamakhsariy)

Lalu Kenapa Muharram Disebut Bulan Allah (syahrullah)?

Nama Muharram ini adalah nama Islami, berbeda dengan nama bulan-bulan lainnya. Bulan lainnya (selain Muharram) masih menggunakan nama seperti pada masa jahiliyyah dahulu. Pada masa jahiliyah, Muharram disebut dengan Shafar Al Awwal (Shafar yang pertama) sedangkan bulan sesudahnya (yang dikenal dengan Shafar pada masa Islam) disebut dengan Shafar Ats Tsani (Shafar yang kedua). Pada masa Islam, Allah menamakan Muharram dengan disandarkan pada-Nya dengan disebut sebagai syahrullah (bulan Allah). (Lihat Ad Dibaj 'ala Muslim, 3/251, Jalaludin As Suyuthi)

Al Hafizh Abul Fadhl Al 'Iroqiy mengatakan dalam Syarh Tirmidzi, "Apa hikmah bulan Muharram disebut dengan syahrullah (bulan Allah), padahal semua bulan adalah milik Allah?". Beliau rahimahullah menjawab, "Disebut demikian karena di dalamnya diharamkan pembunuhan. Juga bulan Muharram adalah bulan pertama dalam setahun. Bulan ini disandarkan pada Allah (sehingga disebut syahrullah atau bulan Allah, pen) adalah untuk menunjukkan istimewanya bulan ini. Dan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam sendiri tidak pernah menyandarkan bulan lain pada Allah ta'ala kecuali bulan Allah - Muharram. (Dinukil dari Syarh Suyuthi li Sunan An Nasa'i, 3/206)

Bulan Muharram Dikatakan Membawa Berbagai Musibah

Dari penjelasan di atas, kita mengetahui dengan jelas bahwasanya bulan Muharram (bulan Suro) adalah bulan suci hingga diharamkan berbagai keharaman pada bulan itu. Juga disebut sebagai syahrullah (bulan Allah) yang menunjukkan bahwa bulan tersebut adalah bulan yang mulia.

Lalu apakah sikap orang-orang yang menyatakan bulan tersebut sebagai bulan penuh musibah (petaka) adalah benar ?

Jika kita melihat dari dalil-dalil sebelumnya, tentu saja perbuatan ini tidaklah benar karena kok bulan suci dan mulia malah mendatangkan bencana. Ini suatu hal yang tidak mungkin. Allah sendiri telah mencela keadaan orang-orang musyrik yang menyatakan bahwa yang mencelakakan dan membinasakan mereka adalah waktu. Allah mencela sikap mereka sebagaimana pada firman-Nya:

وَقَالُوا مَا هِيَ إِلَّا حَيَاتُنَا الدُّنْيَا نَمُوتُ وَنَحْيَا وَمَا يُهْلِكُنَا إِلَّا الدَّهْرُ وَمَا لَهُمْ بِذَلِكَ مِنْ عِلْمٍ إِنْ هُمْ إِلَّا يَظُنُّونَ

"Dan mereka berkata: "Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang akan membinasakan kita selain masa (waktu)", dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja." (QS. Al Jatsiyah [45] : 24)

Dalam shohih Muslim, dibawakan Bab dengan judul 'larangan mencela waktu (ad-dahr)'. Di antaranya terdapat hadits dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ يُؤْذِينِى ابْنُ آدَمَ يَسُبُّ الدَّهْرَ وَأَنَا الدَّهْرُ أُقَلِّبُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ

"Allah 'Azza wa Jalla berfirman, 'Aku disakiti oleh anak Adam. Dia mencela waktu, padahal Aku adalah (pengatur) waktu, Akulah yang membolak-balikkan malam dan siang." (HR. Muslim no. 6000)

Dalam lafazh yang lain, beliau shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ يُؤْذِينِى ابْنُ آدَمَ يَقُولُ يَا خَيْبَةَ الدَّهْرِ. فَلاَ يَقُولَنَّ أَحَدُكُمْ يَا خَيْبَةَ الدَّهْرِ. فَإِنِّى أَنَا الدَّهْرُ أُقَلِّبُ لَيْلَهُ وَنَهَارَهُ فَإِذَا شِئْتُ قَبَضْتُهُمَا

"Allah 'Azza wa Jalla berfirman, 'Aku disakiti oleh anak Adam. Dia mengatakan 'Ya khoybah dahr' [ungkapan mencela waktu, pen]. Janganlah seseorang di antara kalian mengatakan 'Ya khoybah dahr' (dalam rangka mencela waktu, pen). Karena Aku adalah (pengatur) waktu. Aku-lah yang membalikkan malam dan siang. Jika suka, Aku akan menggenggam keduanya." (HR. Muslim no. 6001)

An Nawawi rahimahullah dalam Syarh Shohih Muslim mengatakan bahwa orang Arab dahulu biasanya mencela masa (waktu) ketika tertimpa berbagai macam musibah seperti kematian, kepikunan, hilang (rusak)-nya harta dan lain sebagainya sehingga mereka mengucapkan 'Ya khoybah dahr' (ungkapan mencela waktu, pen) dan ucapan celaan lainnya yang ditujukan kepada waktu.

Maka lihatlah dalil-dalil yang ada, dari situ terlihat bahwasanya kita dilarang mencela waktu atau mengatakan bahwa waktu tersebut yang mencelakakan kita. Kenapa demikian? Lihatlah dalam hadits-hadits di atas, terlihat bahwa Allah-lah yang mengatur siang dan malam. Apabila seseorang mencela waktu dengan menyatakan bahwa bulan ini adalah bulan sial atau bulan ini selalu membuat celaka, maka sama saja dia mencela Pengatur Waktu, yaitu Allah 'Azza wa Jalla. Maka mencela masa bisa terjatuh dalam dosa bahkan bisa termasuk syirik akbar. Perhatikanlah rincian Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rahimahullah dalam Al Qoulul Mufid 'ala Kitabit Tauhid berikut.

Mencela Waktu ituTerbagi Menjadi Tiga Macam:

Pertama; jika dimaksudkan hanya sekedar berita dan bukanlah celaan, ini diperbolehkan. Misalnya ucapan, "Kita sangat kelelahan karena hari ini sangat panas" atau semacamnya. Hal ini diperbolehkan karena setiap amalan tergantung pada niatnya. Hal ini juga dapat dilihat pada perkataan Nabi Luth 'alaihis salam, "Ini adalah hari yang amat sulit." (QS. Hud [11] : 77)

Kedua; jika menganggap bahwa waktulah pelaku yaitu yang membolak-balikkan perkara menjadi baik dan buruk, ini termasuk syirik akbar. Hal ini berarti meyakini bahwa ada pencipta bersama Allah disebabkan menyandarkan berbagai kejadian pada selain Allah. Barang siapa meyakini ada pencipta selain Allah maka dia telah kafir. Sebagaimana seseorang meyakini bahwa ada sesembahan selain Allah, maka dia juga kafir.

Ketiga; jika mencela waktu karena waktu adalah tempat terjadinya perkara yang di benci, maka ini adalah haram, dan tidak sampai derajat syirik. Tindakan semacam ini termasuk tindakan bodoh (alias dungu) yang menunjukkan kurangnya akal dan agama. Hakikat mencela waktu, sama saja dengan mencela Allah karena Dia-lah yang mengatur waktu, di waktu tersebut Dia menghendaki adanya kebaikan maupun kejelekan. Maka waktu bukanlah pelaku. Tindakan mencela waktu semacam ini bukanlah bentuk kekafiran karena orang yang melakukannya tidaklah mencela Allah secara langsung. -Demikianlah rincian dari beliau rahimahullah yang sengaja kami ringkas-

Maka perhatikanlah saudaraku, mengatakan bahwa waktu -termasuk bulan Muharram- adalah bulan sial atau celaka, ini sama saja dengan mencela waktu. Mencela waktu bisa jadi haram, bahkan bisa termasuk perbuatan syirik. Hati-hatilah dengan melakukan perbuatan semacam ini. Ingatlah di sisi kita semua selalu ada malaikat yang akan mengawasi tindak-tanduk kalian. Allah ta'ala berfirman:

وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ (16) إِذْ يَتَلَقَّى الْمُتَلَقِّيَانِ عَنِ الْيَمِينِ وَعَنِ الشِّمَالِ قَعِيدٌ)17)

"Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan para malaikat Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya, (yaitu) ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri." (QS. Qaaf [50] : 16-17)

Merasa Sial pada Bulan Muharram

Sebagian orang juga selalu menganggap sial dengan bulan Suro ini. Ada sebagian orang tua yang sangat mengkhawatirkan anaknya seperti melarang jangan ngebut-ngebutan pada bulan ini karena bulan ini adalah bulan penuh musibah (petaka). Sampai-sampai ada juga yang dilarang untuk menikah pada bulan ini, karena khawatir akan terjadi sesuatu pada bahtera rumah tangganya kelak.

Inilah sedikit dari berbagai anggapan sial di tengah masyarakat tatkala berada di bulan Suro. Tetapi sebaiknya kita menilik kembali keyakinan semacam ini berdasarkan perkataan Allah dan Rasul-Nya.

Lihatlah firman Allah ta'ala:

فَإِذَا جَاءَتْهُمُ الْحَسَنَةُ قَالُوا لَنَا هَذِهِ وَإِنْ تُصِبْهُمْ سَيِّئَةٌ يَطَّيَّرُوا بِمُوسَى وَمَنْ مَعَهُ أَلَا إِنَّمَا طَائِرُهُمْ عِنْدَ اللَّهِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لَا يَعْلَمُونَ

"Kemudian apabila datang kepada mereka kemakmuran, mereka berkata: "Itu adalah karena (usaha) kami". Dan jika mereka ditimpa kesusahan, mereka lemparkan sebab kesialan itu kepada Musa dan orang-orang yang besertanya. Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui." (QS. Al A'raaf [7] : 131)

Perhatikanlah ayat ini. Ketika Fir'aun dan pengikutnya mendapatkan hujan, kesuburan, rizki yang melimpah dan keselamatan, mereka menyatakan bahwa itu adalah karena mereka memang pantas untuk mendapatkannya. Mereka tidaklah mengakui bahwa limpahan nikmat tersebut berasal dari Allah dan mensyukuri-Nya.

Namun, tatkala hujan tidak turun, kekeringan dan berbagai bencana datang, mereka menyatakan bahwa ini semua adalah kesialan dari Musa dan pengikutnya.

Begitulah juga kelakuan orang Arab dahulu. Tatkala ingin melakukan sesuatu, terlebih dahulu mereka menggertak (membentak) buruk. Jika burung tersebut terbang ke arah kiri, ini pertanda sial. Namun, jika burung terbang ke arah kanan, ini pertanda baik (berkah).

Lihatlah, terakhir Allah ta'ala katakan bahwa kesialan yang menimpa mereka adalah ketetapan dari Allah. Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, ahli tafsir Qur'an, mengatakan maksud ayat terakhir ini adalah bahwa apa saja yang menimpa mereka berasal dari Allah. (Lihatlah penjelasan ini dalam Zadul Masir pada tafsir surat Al A'raaf ayat 131)

Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam juga telah menyatakan bahwa beranggapan sial seperti ini termasuk kesyirikan. Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

الطِّيَرَةُ شِرْكٌ الطِّيَرَةُ شِرْكٌ - ثَلاَثًا - وَمَا مِنَّا إِلاَّ وَلَكِنَّ اللَّهَ يُذْهِبُهُ بِالتَّوَكُّلِ

"Beranggapan sial termasuk kesyirikan, beranggapan sial termasuk kesyirikan. (Beliau menyebutnya tiga kali, lalu beliau bersabda), tidak ada di antara kita yang selamat dari beranggapan sial. Menghilangkan anggapan sial tersebut adalah dengan bertawakkal." (HR. Abu Daud no. 3912. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ash Shohihah no. 429. Lihat penjelasan hadits ini dalam Al Qoulul Mufid - Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah)

Kesimpulannya, menganggap sial terhadap sesuatu termasuk menganggap sial karena bertemu dengan bulan tertentu seperti bulan Muharram (Suro) adalah terlarang bahkan termasuk kesyirikan. Ingatlah setiap kesialan atau musibah yang menimpa bukanlah disebabkan oleh waktu, orang atau tempat tertentu! Namun, semua itu adalah ketentuan Allah ta'ala Yang Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui apa yang terbaik bagi hamba-Nya.

Tertimpa Musibah, Disebabkan Karena Maksiat

Satu hal yang patut direnungkan. Seharusnya seorang muslim apabila mendapatkan musibah yang dibenci, hendaknya dia mengambil pelajaran bahwa ini semua adalah ketentuan dan takdir Allah serta berasal dari-Nya. Allah tidaklah mendatangkan musibah tersebut begitu saja, pasti ada sebab yaitu karena dosa dan maksiat. Perhatikanlah firman Allah 'Azza wa Jalla:

وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ

"Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri." (QS. Asy Syuraa [42] : 30)

Maka hendaklah seorang mukmin bertaubat atas dosa-dosanya dan bersabar dengan musibah yang menimpanya serta mengharap ganjaran dari Allah ta'ala. Janganlah lisannya digunakan untuk mencela waktu dan hari, tempat terjadinya musibah tersebut. Seharusnya seseorang memuji Allah dan bersyukur kepada-Nya serta ridho dengan ketentuan dan takdir-Nya. Juga hendaklah dia mengetahui bahwa semua yang terjadi disebabkan karena dosa yang telah dilakukan. Maka seharusnya seseorang mengintrospeksi diri dan bertaubat kepada Allah ta'ala. (Lihat I'anatul Mustafid dan Syarh Masa'il Jahiliyyah, Syaikh Sholih bin Fauzan hafizhahullah)

Isilah Bulan Muharram dengan Puasa

Sebagai penutup tulisan ini, kami mengajak kaum muslimin sekalian untuk mengisi bulan Muharram dengan melakukan berpuasa.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mendorong kita untuk banyak melakukan puasa pada bulan tersebut sebagaimana sabdanya:

أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلاَةُ اللَّيْلِ

"Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah - Muharram. Sementara shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam." (HR. Muslim no. 2812)

Dari hari-hari yang sebulan itu, puasa yang paling ditekankan untuk dilakukan adalah puasa pada hari 'Asyura' yaitu pada tanggal 10 Muharram karena bepuasa pada hari tersebut akan menghapuskan dosa-dosa setahun yang lalu. Abu Qotadah Al Anshoriy berkata:

وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَرَفَةَ فَقَالَ � يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ وَالْبَاقِيَةَ �. قَالَ وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَاشُورَاءَ فَقَالَ � يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ

"Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ditanya mengenai keutamaan puasa Arofah? Beliau menjawab, "Puasa Arofah akan menghapus dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang. Beliau juga ditanya mengenai keistimewaan puasa 'Asyuraa'? Beliau menjawab,"Puasa 'Asyura' akan menghapus dosa setahun yang lalu." (HR. Muslim no. 2804)

Lebih Baik lagi Jika Berpuasa pula pada Hari Sebelumnya yaitu Tanggal 9 Muharram.

Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma berkata mengenai puasa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pada hari 'Asyura'. Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan untuk berpuasa pada hari itu. Lalu para sahabat mengatakan, "Ya Rasulullah, hari 'Asyura' adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nashrani." Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ - إِنْ شَاءَ اللَّهُ - صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ

"Kalau begitu, tahun depan -jika Allah menghendaki- kita akan puasa pada hari kesembilan (Muharram)". Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma mengatakan, "Belum sampai tahun depan, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam sudah meninggal dunia." (HR. Muslim no. 2722)

Mayoritas ulama berpendapat bahwa 'Asyura' adalah tanggal sepuluh pada bulan Muharram bukan tanggal sembilan, yaitu Sa'id bin Al Musayyib, Al Hasan Al Bashri, Malik, Ahmad, Ishaq, Kholaiq. Inilah yang terlihat jelas pada hadits.

Imam Syafi'i dan sahabatnya, Imam Ahmad, Ishaq dan selainnya mengatakan bahwa dianjurkan berpuasa pada hari kesembilan dan kesepuluh sekaligus; karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berpuasa pada hari kesepuluh dan berniat (berkeinginan) berpuasa juga pada hari kesembilan. ...

Sebagian ulama mengatakan bahwa sebab Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bepuasa pada hari kesepuluh sekaligus kesembilan, agar tidak tasyabbuh (menyerupai) orang Yahudi yang hanya berpuasa pada hari kesepuluh saja. Dalam hadits tadi terdapat isyarat mengenai hal ini. Ada juga yang mengatakan bahwa hal ini untuk kehati-hatian, siapa tahu salah dalam penentuan 'Asyura' (hari kesepuluh). Pendapat yang menyatakan bahwa Nabi menambah hari kesembilan agar tidak menyerupai puasa Yahudi adalah pendapat yang lebih kuat. Wallahu a'lam. (Lihat Syarh An Nawawi 'ala Muslim, 4/121)

Catatan Penting:
Sebagian ulama berpendapat tentang dianjurkannya puasa pada hari ke-9, 10, dan 11. Mereka berdalil dengan hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

صُومُوا يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَخَالِفُوا فِيهِ الْيَهُودَ صُومُوا قَبْلَهُ يَوْماً أَوْ بَعْدَهُ يَوْماً

"Puasalah pada hari 'Asyura' (10 Muharram, pen) dan selisilah Yahudi. Puasalah pada hari sebelumnya atau hari sesudahnya."

Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam musnadnya, Ibnu Khuzaimah, Ibnu 'Adiy, Al Baihaqiy, Al Bazzar, Ath Thohawiy dan Al Hamidiy, namun sanadnya dho'if (lemah). Di dalam sanad tersebut terdapat Ibnu Abu Laila -yang nama aslinya Muhammad bin Abdur Rahman-, hafalannya dinilai jelek. Juga terdapat Daud bin 'Ali. Dia tidak dikatakan tsiqoh kecuali oleh Ibnu Hibban. Beliau berkata, "Daud kadang yukhti' (keliru)." Adz Dzahabiy mengatakan bahwa hadits ini tidak bisa dijadikan hujjah (dalil).

Namun, terdapat hadits yang diriwayatkan Abdur Rozaq, Ath Thohawiy dalam Ma'anil Atsar, dan juga Al Baihaqi, dari jalan Ibnu Juraij dari 'Atho' dari Ibnu Abbas. Beliau radhiyallahu 'anhuma berkata:

خَالِفُوْا اليَهُوْدَ وَصُوْمُوْا التَّاسِعَ وَالعَاشِرَ

"Selisilah Yahudi. Puasalah pada hari kesembilan dan kesepuluh Muharram."

Sanad hadits ini adalah shohih, namun diriwayatkan secara mauquf (hanya sampai pada sahabat).

(Dinukil dari catatan kaki pada Zadul Ma'ad II/60 (Darul Fikr) yang ditahqiq oleh Syaikh Abdul Qodir Arfan).

Namun, hal ini bukan berarti berpuasa pada hari ke-11 Muharram tidaklah dianjurkan. Namun dalam rangka kehati-hatian penentuan awal Muharram, maka kita dianjurkan pula berpuasa selama tiga hari yaitu 9, 10 dan 11 Muharram.

Dalam Al Mughni, 6/195, Imam Ahmad mengatakan, "Jika ragu mengenai penentuan tanggal 1 Muharram, maka boleh berpuasa pada tiga hari (hari 9, 10, dan 11 Muharram, pen). Hal ini dilakukan agar menjadi yakin telah berpuasa pada hari ke-9 dan 10."

Mudah-mudahan kita dimudahkan oleh Allah untuk melaksanakan puasa pada bulan Muharram. Insya Allah pada tahun ini, puasa 'Asyura' jatuh pada tanggal 19 Januari 2008, dan lebih baik lagi jika kita berpuasa pada hari sebelumnya untuk menyelisihi Yahudi, atau hari sesudahnya dalam rangka menghilangkan keraguan dalam penentuan awal Muharram. Wallahu a'lam bish showab.

Semoga tulisan ini bermanfaat bagi kaum muslimin dan dapat memperbaiki keadaan mereka.

Allahumman fa'ana bima 'alamtanaa, wa 'alimnaa maa yanfa'una wa zidna 'ilma. Alhamdulillahilladzi bi ni'matihi tatimmush sholihaat. Wa shallallahu 'ala nabiyyina Muhammad wa 'ala alihi wa shohbihi wa sallam.

***

Selesai disusun di Panggang, Gunung Kidul


Pada Malam Satu Suro 1429 H

Bertepatan dengan 9 Januari 2008

****

Sumber : muslim.or.id

lihat juga http//:www.rumaysho.wordpress.com

.

Subhanakallohumma wa bihamdihi,

Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika

Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamin

Sunday, December 21, 2008

FILE 90 : Selamat Natal... ????

Bismillahirrohmanirrohim

Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam

Wa ba'du

……


HUKUM MENGUCAPKAN "SELAMAT NATAL"

Oleh:

Syaikh Muhammad ibn Sholih Utsaimin rahimahullah

.

Pertanyaan:

Apa hukumnya mengucapkan selamat kepada orang kafir pada perayaan hari besar keagamaan mereka ? (Misal : Merry Christmas, Selamat hari Natal dan Tahun Baru dst, red)

Dan bagaimana kita menyikapi mereka jika mereka mengucapkan selamat Natal kepada kita ?

Dan apakah dibolehkan pergi ke tempat-tempat dimana mereka merayakannya ?

Dan apakah seorang Muslim berdosa jika ia melakukan perbuatan tersebut tanpa maksud apapun? Akan tetapi ia melakukannya hanya karena menampakkan sikap tenggang rasa, atau karena malu atau karena terjepit dalam situasi yang canggung, ataupun karena alasan lainnya ?

Dan apakah dibolehkan menyerupai mereka dalam hal ini?

.

Jawaban:

Mengucapkan selamat kepada orang kafir pada perayaan Natal atau hari besar keagamaan lainnya dilarang menurut ijma’. Sebagaimana disebutkan oleh Ibnul Qoyyim rahimahullah dalam bukunya ”Ahkamu Ahlidz-dzimmah”, beliau berkata:

“Bahwa mengucapkan selamat terhadap syi’ar-syi’ar kafir yang menjadi ciri khasnya adalah Haram, secara sepakat. Seperti memberi ucapan selamat kepada mereka pada hari-hari rayanya atau puasanya, sehingga seseorang berkata, “Selamat Hari Raya”, atau ia mengharapkan agar mereka merayakan hari rayanya atau hal lainnya.

Maka dalam hal ini, jika orang yang mengatakannya terlepas dari jatuh ke dalam kekafiran, namun (sikap yang seperti itu) termasuk ke dalam hal-hal yang diharamkan. Ibarat dia mengucapkan selamat atas sujudnya mereka pada salib. Bahkan ucapan selamat terhadap hari raya mereka dosanya lebih besar di sisi Allah dan jauh lebih dibenci daripada memberi selamat kepada mereka karena meminum alkohol dan membunuh seseorang, berzina dan perkara-perkara yang sejenisnya. Dan banyak orang yang tidak paham agama terjatuh ke dalam perkara ini. Dan ia tidak mengetahui keburukan perbuatannya. Maka siapa yang memberi selamat kepada seseorang yang melakukan perbuatan dosa, atau bid’ah, atau kekafiran, berarti ia telah membuka dirinya kepada kemurkaan ALLAH.” –Akhir dari perkataan Syaikh (Ibnul Qoyyim rahimahullah)–

(Syaikh Utsaimin melanjutkan) Haramnya memberi selamat kepada orang kafir pada hari raya keagamaan mereka sebagaimana perkataan Ibnul Qoyyim adalah karena di dalamnya terdapat persetujuan atas kekafiran mereka, dan menunjukkan ridha dengannya. Meskipun pada kenyataannya seseorang tidak ridha dengan kekafiran, namun tetap tidak diperbolehkan bagi seorang muslim untuk meridhai syi’ar atau perayaan mereka, atau mengajak yang lain untuk memberi selamat kepada mereka. Karena ALLAH Ta’ala tidak meridhai hal tersebut, sebagaimana ALLAH Ta’ala berfirman,

إِنْ تَكْفُرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنْكُمْ وَلاَ يَرْضَى لِعِبَادِهِ الْكُفْرَ وَإِنْ تَشْكُرُوا يَرْضَهُ لَكُمْ


Artinya : “Jika kamu kafir, maka sesungguhnya Allah tidak memerlukan (iman) mu dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya; dan jika kamu bersyukur, niscaya Dia meridhai bagimu kesyukuranmu itu.” [QS Az Zumar 39: 7].

Dan dia Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِينًا

Artinya : “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni`mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” [QS Al Maaidah: 3]

Maka memberi selamat kepada mereka dengan ini hukumnya haram, sama saja apakah terhadap mereka (orang-orang kafir) yang terlibat bisnis dengan seseorang (muslim) atau tidak.

Jadi jika mereka memberi selamat kepada kita dengan ucapan selamat hari raya mereka, kita dilarang menjawabnya, karena itu bukan hari raya kita, dan hari raya mereka tidaklah diridhai ALLAH, karena hal itu merupakan salah satu yang diada-adakan (bid’ah) di dalam agama mereka, atau hal itu ada syari’atnya tapi telah dihapuskan oleh agama Islam yang Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, telah diutus dengannya untuk semua makhluk. ALLAH berfirman tentang Islam :

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الإِسْلاَمِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

Artinya : “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” [QS Aali ‘Imran: 85]

Dan bagi seorang Muslim, memenuhi undangan mereka untuk menghadiri hari rayanya hukumnya haram. Karena hal ini lebih buruk daripada hanya sekedar memberi selamat kepada mereka, dimana didalamnya akan menyebabkan berpartisipasi dengan mereka.

Juga diharamkan bagi seorang Muslim untuk menyerupai atau meniru-niru orang kafir dalam perayaan mereka dengan mengadakan pesta, atau bertukar hadiah, atau membagi-bagikan permen atau makanan, atau libur dari bekerja, atau yang semisalnya. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,

من تشبه بقوم فهو منهم

Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia adalah bagian dari mereka”.

Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah berkata dalam bukunya, Iqtidha’ Shirathal Mustaqiim, “Menyerupai atau meniru-niru mereka dalam hari raya mereka menyebabkan kesenangan dalam hati mereka terhadap kebatilan yang ada pada mereka bisa jadi hal itu sangat menguntungkan mereka guna memanfaatkan kesempatan untuk menghina/merendahkan orang-orang yang berfikiran lemah”. –Akhir dari perkataan Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah.

——————————————————

Kutipan dari Sahab.net

(Diterjemahkan dari artikel syaikh Muhammad Ibn Sholih al Utsaimin dalam Majmu’ Fatawa Fadlilah asy Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin, III/44-46 No.403, oleh al Ustadz Abu Hamzah Yusuf, Bandung tgl 24 Desember 2004)

Sumber: http://www.salafy.or.id

*****

.

MUFTI MESIR : WISH MERRY CHRISTMAS

.
.

Sungguh amat menyedihkan sekali, dalam rangka untuk mempromosikan dialog antarkeyakinan dan mengilangkan gap antara Kristen – Islam serta menghilangkan stigma Islam ekstrem, 138 tokoh Islam menandatangani surat terbuka ucapan natal dan tahun baru kepada clergy (para pendeta) Kristen, termasuk kepada Pope (Paus) Benedict XVI. Di dalam surat tersebut, para tokoh Islam mengucapkan selamat natal dan tahun baru dalam rangka untuk melakukan dialog antarkeyakinan, surat tersebut juga berisi ucapan terima kasih kepada para penguasa Kristen atas respon positif mereka terhadap surat mereka sebelumnya.

Prof. Aref Ali Nayed, salah satu penandatangan surat tersebut mengatakan :

This is the first time a large group of Muslim scholars from across the schools greet their Christian neighbors,”

“Ini pertama kalinya sejumlah besar kelompok ulama muslim dari berbagai madzhab mengucapkan selamat kepada tetangga Kristen mereka.”

Nayed bahkan juga mengatakan bahwa kaum muslimin selalu mengucapkan natal kepada kaum Kristian sepanjang sejarah.

Ironinya, diantara tokoh Islam yang menandatangani surat ini adalah mufti Mesir, Syaikh Ali Jum’ah dan Mufti al-Quds (Palestina), Syaikh Ikrimah Shabri. Termasuk juga da’i kondang. ‘Amru Khalid yang bukunya bertebaran di tanah air ini. Tidak kalah juga, sufi Amerika Hamzah Yusuf turut ikut serta di dalam menandatangani surat selamat ini. (Lihat sini)

Tentang Mufti Mesir, Syaikh ‘Ali Jum’ah, sebenarnya ini bukan hal yang mengherankan, karena beliau sendiri memperbolehkan seseorang pindah agama (alias murtad) dalam salah satu fatwanya, yang mana fatwa beliau ini dibantah oleh Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkholi. (Lihat Radd ‘ala Fatwa Mufti Mishri ‘Ali Jum’ah Haula Hurriyati Riddah)

DR. Yusuf al-Qordhowi sendiri termasuk jajaran tokoh Islam yang memperbolehkan mengucapkan selamat natal. Beliau berkata :

Maka kami sebagai pemeluk Islam, agama kami tidak melarang kami untuk untuk memberikan tahni’ah kepada non muslim warga negara kami atau tetangga kami dalam hari besar agama mereka. Bahkan perbuatan ini termasuk ke dalam kategori al-Birr (perbuatan yang baik). Sebagaimana firman Allah SWT:

لا ينهاكم الله عن الذين لم يقاتلوكم في الدين ولم يخرجوكم من دياركم أن تبروهم وتقسطوا إليهم إن الله يحب المقسطين

Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. (QS. Al-Mumtahanah: 8)

Kebolehan memberikan tahni’ah ini terutama bila pemeluk agama lain itu juga telah memberikan tahni’ah kepada kami dalam perayaan hari raya kami.

وإذا حييتم بتحية فحيوا بأحسن منها أو ردوها

Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu. Sesungguhnya Allah memperhitungankan segala sesuatu.(QS. An-Nisa’: 86) [Lihat Jawaban Ustadz Ahmad Sarwat]

Termasuk juga yang memperbolehkan adalah DR. Muhammad Musthofa Zarqo’.

Di tanah air, barisan yang memperbolehkan hal ini adalah JIL dan semua bentuk sekutu pemikirannya. Termasuk pula DR. Quraisy Syihab.

Mengucapkan Selamat Natal Itu Haram

Pendapat yang terkuat dalam masalah ini, dan termasuk aqidah al-Wala` wal Baro’ (Loyalitas dan Disloyalitas) adalah, haram hukumnya mengucapkan selamat natal kepada kaum Kristiani. Karena tahni’ah atau ucapan selamat merupakan bentuk ta’zhim dan penghormatan terhadap syiar paganis kaum Kristiani. Al-Imam Ibnul Qoyyim al-Jauziyah dalam Ahkâm Ahl adz-Dzimmah :

“Adapun mengucapkan selamat berkenaan dengan syi’ar-syi’ar kekufuran yang khusus bagi mereka adalah HARAM menurut IJMA’ (kesepakatan) para ulama, seperti mengucapkan selamat terhadap Hari-Hari besar mereka dan puasa mereka, sembari mengucapkan, ‘Semoga hari raya anda diberkahi’ atau anda yang diberikan ucapan selamat berkenaan dengan perayaan hari besarnya itu dan semisalnya.

Perbuatan ini, kalaupun orang yang mengucapkannya dapat lolos dari kekufuran, maka dia tidak akan lolos dari melakukan hal-hal yang diharamkan. Ucapan semacam ini setara dengan ucapannya terhadap perbuatan sujud terhadap SALIB bahkan lebih besar dari itu dosanya di sisi Allah. Dan amat dimurka lagi bila memberikan selamat atas minum-minum khamar, membunuh jiwa, melakukan perzinaan dan sebagainya. Banyak sekali orang yang tidak sedikitpun tersisa kadar keimanannya, yang terjatuh ke dalam hal itu sementara dia tidak sadar betapa buruk perbuatannya tersebut. Jadi, barangsiapa yang mengucapkan selamat kepada seorang hamba karena melakukan suatu maksiat, bid’ah atau kekufuran, maka berarti dia telah menghadapi Kemurkaan Allah dan Kemarahan-Nya.”

Pendapat di atas dinukil oleh Faqihuz Zaman Muhammad bin Shalih al-Utsaimin dalam Majmû’ Fatâwa Fadlîlah asy-Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimîn ( Jilid.III, hal. 44-46, No.403). Beliau juga berpegang dengan haramnya mengucapkan selamat hari natal. [Lihat sini]

Komisi Tetap untuk Penelitian Ilmiyah dan Fatwa Kerajaan Arab Saudi (Lajnah Daimah Lil Buhuts al-Ilmiyyah wal Ifta`) yang diketuai oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah Alu Syaikh menyatakan dengan tegas :

Dilarang bagi umat Islam untuk mengucapkan selamat atas hari raya orang kafir, karena ini menunjukkan sikap rela terhadapnya di samping memberikan rasa gembira di hati mereka.”

Dari Eropa, anggota Dewan Penelitian dan Fatwa Eropa (Al-Majelis Al-Urubi li Al-Buhuts wa Al-Ifta`), Dr. Muhammad Fuad Al-Barrazy, dengan tegas berkata :

”Saya tidak membolehkan untuk memberikan ucapan selamat hari raya kepada mereka (pemeluk agama lain), juga tidak membenarkan untuk saling bertukar hadiah dalam kaitan itu”.

Natal Adalah Warisan Paganis

Tidak ada seorang ilmuwan Bibel dan Kristiani yang berbeda pendapat, bahwa Natal tidak pernah dituntunkan oleh Yesus ‘alaihis Salam sendiri maupun para apostlessini) (murid-murid beliau). Bahkan, tanggal 25 Desember sendiri bukanlah kelahiran Yesus, namun merupakan adopsi klenik paganisme dari kelahiran dewa Matahari (Sun-God). Lebih jauh silakan lihat

Kemenangan ajaran paganisme ke dalam ajaran Kristen merupakan suatu hal yang wajib diingkari oleh orang-orang yang beriman dan berakal sehat. Mengucapkan selamat (tahni’ah) natal dan segala bentuk perayaan mereka, merupakan suatu simbol pengakuan keabsahan paganisme Kristiani dan penyelewengan mereka. Cukup syiar kita kepada mereka adalah Lakum Diinukum wa Liya ad-Diin (Untukmu agamamu dan untukku agamaku).

Islam mengimani Isa (dalam lafazh Inggris : Yesus) ‘alaihis Salam dengan pemuliaan yang besar. Islam menyatakan siapa saja dari umat Islam yang tidak mengimani Isa atau merendahkan kedudukannya maka ia kafir murtad dari Islam. Islam tidak mengagungkan Isa melebihi kedudukannya dan memberikan sifat divinitas (ketuhanan) kepadanya atau menganggapnya anak tuhan atau mengklaim beliau adalah satu pribadi dari 3 oknum tuhan (trinitas) sebagaimana klaim Kristen, dan Islam juga tidak merendahkan Isa sebagaimana Yahudi, bangsa kera dan babi menuruh Isa sebagai anak zina.

Janganlah kita takut diberi stigma ekstremis, fundamentalis, puritan, militan atau teroris dan semisalnya. Karena, stigma seperti itu tidak akan memberikan madharat apapun terhadap Islam, terutama ahlus sunnah. Tetap tegakkan dakwah, dengan hikmah, yaitu berikan kelembutan pada waktunya dan sikap tegas pada tempatnya. Kita tidak pernah menjual loyalitas dan disloyalitas kita hanya untuk mendapatkan ridha kaum kuffar, atau supaya tidak disematkan stigma-stigma menyesatkan tersebut.

Cukup syi'ar kita kepada mereka adalah lakum diinukum wa liya ad-diin

Sumber : abuhasna.wordpress.com


****

Lihat Juga :

.

Subhanakallohumma wa bihamdihi,

Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika

Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamin