Monday, October 27, 2008

FILE 84 : Mengkompromikan Dalil yang SEOLAH Bertentangan ??

Bismillahirrohmanirrohim

Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam

Wa ba'du

……

.

Memahami Ayat yang Seolah Bertentangan

.


Syaikh Al-Albany ditanya:

Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam Al-Qur’an surat Ali Imran ayat 85 berfirman:”Barangsiapa mencari agama selain Islam, maka tidak akan diterima.”

Sementara dalam surat Al-Maidah ayat 69 disebutkan:”Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Shabi’in, dan orang-orang Nasrani apabila mereka beriman kepada Allah dan hari akhir serta beramal shalih, maka tidak ada ketakutan dan kesedihan yang akan menimpa mereka.”Bagaimana caranya kita memahami dua ayat yang seolah-olah bertentangan ini ?

Jawaban:

Tak ada pertentangan antara dua ayat tersebut. Ayat yang pertama (Ali Imran : 85) berlaku bagi kaum yang telah sampai dakwah Islam kepada mereka, sedangkan ayat yang kedua (Al-Maidah : 69) berlaku bagi kaum yang hidup pada zaman mereka masing-masing (dengan cara mengikuti syariat dari nabi/rasul mereka masing-masing sebelum datangnya dakwah Islam).

Adapun tentang kaum shabi’in (shabi’ah) yang dikenal selama ini sebagai penyembah bintang, sebetulnya mereka dulunya adalah orang-orang yang bertauhid, akan tetapi setelah lewat masa yang panjang, sedikit demi sedikit mereka terjatuh ke dalam kemusyrikan dan akhirnya mereka menyembah bintang. Hal ini sama saja dengan orang-orang Yahudi dan Nasrani yang hari ini juga semuanya sudah terjatuh dalam kemusyrikan.

Nah… siapapun di antara mereka (shabi’ah, Yahudi, Nasrani) yang berpegang teguh dengan agamanya masing-masing dan mereka hidup sebelum datangnya Islam, maka mereka tidak akan ditimpa ketakutan dan kesedihan. Dan mereka adalah termasuk orang-orang yang beriman. Akan tetapi, setelah Allah mengutus Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam dan dakwah Islam telah sampai kepada mereka, maka Allah tidak akan menerima agama mereka sebelum mereka masuk Islam.

Adapun orang yang sama sekali belum pernah mendengar dakwah Islam, maka orang seperti ini tidak akan langsung divonis masuk neraka oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Orang yang meninggal dalam keadaan belum pernah mendengar dakwah Islam sama sekali, akan mendapat perlakuan khusus dari Allah di akhirat dengan mengutus seorang rasul kepada mereka, orang-orang ini akan diuji oleh Allah lewat rasul tersebut, seperti Allah telah menguji manusia di dunia. Apabila orang-orang tersebut menyambut seruan rasul dan mentaatinya maka dia akan dimasukkan ke surga. Jika tidak, maka dia akan masuk neraka.

Saat ini… ada satu masalah yang sangat besar yang menimpa sebagian kaum muslimin, yaitu orang-orang yang mengira bahwa mereka telah memeluk agama Islam dan telah menjalankan syariat Islam tetapi sebenarnya mereka telah keluar dari Islam dan telah jatuh dalam kekafiran karena aqidah dan keyakinan mereka telah sesat dan menyimpang, sehingga membatalkan ke-Islam-an mereka. Mereka itu adalah kelompok yang disebut “Ahmadiyah Qodiyan” yang berkeyakinan bahwa ada nabi lagi setelah Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka ini sudah tidak termasuk ke dalam golongan orang-orang yang disebutkan dalam surat Al-Maidah ayat 69 di atas, karena hujjah sudah tegak di hadapan mereka. Apabila mereka mengaku sebagi muslim, tentu mereka telah membaca (mendengar) dari Al-Qur’an dan hadits tentang bagaimana prinsip-prinsip aqidah Islam.

(Dikutip dari “Kaifa yajibu ‘alaina annufasirral qur’anil karim” edisi bahasa IndonesiaTanya Jawab dalam Memahami Isi Al-Qur’an)

Sumber : assunnahsurabaya.wordpress.com

.

.

****

.

Mengkompromikan Hadits yang Dianggap Kontradiksi

.

.

Imam asy Syathibi rahimahullah berkata :

Dalil dalil yang menjadi dasar syari’at tidak mungkin satu dengan yang lainnya saling kontradiktif/ bertentangan, maka siapapun yang meneliti kaidah hukum dengan seksama pasti tidak mendapati kesamaran sama sekali didalamnya, sebab tidak mungkin terjadi pertentangan antara ajaran agama, sehingga kita tidak menemukan adanya dua dalil yang disepakati umat islam saling bertentangan yang mewajibkan seorang tawaqquf (tidak bisa mengamalkan), namun karena seorang mujtahid tidak ma’shum boleh jadi yang terjadi pertentangan bukan dalam nash nya tetapi dalam pemahamannya” (Al Muwafaqaat 4/244)

Faktor yang menjadi sebab adanya anggapan kontradiksi antara nash yang satu dengan yang lainnya secara zhahir antara lain :

- Diantara beberapa nash yang ada terdapat unsur tarik menarik antara nash yang khusus dengan nash yang umum, antara nash yang mutlak dengan nash yang muqayyad, dan antara nash yang mengecualikan dengan nash yang dikecualikan sehingga sebagian orang menyangka adanya pertentangan antara kedua nash tersebut padahal sebenarnya tidak demikian.

- Kurang mengerti tentang luasnya cakupan sastra Arab, sementara Al Qur’an dan As Sunnah turun dengan bahasa Arab yang sangat fasih dan bersastra tinggi

- Hadits yang dibenturkan dengan hadits lain yang berstatus lemah atau palsu yang dibuat oleh kaum zindiq.

- Tidak mengerti tentang nash - nash yang naskh dan mansukh.

- Ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam menyampaikan suatu hadits, ada yang meriwayatkan secara lengkap, dan ada yang meriwayatkan secara ringkas karena suatu hal, bahkan ada pula yang meriwayatkan secara makna, kalau hal hal diatas telah diketahui dengan baik maka menjadi semaikin tidak benar bila ada anggapan kontradiksi antara nash nash tersebut.

Langkah dan sikap seorang muslim ketika mendapati nash nash yang dianggap kontradiksi :

- Mencari titik temu antara dua dalil yang diangap kontradiksi

- Mencari bukti - bukti naskh.

- Mentarjih salah satu dalil yang ada dan yang rajih diamalkan. Jika tidak mungkin ditarjih maka kedua dalil tersebut gugur dan mencari dalil lain

Pada dasarnya antara nash nash hadits yang shahih satu dengan yang lain tidak mungkin saling bertentangan, yang membuat seseorang tidak bisa mengambil kesimpulan dari makna hadits.

Allah subhana wa ta’ala berfirman :

أَفَلاَ يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِندِ غَيْرِ اللّهِ لَوَجَدُواْ فِيهِ اخْتِلاَفاً كَثِيراً

Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur`an ? Kalau kiranya Al Qur`an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya (An Nisaa :82)

Suatu contoh beberapa hadits yang nampak secara dzahir bertentangan adalah, hadits yang melarang menghadap kiblat ketika buang air besar atau kecil, sementara hadits lain membolehkan buang hajat menghadap kiblat, tetapi setelah dicarikan titik temu maka tidak ada unsur kontradiksi sebagaimana para ulama telah berusaha menyatukan beberapa hadits yang tampak bertentangan tersebut , bahwa hadits yang melarang berlaku ketika buang hajat ditempat terbuka, sedangkan hadits yang membolehkan berlaku ketika buang hajat disuatu tempat yang tertutup seperti buang hajat di WC berdasarkan hadits Ibnu Umar (HR. Al Bukhari 148, Muslim 266)

Wallahu ‘alam

( disadur dari Ensiklopedi Penghujatan Terhadap Sunnah, Zaenal Abidin Syamsudin,Lc, Penerbit Pustaka Imam Abu Hanifah Jakarta hal 107-108 )

Sumber : adiabdullah.wordpress.com

.

Subhanakallohumma wa bihamdihi,

Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika

Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamin

FILE 83 : Beberapa Kesalahan Pemilu

Bismillahirrohmanirrohim

Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam

Wa ba'du

……

.

Pilkada dalam Sorotan

.


Pilihlah si A dalam pilkada…! Bersama calon B kita bangun daerah kita….! Hanya calon C lah kita bisa berubah…! Itulah inti kampanye dari setiap kampanye pasangan calon gubernur dan wakil gubernur di negeri ini.

Bagi calon yang memiliki sumber doku (baca: dana) yang besar tak segan untuk berkampanye lewat jalur media elektronik.

Sempat muncul pertanyaan dibenak ini, "Apa yang mereka inginkan dengan kampanye model itu? Apakah hanya kemenangan semata atokah yang lainnya?"

Begitulah, ciri yang melekat pada sistem demokrasi yakni adanya pemilu yang memilih pimpinan ato para wakil rakyat, secara otomatis hal ini akan memunculkan orang-orang yang mencalonkan dirinya, entah itu untuk mencapai jabatan presiden, anggota dewan, gubernur, bupati, ato pun sekadar RT.

Tentu saja, model pemilihan semacam ini jelas-jelas bertentangan dengan syariat. Kok bisa?

.

Diri Sok Suci

Orang-orang yang mencalonkan dirinya untuk dipilih sebagai pemimpin secara tak langsung berucap, "Aku adalah orang yang paling utama untuk kalian pilih." Ato, "Hanya calon B yang bisa membawa perubahan." dan sebagainya.

Tentunya bagi seorang yang mengincar kursi kepemimpinan akan berusaha melahirkan pengakuan yang baik-baik saja agar menang dalam pemilihan. Bukankah pengakuan model ini jelas-jelas bertentangan dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

Janganlah kalian mengatakan diri kalian mengatakan diri kalian suci, Dia(Allah)lah yang paling mengetahui tentang orang-orang yang bertaqwa. (An Najm:32)

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam juga bersabda,

Jauhilah oleh kalian memuji secara berlebih, karena itu merupakan penyembelihan (kebinasaan). (Riwayat Al Baihaqi, Ahmad di shahihkan Albani dalam Ash Shahihah no.1196,1284)

.

Ketamakan yang Diperingatkan

Pencalonan diri sebagai pemimpin merupakan bentuk ketamakan dan haus kekuasaan. Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jauh-jauh hari telah bersabda,

Sesungguhnya kalian akan tamak mendapatkan kepemimpinan, padahal akan menjadi penyesalan pada hari kiamat… (Riwayat Al Bukhari)

Memang benar, kepemimpinan dan kekuasaan merupakan perkara-perkara yang harus ada dan kehidupan Muslim tidak akan tegak kecuali dengannya. Darah, harta, dan kehormatan pun bisa terjaga dengan kepemimpinan tersebut.

Tapi dalam memilih pemimpin kudu meniti jalan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yakni tidak memberikan kepemimpinan kepada orang yang memintanya (mencalonkannya) dan tamak terhadap kekuasaan.

Dalam riwayat lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

Wahai Abdurrahman! Janganlah kamu meminta jabatan pemimpin karena sesungguhnya jika kamu diberi jabatan tersebut karena meminta niscaya kamu akan diberi dan ditinggalkan, jika kamu diberi jabatan bukan karena meminta niscaya kamu akan ditolong mengatasinya. (Riwayat Al Bukhari)

.

Boros dan Israaf

Pemborosan dan israaf (kelewat batas) identik dengan model pemilihan ini. Atribut partai, foto calon pemimpin, umbul-umbul dan bendera, biaya rapat, konsumsi kampanye, dan pesta -pesta yang digelar untuk mensukseskan kemenangan tentu sangat mebutuhkan dana yang tidak sedikit.

Kalo mau berpikir, bukankah dana pesta dan konsumsi bisa mencukupi anak-anak terlantar dan mereka yang kelaparan? Bukankan kain-kain yang digunakan untuk promosi dan kampanye cukup untuk kain kafan ratusan kaum muslimin? Kalo begitu, bukankah harta dan materi yang mereka keluarkan hanya tabdzir dan israaf belaka?

Bukankah Allah subhanahu wa ta’ala telah berfirman,

Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan harta secara boros. Sesungguhnya para pemboros itu adalah saudara-saudara setan. (Al Isra: 26-27)

Bukankah Allah subhanahu wa ta’ala juga mengatakan,

Sesungguhnya Dia (Allah) tidak mencintai orang-orang yang melampaui batas. (Al An'am: 141)

Kata israf (berlebihan) sendiri yang tidak disukai Allah subhanahu wa ta’ala bersifat umum, mencakup infaq, sadaqah, makan minum, berpakaian dan lainnya. Kalo begitu, bukankah pemborosan dalam kampanye jelas salahnya?

.

Aklamasi dan Suara Terbanyak

Penyimpangan yang tak terelakkan dalam pemilihan pemimpin dalam sisten yang dikatakan demokrasi ini sangat jauh dan berkebalikan dengan jalan Islam sendiri.

Jelas sekali, karena kebenaran tidak dilihat dan dihitung dari banyaknya pendukung, tapi kebenaran dilihat dari dalil dan hujjah yang nyata.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

Dan jika kamu mengikuti kebanyakan orangdi muka bumi niscaya mereka menyesatkanmu dari jalan Allah. Al An'am:116)

Seorang murid Syaikh Albani, Syaikh 'Ali bin Hamd berkata,

Cara (mengambil keputusan dengan jumlah pendukung) secara pasti menyelisihi hal yang telah dijalani para sahabat Rasulullah. Kita tidak pernah mengetahui satu kejadian pun bahwa para sahabat tersebut menghitung orang-orang yang menyelisihi dan menyetujuinya …Maka ilmu itu tidak mengikuti mayoritas, tapi hanya mengikuti dalil…. (Ma'a Anaa 'Alaihi wa Ashaabiy, Ahmad salam hal 70-71).

Jelaslah, bahwa sistem pemilihan yang ada bertentangan dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahkan bisa dibilang bentuk bid'ah dan tasyabuh(menyerupai) orang kafir. Padahal kita tahu bahwa bid'ah dan tasyabuh merupakan bentuk keharaman yang tak samar lagi. Terus…. apa lagi?

Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menunjuki kita jalan yang lurus. Amiin. (ANay)

.

Sumber: majalah El-Fata edisi 06 tahun 08 Juni 2008

.

****

.

MAFSADAT PEMILU

[Editorial Majalah As-Sunnah Edisi 10/Th. III/1420-1999]

.

Demokrasi adalah produk manusia. Yang membuat kaidah-kaidah serta aturan-aturan main demokrasi adalah manusia. Sebagus apapun demokrasi, tak mungkin dapat mengatasi persoalan hidup manusia secara adil dan menyeluruh. Betapa tidak, demokrasi berpijak pada demokrasi rakyat, sedangkan mayoritas rakyat adalah orang-orang awam. Bagaimana mungkin kedaulatan yang berbasis pada pemikiran rakyat awam akan menghasilkan suatu kedaulatan yang menetramkan? Ketentraman yang ada hanyalah ketentraman semua penuh tipu daya. Yang ada hanyalah saling tindas. Yang paling demokratis adalah yang berkuasa.

Sementara itu pemilihan umum Kepala Negara atau kepala-kepala yang lain di dunia saat ini, pada umumnya merupakan karya demokrasi. Jika kemudian timbul money politic, pelacuran politik, kebrutalan, penipuan dan kebebasan berbicara tanpa adab, adalah dampak yang sangat wajar, betapapun orang berusaha melakukan kontrol.

Mestinya seorang demokrat sejati harus memaklumi, manakala lawan politiknya melakukan money politics atau yang sejenisnya. Sebab ia juga melakukan hal yang demikian secara sadar atau tidak sadar, langsung atau tidak langsung. Ketika langkah perbaikan umat (ishlah/reformasi) dilakukan melalui proses demokrasi yang tidak jarang menggunakan cara-cara pengerahan massa, termasuk di dalamnya pemilihan umum pemimpin bangsa, maka yang terjadi adalah timbulnya korban besar yang sia-sia. Jika terjadi pergantian kepemimpinan pun, belum tentu lebih baik dari pendahulunya, padahal banyak sisi yang harus menjadi korban. Karenanyalah Islam melarang adanya pengerahan massa ala demokrasi atau pemilihan umum ala demokrasi.

Jika orang mau mencermati, bagaimana Islam mengajarkan umat memilih pemimpinnya, maka di sana ada Ahlul halli wal ‘aqdi. Suatu lembaga perwakilan ummat yang salah satu tugasnya memilih pemimpin. Mereka terdiri atas para ulama, orang-orang shalih dan orang-orang yang mengerti kemaslahatan umat. Mereka tidak dipilih oleh rakyat awam, karena orang awam tidak mengerti mana yang ulama dan mana yang bukan, mana yang shalih dan mana yang bukan. Sebab orang-orang awam adalah awam, justru perlu mendapatkan bimbingan supaya menjadi baik. Kalau mereka dibiarkan memilih pemimpinnya sendiri, maka yang terjadi adalah hawa nafsu.

Hal lain yang perlu dicermati ialah bahwa dalam Islam tidak ada ketentuan pembatasan masa jabatan seorang Kepala Negara. Bahkan ada syari’at bahwa harus bersabar terhadap pemimpin yang zalim sekalipun. Ummat tidak boleh memberontak terhadap pemimpinnya, karena yang demikian itu adalah dosa besar dan hanya dilakukan ahlu bid’ah. Mereka justru harus diperangi.

Karenanya, mengapa orang Islam sibuk memikirkan pemilihan umum? Mengapa mereka tidak berfikir bahwa jangan-jangan mereka telah sengaja menjerumuskan diri ke dalam tahazzub (perpecahan kelompok) ? Pemilihan ala demokrasi itu juga amat potensial memicu kerusuhan dan kerusakan. Dalam kaidah dikatakan:

“Menolak mafsadah lebih didahulukan daripada meraih manfaat.”

Mestinya, ummat Islam mengerahkan segenap potensi yang ada untuk kemaslahatan agama, ummat dan Negara. Karena jika Negara sepi dari kerusuhan, umat pun akan tenteram, dan orang Islam pun akan lebih dapat berkonsentrasi untuk memikirkan kemajuan dakwah Islamiyah.

Sebagai contoh, jika terjadi korupsi, kerahkan potensi untuk mengatasi korupsi itu. Caranya bukan dengan menghasut lewat mimbar-mimbar bebas atau media-media massa. Tetapi dengan dakwah dan nasehat. Didiklah orang-orang agar faham terhadap Islam dengan baik, serta perbaikilah tauhidnya. Bila ia pejabat, carilah orang-orang yang bisa berkomunikasi dengannya untuk dakwah. Bila ia orang awam, kerahkan para da’i untuk memahamkan orang-orang awam.

Penuhilah masjid-masjid dengan pengajian-pengajian tentang agama, tentang tauhid, tentang wudhu, shalat, haid, nifas, dan lain-lain. Masjid bukan diramaikan dengan mengajarkan tentang politik atau dendam kepada jama’ah.

Ingatlah akan kaidah, bahwa keadaan yang buruk itu tidak akan dapat dan tidak mungkin diperbaiki dengan cara yang buruk atau salah.

Dan Allah juga tidak akan menghilangkan kehinaan itu, kecuali jika ummat kembali kepada agama yang haq.

.

Sumber : assunnahsurabaya.wordpress.com

.

Subhanakallohumma wa bihamdihi,

Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika

Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamin